Oleh : Ahmad Barjie B
Komisi Informasi dan Komunikasi MUI Kalsel
Majelis Ulama Indonesia (MUI) Provinsi Kalimantan Selatan, yang diketuai KH Husin Naparin Lc MA dan Sekretaris Umum Dr H Nasrullah AR SPdI SH MH, pada 18-20 Juli 2025 tadi menjadi tuan rumah Rapat Koordinasi Daerah (Rakorda) Wilayah 5 Kalimantan, yang diikuti utusan MUI dari lima provinsi se-Kalimantan, dan MUI kabupaten kota di Kalsel. Pembukaan dan Dialog Kebangsaan dilaksanakan di Mahligai Pancasila, dan acara lanjutannya di Hotel Aria Barito Banjarmasin.
Kegiatan ini terbilang lancar dan sukses, terbukti hampir semua peserta mengaku puas dengan acara dan layanannya. Menjelang penutupan, peserta dihibur dengan kegiatan city tour ke Pasar Terapung Lok Baintan Kabupaten Banjar, berangkat dari Dermaga Menara Pandang Banjarmasin. Sekjen MUI Pusat Dr Amirsyah Tambunan, MA, yang mengikuti kegiatan dari awal hingga akhir Rakorda, kagum melihat ibu-ibu di pasar terapung yang sangat gigih berjuang mencari nafkah, berjual beli dengan jukung, sekaligus lihai berpantun di luar kepala. Pantunnya bagus-bagus dan tanpa teks, sementara kita kalau membuat pantun harus berpikir dulu dan pakai teks.
Tema besar yang diangkat dalam Rakorda adalah “Memperkuat Peran MUI sebagai Khadimul Ummah dan Shadiqul Hukumah untuk Kemaslaatan bersama”, yang kurang lebih bermakna penguatan peran MUI sebagai pelayan umat dan mitra pemerintah untuk kebaikan masyarakat khususnya di Kalimantan. Memang kedua pihak, ulama dan umara, tidak bisa dipisahkan, bahkan merupakan satu kesatuan. Sebuah hadits menyatakan, ada dua golongan di antara manusia (rakyat), jika keduanya baik maka baiklah seluruh rakyat, dan bila rusak maka rusaklah seluruh rakyar, itulah ulama dan umara (pemerintah).
Kewajiban Taat
Kebaikan rakyat terletak pada ketaatan pada ulama, kepala fatwa-fatwanya yang bersumber dari Alquran dan Sunnah. Begitu juga ketaatan kepada pemerintah harus diwujudkan secara nyata, sepanjang peraturan perundangan yang dibuat oleh pemerintah sejalan dengan syariat. Kebaikan menurut syariat itu dapat diukur, yaitu semuanya bertujuan untuk hifzhuddin (memelihara agama), hifzhun nafs (menjaga jiwa), hifzhul aqal (menjaga akal), hifzhul nasal (menjaga keturunan), hifzhul maal (menjaga harta), dan hifzhul alam (menjaga alam lingkungan). Agar sejalan, maka keduanya harus bekerjasama, jangan ulama hanya dijadikan pemadam kebakaran jika ada masalah.
Al Quran, hadis dan fikih siyasah (politik) banyak memuat istilah Ulil Amr. “Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah, taatilah Rasul dan Ulil Amr di antara kamu. Dan apabila kamu berbeda pendapat tentang sesuatu, maka kembalilah kepada Al Quran dan Sunnah, jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari akhir. Yang demikian lebih utama bagimu dan lebih baik akibatnya”. (QS. An Nisa : 59).
Mufasir Syekh Ahmad Musthafa al-Maraghi menerangkan, Ulil Amr dalam ayat ini mencakup para pejabat pemerintah (umara), ulama, panglima perang, para hakim dan tokoh tempat masyarakat mengadukan berbagai persoalan.
Di dalam Tafsir Ibnu Katsir, Ulil Amr adalah pemerintah serta orang-orang yang ditunjuk memangku jabatan dan urusan publik. Didukung sejumlah hadis shahih riwayat Imam Bukhari dan lainnya ditekankan, setiap orang wajib taat kepada perintah penguasa, dalam keadaan suka atau tidak suka, sepanjang isi perintah itu sesuai syariat agama, atau tidak disuruh melakukan maksiat.
Diterangkan, dari masa ke masa pasti ada penguasa saleh yang memerintah dengan kesalehannya dan ada penguasa fasiq yang memerintah dengan kefasiqannya. Kepada kedua golongan itu tetap diperintahkan taat asalkan isi perintahnya mengandung kebaikan dan kebenaran. Jika mereka memerintah dengan baik hal itu baik bagi kita dan bagi mereka, dan jika mereka tidak baik, maka baik bagi kita dan buruk bagi mereka.
