Kalimantan Post - Aspirasi Nusantara
Baca Koran
Space Iklan
Space Iklan
Iklan Utama
Opini

80 Tahun Indonesia Merdeka, Hanya di Atas Kertas, Terjajah dalam Realitas

×

80 Tahun Indonesia Merdeka, Hanya di Atas Kertas, Terjajah dalam Realitas

Sebarkan artikel ini

Oleh: Zahida Ar-Rosyida
Aktivis Muslimah Banua

80 tahun kemerdekaan telah berlalu, namun bagi jutaan rakyat Indonesia, kemerdekaan itu menyisakan tanda tanya dan terasa seperti ilusi. Benarkah Indonesia telah menggapai kemerdekaan dalam arti sesungguhnya? Sebab krisis multidimensi masih membelenggu bangsa ini. Kita lihat bagaimana kondisi ekonomi rakyat. Berdasarkan data Survei Angkatan Kerja Nasional (Sakernas) Badan Pusat Statistik (BPS), terdapat 939.038 pekerja yang terkena pemutusan hubungan kerja (PHK) di 14 sektor usaha berdasarkan klasifikasi KBLI (metrotvnews.com, (1/08/2025)

Kalimantan Post

Harga kebutuhan pokok yang meroket, dan tekanan ekonomi yang terus meningkat menempatkan rakyat pada posisi rentan. Kondisi ekonomi kelas menengah di Indonesia memasuki tengah tahun ini masih pontang-panting. Daya beli mereka masih lesu, dan cenderung habis untuk sekadar urusan sandang dan operasional harian (tirto.id,7/08/2025). Sementara itu, sistem ekonomi yang mengabdi pada kepentingan kapitalis terus memperkaya segelintir elit, meninggalkan rakyat dalam ketergantungan dan keterbatasan. Lebih parah lagi, umat Islam dijauhkan dari kemampuan berpikir dan bertindak sesuai syariat, sehingga kemerdekaan politik dan hukum hanya menjadi simbol, bukan kenyataan yang menyejahterakan.

Masih dalam bidang ekonomi, berbagai sektor menghadapi ketidakpastian. Industri tekstil, teknologi, dan perdagangan menjadi sorotan akibat PHK masif, sementara daya beli masyarakat merosot dan harga kebutuhan pokok melambung tinggi. Fenomena warga yang “makan tabungan” menjadi bukti nyata bahwa kesejahteraan rakyat jauh dari tercapai (cnbcindonesia.com, 8/08/2025)

Penjajahan tidak hanya bersifat ekonomi. Generasi muda saat ini tumbuh dalam kondisi rapuh, dipengaruhi oleh sistem pendidikan sekuler-kapitalis yang hanya menekankan ilmu akademis tanpa membentuk karakter dan kepribadian Islam. Berbagai kasus tawuran, penyalahgunaan narkoba, pembegalan, hingga kekerasan di kalangan pelajar menjadi alarm bahaya. Media yang seharusnya menjadi sarana pendidikan malah membanjiri generasi dengan budaya hedonis, liberal, dan permisif. Meskipun ada media yang berupaya menyajikan konten edukasi pada masyarakat, namun sangat disayangkan masih kurang ter-“blow-up” dibanding media yang menyajikan konten hiburan  dan unfaedah.

Umat Islam pun teralienasi dari kemampuan berpikir sesuai syariat, menjadikan kemerdekaan pikiran dan spiritual hanya sebatas jargon.

Selain itu, adanya berbagai program yang disebut “deradikalisasi” atau “Islam moderat” serta dialog antaragama (kemenag.go.id, 6/08/2025), meski terdengar baik, sejatinya menjadi alat penjajahan ideologis. Umat dipaksa menerima pemikiran yang menjauhkan dari Islam kaffah, sehingga kemampuan berpikir dan bertindak sesuai syariat semakin terkikis. Ini menunjukkan bahwa kemerdekaan hakiki bukan hanya soal politik atau wilayah, tapi juga soal kemerdekaan berpikir dan menjalankan agama secara penuh.

Baca Juga :  Genting Gizi atau Pendidikan, Masa Depan Anak Dipertaruhkan

Semua persoalan ini berakar pada sistem kapitalisme sekuler yang diterapkan di negeri ini. Sekulerisme telah mengkerdilkan peran agama hanya pada aspek ritual, agama boleh dipakai hanya ketika membahas hukum shalat, zakat, haji, puasa, sedangkan untuk mengatur politik, ekonomi, hukum, pendidikan, pergaulan masih menggunakan hukum yang berasal dari produk akal manusia. Kapitalisme menempatkan rakyat sebagai alat, bukan pemilik, dan menjadikan negara sebagai fasilitator kepentingan modal. Akibatnya, kekayaan negara menumpuk di tangan segelintir elit, sementara rakyat miskin semakin terpuruk. Sistem ini gagal menyejahterakan rakyat, membentuk generasi mulia, dan menjaga umat agar tetap teguh pada syariat.

