Kalimantan Post - Aspirasi Nusantara
Baca Koran
Space Iklan
Space Iklan
Iklan Utama
Opini

Persatuan Bukan Persatean

×

Persatuan Bukan Persatean

Sebarkan artikel ini
Ahmad Barjie B
Ahmad Barjie B

Oleh : Ahmad Barjie B
Budayawan

Prof Dr H Mujiburrahman, Rektor UIN Antasari yang sebentar lagi menyelesaikan jabatan periode kedua, dalam sebuah tulisannya mengutip ucapan Mohammad Hatta, bahwa “Persatuan Bukan Persatean”. Maksudnya bersatu itu sifatnya tulus, atas kemauan dan kerelaan sendiri, sedangkan persatean sifatnya terpaksa, karena terpaksa disatukan oleh tusuk sate.

Kalimantan Post

Di masa lalu, khususnya di masa Revolusi Kemerdekaan tahun 1945-1949, bangsa Indonesia pernah bersatu padu ketika melawan penjahan Belanda yang ingin menjajah Indonesia kembali setelah kalahnya Jepang melawan Sekutu. Ketika itu seluruh elemen bangsa Indonesia, baik kalangan ningrat dan bangsawan maupun rakyat jelata, baik kalangan berpendidikan maupun yang nyaris buta huruf, baik yang kaya maupun miskin, ulama maupun umatnya, bersatu-padu bergandeng tangan, melawan penjajah dengan segala kekuatannya, berat sama dipikul ringan sama dijinjing. Yang berjuang dengan senjata bergerilya di hutan, bergerak dalam politik, maupun yang berjuang dalam diplomasi, semua berjuang dengan satu tujuan untuk Indonesia merdeka. Kemerdekaan diyakini sebagai satu-satunya jalan emas menuju kesejahteraan dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Setelah kemerdekaan berhasil diraih, seluruh pemimpin Indonesia yang rata-rata pintar dan menguasai berbagai bahasa asing, tampil dengan sederhana. Bung Karno sampai meninggalnya tidak punya rumah. Agoes Salim, jas resminya ada tambalan, M. Natsir rumahnya sangat sederhana, dan banyak lagi. Sultan Syarif Qasim dari Kesultanan Al-Hashimiyah Sri Indrapura Riau menyumbangkan banyak hartanya untuk Indonesia merdeka. Karena itu mereka sangat dicintai rakyatnya. Dan rakyat pun tidak segan berkorban untuk negara dan melakukan bela negara. Rakyat Aceh urunan uang untuk membeli pesawat Seulawah I dan II karena negara belum punya uang untuk beli pesawat.

Mohammad Hatta (1903-1980), juga demikian. Beliau pemimpin bangsa, moralis sejati, integritas moral dan intelektual mumpuni, mampu menjauhi pragmatisme dan oportunisme politik di zamannya. Nama Hatta tetap harum dan dikenang rakyatnya. Mochtar Lubis, mengemukakan kesan mendalam terhadap Bung Hatta: “…Bung Hatta telah berhasil merebut kecintaan demikian banyak masyarakat Indonesia. Dalam dirinya terhimpun nilai-nilai kemanusiaan yang telah banyak hilang dalam diri kita; sikap dan hidup sederhana, sopan santun yang tinggi, jujur dan taat beragama, cinta kepada kebenaran dan keadilan, keberanian berpikir dan menyampaikan kebenaran, integritas pribadi dan ilmu, tidak bernafsu berkuasa dan mengejar kekayaan. Kekosongan yang ditinggalkannya akan amat sukar terisi di tanah air kita”. Sampai akhir hayatnya, nyaris tidak harta yang ditinggalkannya, bahkan untuk naik haji pun nyaris beliau tidak cukup biaya.

Baca Juga :  Kemiskinan dalam Permainan Standar Ala Kapitalisme, Islam Wujudkan Kesejahteraan Hakiki

Mengapa hari ini ada kecenderungan rakyat berpecah belah, mengapa banyak yang kehilangan sikap hormatnya kepada aparat atau pejabat pemerintah, dan seolah ada keengganan untuk mengibarkan bendera Merah Putih, boleh jadi karena mereka merasakan ada ketidakadilan. Kesenjangan terlihat di mana-mana. Pejabat dan pengusaha kaya di satu sisi, dan rakyat miskin di sisi lain. Segelintir orang menguasai sumber-sumber kekayaan negara, sementara ratusan juta rakyat memperebutkan sisanya. Pada UUD 1945 jelas dan tegas mengatakan sumber kekayaan negara digunakan untuk mengoptimalkan kemakmuran rakyat, bukan yang lain.

Rakyat tertatih-tatih bayar pajak, hampir semua penghasilan rakyat mau dipajaki, namun mereka tidak kunjung diberdayakan. Anak-anak muda yang mulai belajar cari duit dari usaha ekonomi kreatif, juga berteriak karena besarnya potongan pajak, yang dipotong sepihak. Padahal Ibnu Chaldun berkata, “negara akan makmur ketika pajaknya rendah, namun kas negara penuh. Sebaliknya negara akan hancur ketika pajaknya tinggi, namun kas negara tetap kosong”. Anehnya, 85 persen APBN bersumber dari pajak, lalu di mana kontribusi kekayaan SDA yang luar biasa selama ini.

Keadilan sosial yang dulu-dulu dicita-cita oleh para pendiri bangsa, sekarang seolah menjadi semakin jauh dari kenyataan. Derita rakyat bawah seolah kurang dirasakan oleh para elit yang sedang menikmati kekuasaan dan kekayaan. Dalam keadaan demikian sulitlah untuk mewujudkan persatuan yang sesungguhnya, yang terjadi hanya persatean, yaitu persatuan yang dipaksakan, yang direkayasa dan dimobilisasi.

Jadi, kalau pemerintah menginginkan persatuan yang utuh, mereka harus gigih memperjuangkan nasib rakyat agar tercipta keadilan sosial. Bisakah dalam soal kesejahteraan hidup rakyat didahulukan, minimal disamakan dengan elitnya. Sehingga ketika pejabatnya sejahtera, rakyat juga sejahtera. Selama kesejahteraan dan keadilan belum merata, jangan terlalu berharap persatuan akan terwujud nyata. Wallahu A’lam.

Iklan
Iklan