Jadi, agama mengembalikan ketaatan sebagai kewajiban individual dan kolektif. Meskipun pemerintah tidak kita sukai, bukan golongan kita, atau perilaku mereka tidak terpuji, kita tetap harus taat jika isi perintahnya baik. Sambil kita koreksi, amar ma’ruf nahi munkar. Soal kesalahan dan kepribadian mereka yang tercela, biarlah menjadi urusan mereka saja. Pejabat pemerintah yang tidak jujur dan tidak adil diancam Allah tidak akan mencium bau surga.
Kita perlu mengoreksi dan mengkritisi pemerintah sebagai bagian dakwah, amar maruf dan nahi munkar, dengan data yang akurat dan faktual, bukan fitnah dan hoaks. Tetapi tidak perlu melakukan perlawanan untuk menjatuhkan. Yang dapat dilakukan adalah mengganti dengan yang lebih baik, antara lain melalui pemilu. Itu sebabnya memilih pemimpin yang baik dan berintegritas, jujur dan konsisten wajib hukumnya. Sikap rakyat yang acuh tak acuh dan masa bodoh bukan ajaran agama.
Lebih Maslahat
Indonesia ini bukan negara agama tetapi juga bukan negara sekuler. Dalam posisi demikian, predikat Ulil Amr bagi pemerintah menjadi kontroversi. Islam menuntut pemerintah dan rakyat memberlakukan hukum Islam. Ulil Amr dalam Alquran dan hadis pun menutut ketaatan kepada syariat. Sementara negara kita tidak demikian, hukum agama hanya dijadikan sistem nilai, tidak diformalkan. Hukum formal dan material umumnya justru aturan hukum peninggalan Belanda, serta produk hukum dan perundangan lain yang belum tentu sejalan syariat.
Mengingat hal ini kita perlu proporsional. Ketika pemerintah membuat suatu aturan, kita perlu menaatinya sepanjang tidak bertentangan dengan aturan di atasnya yaitu syariat, serta untuk ketertiban dan kepentingan umum. Misalnya pemerintah melalui Polri memberlakukan UU Lalulintas, termasuk menyalakan lampu kendaraan di siang hari. Hal ini tentu tidak ada dalam syariat sebab lampu harusnya digunakan malam hari, tetapi karena hal itu sudah menjadi peraturan, dan konon dimaksudkan untuk mengurangi kecelakaan, maka suka atau tidak suka kita wajib taat. Kalau tidak taat akan ada sanksi tilang dan sebagainya.
Ketaatan kita kepada pemerintah menjadi semakin dituntut ketika suatu masalah agama ada landasan hukumnya, dan pemerintah sudah membentuk badan yang memiliki kompetensi, dalam hal ini Kemenag dan MUI. Mengenai Isbat awal Ramadan dan hari raya, mengacu kepada ayat Alquran, hadis dan kaidah fikih bahwa ketetapan pemerintah dapat menghilangkan perselisihan, kita wajib taat sebab sesuai syariat.
Bolehkah kita tidak taat? Bagi sebagian negara tidak boleh, karena keputusan pemerintah melalui Mufti (MUI) dan Kemenag bersifat mengikat. Dulu di era kesultanan, katakanlah Kesultanan Banjar, ada kewajiban taat, sebab fatwa Mufti bersifat mengikat dan sultan sangat berwibawa.
Di negara kita sekarang agaknya boleh tidak taat, sebab tidak ada sanksi. Fatwa-fatwa MUI bersama Kemenag juga belum begitu mengikat. Agar efektif fatwa itu perlu diperkuat dalam bentuk produk hukum Positif, berupa UU, PP maupun Perda. Sementara proses untuk menjadi peraturan perundangan melalui Prolegnas dan Proglegda di DPR-RI dan DPRD sangat alot. Penyebabnya macam-macam, ada alasan aliran dalam agama, pandangan sosial, perbedaan paham politik dan sebagainya.
Perbedaan hal-hal kecil di kalangan umat Nabi Muhammad memang sudah terjadi sejak zaman dulu, sehingga ada beragam mazhab dan aliran agama dalam ranah fikih, teologi, tasawuf bahkan politik. Perbedaan ada kalanya menjadi rahmat karena memberi pilihan-pilihan. Berbeda awal puasa dan hari raya juga sah-sah saja. Yang salah adalah tidak puasa.
Tetapi di atas segalanya kita perlu bersatu-padu. Bersatu untuk keseragaman dan kekompakan lebih utama dan lebih baik akibatnya. Dengan satu dan seragam lebih menunjukkan syiar Islam, ukhuwah Islamiyah, menguatkan energi internal dan memberi citra positif agama Islam kepada umat lain. Umat yang baik dan kuat membutuhkan persatuan.