Di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata merdeka berarti bebas (dari perhambaan, penjajahan, dan sebagainya); berdiri sendiri; tidak terikat; tidak bergantung kepada orang atau pihak tertentu. Merdeka juga berarti bisa berbuat sesuai kehendak sendiri.

Penjajahan berarti eksploitasi, pengekangan, dan perampasan kehendak. Pihak yang dijajah dieksploitasi semata demi kepentingan penjajah. Pihak yang dijajah dikekang dan dirampas hak dan kehendaknya. Kedaulatan menjadi hilang. Mereka tidak bisa bebas bertindak sesuai kehendaknya sendiri. Sebaliknya, kehendak mereka dibatasi dan diatur oleh pihak yang menjajah.

Dengan demikian, merdeka maknanya adalah ketika kehendak tidak dikekang oleh bangsa lain atau sesama manusia lainnya. Merdeka itu ketika keputusan dan tindakan tidak ditentukan dan dikendalikan oleh pihak lain baik bangsa, individu atau sekelompok individu. Merdeka itu ketika kekayaan dan potensi milik rakyat sepenuhnya digunakan untuk kepentingan, kesejahteraan dan kemakmuran rakyat. Bukan untuk kepentingan segelintir orang atau partai politik.

Merdeka merupakan sikap fitrah bagi manusia. Karena disegala waktu dan tempat, penjajahan akan selalu ditentang oleh manusia. Apapun bentuk penjajahannya bisa berupa fisik maupun non fisik. Bagi seorang muslim, kemerdekaan adalah kemampuan untuk tunduk dan patuh pada perintah Allah SWT secara kaffah. Sayyidina Ali bin Abi Thalib ra mengatakan, “Seorang budak beramal karena takut hukuman. Pedagang beramal karena menginginkan keuntungan. Orang merdeka beramal karena mengharap keridhaan dari Allah SWT”.

Baca Juga :  Anggota DPR Menari-nari di atas Penderitaan Rakyat

Masyarakat dan negara baru bisa dikatakan benar-benar merdeka, ketika bisa tunduk sepenuhnya kepada seluruh perintah dan larangan Allah serta melepaskan diri dari belenggu sistem yang bertentangan dengan tauhid, seraya menegakkan sistem Islam dalam seluruh aspek kehidupan. Al-Qur’an menyebut misi Islam mengeluarkan manusia dari kegelapan menuju cahaya rahmatan lil alamin.

Hakikatnya mewujudkan cita-cita menjadi umat yang merdeka, bangkit dan sejahtera hanya melalui penerapan sistem Islam kaffah. Dalam sistem ini, negara bertanggung jawab sepenuhnya atas kesejahteraan rakyat: menyediakan pangan, sandang, papan, pendidikan, kesehatan, dan keamanan. Pengelolaan sumber daya alam dilakukan untuk kepentingan umat, industrialisasi membuka lapangan kerja, dan tanah diberikan kepada yang ingin mengolahnya. Baitulmal hadir sebagai penopang fakir miskin, bukan sekadar bantuan sementara.

Selain itu, pendidikan Islam membentuk generasi yang cerdas dan berakhlak mulia, mampu berpikir dan bertindak sesuai tujuan penciptaan. Media dikontrol agar menjadi sarana dakwah dan edukasi, bukan alat perusakan moral dan penyebaran ideologi asing. Dengan begitu, kemerdekaan tidak hanya tampak secara simbolik, tetapi juga nyata dalam kesejahteraan, keamanan, dan kepatuhan umat kepada Allah.

Menjadi tugas kita bersama untuk bergerak dalam mewujudkan kemerdekaan hakiki itu. Gerakan yang melakukan seruan, edukasi dan penyadaran untuk kembali pada Islam ideologi. Bila perjuangan dahulu bertujuan untuk merebut kemerdekaan dari penjajahan fisik, maka kini diperlukan perjuangan baru untuk membebaskan umat dari penjajahan ideologi sekuler, hukum jahiliyah, ekonomi kapitalis, budaya dan segenap tatanan yang tidak Islami, menuju tatanan yang Islami melalui penerapan syariat secara kaffah.

Hanya dengan sistem Islam kaffah, kemerdekaan sejati akan hadir; masyarakat jaya, rakyat sejahtera, generasi mulia, umat hidup dalam berkah dan takwa.

“Dan sekiranya penduduk negeri beriman dan bertakwa, pasti Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi ternyata mereka mendustakan (ayat-ayat Kami), maka Kami siksa mereka sesuai dengan apa yang telah mereka kerjakan” (QS Al-A’raf : 96). Wallahualam bi-showwab

Iklan
Iklan