Oleh : Entang Sastraatmadja *)
SITUASI perberasan nasional tengah memasuki babak yang memerlukan perhatian serius. Meskipun pemerintah telah mengambil berbagai langkah untuk menjaga ketersediaan dan stabilitas harga beras, kondisi di lapangan menunjukkan paradoks yang sulit diabaikan.
Data terkini menunjukkan, pada pekan kedua Agustus 2025, harga rata-rata beras medium mencapai Rp14.012 per kilogram, sedangkan beras premium berada di Rp15.435 per kilogram.
Keduanya melebihi Harga Eceran Tertinggi (HET) yang ditetapkan pemerintah, bahkan ketika cadangan beras nasional tercatat melimpah.
Ironi ini menimbulkan pertanyaan mendasar mengenai efektivitas tata kelola perberasan di Indonesia.
Padahal, stok beras nasional per awal Agustus 2025 mencapai 4,2 juta ton, jauh lebih tinggi dari kebutuhan konsumsi bulanan rata-rata 2,5 juta ton/bulan. Namun, harga beras tetap tinggi dan sulit dikendalikan.
Kondisi ini menunjukkan adanya masalah mendasar pada rantai pasok dan distribusi beras, yang selama ini belum dikelola secara optimal.
Persoalan distribusi menjadi salah satu titik lemah utama. Meskipun produksi cukup untuk memenuhi kebutuhan, distribusi yang tidak efisien menyebabkan disparitas harga antarwilayah semakin lebar.
Pemerintah telah melakukan operasi pasar melalui Perum BULOG untuk menyalurkan beras Stabilisasi Pasokan dan Harga Pangan (SPHP), namun dampaknya terhadap harga pasar masih sangat terbatas.
Volume penyaluran yang relatif masih kecil membuat keberadaan program ini sulit dirasakan masyarakat luas secara signifikan.
Lebih jauh lagi, kebijakan BULOG dalam penyerapan gabah dan beras petani juga menimbulkan polemik tersendiri. Di satu sisi, kebijakan ini dimaksudkan untuk melindungi harga gabah petani.
Namun di sisi lain, penyerapan dalam jumlah besar memicu persaingan harga di tingkat hulu, mendorong harga gabah meningkat secara signifikan dan secara luas turut mempengaruhi harga beras di pasar.
Situasi ini diperburuk dengan surplus produksi yang semakin tipis akibat pola tanam yang musiman dan belum optimalnya inovasi teknologi pertanian yang bisa menjaga ketersediaan sepanjang tahun.
Beberapa pekan terakhir, polemik perberasan kembali memanas setelah merebaknya isu pengoplosan beras oleh sejumlah perusahaan.
Dugaan praktik pengoplosan beras ini memunculkan keresahan masyarakat dan memicu pertanyaan tentang sejauh mana pengawasan pemerintah berjalan efektif.
Banyak pihak yang menilai, di tengah cadangan beras pemerintah yang melimpah, mencantumkan harga dan kasus-kasus seperti ini merupakan indikator mendesaknya tata kelola perekonomian nasional untuk diperbaiki.
Paradoks antara cadangan beras tinggi dan harga yang terus bergerak naik membuat sebagian kalangan menyebut situasi ini sebagai anomali.
Namun, lebih tepat bila fenomena ini dikaitkan dengan masih lemahnya manajemen pengelolaan nasional yang belum dikelola secara profesional dan terintegrasi.
Keterbatasan pasokan
Ironi perberasan semakin terasa ketika Indonesia, yang merupakan negara produsen beras terbesar ketiga di dunia, masih bergulat dengan ketidakstabilan harga dan pasokan di tingkat domestik.
Ironi ini tampak jelas dalam beberapa aspek utama. Pertama, keterbatasan pasokan di tingkat daerah. Meskipun secara nasional produksi beras meningkat, distribusi yang tidak merata menyebabkan beberapa wilayah mengalami kekurangan, sehingga harga menjadi tidak stabil.
Kedua, inkonsistensi kebijakan impor. Pemerintah sempat menghentikan impor beras menjelang awal tahun 2025, namun pada tahun-tahun sebelumnya tingkat ketergantungan pada impor masih tinggi. Padahal, potensi produksi dalam negeri sangat besar bila dikelola dengan optimal.
Ketiga, volatilitas harga yang tinggi. Harga beras kerap berfluktuasi secara drastis, calon masyarakat untuk mendapatkan beras dengan harga yang terjangkau, sementara peran Badan Pangan Nasional dan BULOG sebagai regulator sekaligus operator pangan dinilai masih belum maksimal.
Berdasarkan pengamatan berbagai pihak, terdapat beberapa penyebab mendasar yang membuat ironi perberasan nasional ini terus berulang.
Salah satunya adalah kebijakan perberasan nasional yang belum efektif. Kebijakan sering kali bersifat jangka pendek dan tidak menyentuh akar permasalahan, sehingga hanya memberikan dampak sementara tanpa membenahi sistem secara menyeluruh.
Selain itu, masalah infrastruktur menjadi faktor kunci. Keterbatasan fasilitas penyimpanan, gudang, akses jalan, serta pusat pengolahan beras menyebabkan biaya logistik meningkat dan distribusi menjadi tidak efisien.
Pemerintah telah menggulirkan rencana pembangunan 25 ribu gudang alternatif di berbagai sentra produksi sebagai upaya memperkuat rantai pasok, namun implementasinya memerlukan konsistensi, pengawasan, dan kolaborasi lintas sektor agar benar-benar efektif.
Faktor lain yang tak kalah penting adalah ketergantungan tinggi pada kondisi alam. Produksi beras Indonesia masih sangat dipengaruhi oleh cuaca, serangan hama, dan fenomena iklim ekstrem seperti El Niño maupun La Niña.
Ketiadaan sistem mitigasi yang matang membuat produktivitas padi rawan gangguan, sementara permintaan terus meningkat seiring pertumbuhan penduduk.
Inovasi teknologi
Situasi ini memerlukan inovasi teknologi pertanian, penelitian varietas unggul, dan modernisasi sistem irigasi agar ketersediaan beras dapat lebih terjamin.
Dalam konteks ini, pemerintah dan seluruh pemangku kepentingan perlu melakukan langkah-langkah korektif yang lebih terintegrasi.
Pertama, diperlukan tata kelola perberasan nasional yang profesional berbasis data akurat, mulai dari produksi, distribusi, hingga konsumsi.
Kedua, optimalisasi peran lembaga seperti BULOG dan Badan Pangan Nasional untuk menjalankan fungsi regulator dan operator secara seimbang, tidak hanya fokus pada penyerapan, tetapi juga memastikan distribusi tepat sasaran dan merata.
Ketiga, koordinasi lintas kementerian dan lembaga, termasuk sektor swasta, untuk mengembangkan ekosistem pangan yang berfokus pada kesejahteraan dan efisiensi.
Lebih jauh lagi, edukasi publik dan transparansi juga menjadi kunci dalam membangun kepercayaan masyarakat.
Tanpa komunikasi yang jelas, polemik perberasan akan selalu menimbulkan kegaduhan, memperlemah kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah, dan meningkatkan persepsi pasar.
Dalam konteks ini, diperlukan sinergi nyata antara pemerintah pusat, daerah, dan para pelaku usaha untuk memastikan keberpihakan terhadap konsumen sekaligus perlindungan terhadap petani.
Indonesia mempunyai potensi besar untuk mencapai swasembada pangan secara berkelanjutan, namun potensi ini tidak akan terwujud tanpa pembenahan menyeluruh pada tata kelola perberasan.
Situasi harga beras saat ini menjadi pengingat bahwa kebijakan sektoral tidak boleh lagi bersifat parsial, melainkan harus berbasis integrasi antar-pemangku kepentingan dan mengedepankan keseimbangan antara ketersediaan, keterjangkauan, dan kesejahteraan petani.
Beras bukan sekadar komoditas pangan, melainkan bagian dari identitas sosial, budaya, dan ekonomi bangsa.
Oleh karena itu, menjaga stabilitas harga dan ketersediaannya bukan hanya masalah teknis, tetapi juga menyangkut ketahanan pangan dan kesejahteraan rakyat.
Polemik perberasan nasional ini hendaknya menjadi momentum bersama untuk membangun kebijakan pangan yang berpihak pada kepentingan publik dan menempatkan petani serta konsumen sebagai pusat dari seluruh strategi.
Dengan pengelolaan yang lebih profesional, kolaborasi antar lembaga, dan kebijakan berbasis bukti, Indonesia tidak hanya mampu menstabilkan harga beras, tetapi juga memperkuat fondasi ketahanan pangan jangka panjang.
Saat ini kita melihat pembangunan nasional bukan sekedar dari sisi produksi, melainkan sebagai ekosistem kompleks yang memerlukan tata kelola yang modern, transparan, dan berkeadilan. (Antara/Tim Kalimantanpost.com)
*) Penulis adalah Ketua Dewan Pakar DPD HKTI Jawa Barat.