Oleh : Najamuddin Khairur Rijal
Dosen Hubungan Internasional FISIP Universitas Muhammadiyah Malang, mahasiswa S3 Ilmu Sosial FISIP Universitas Airlangga Surabaya
Demokrasi selalu berjanji bahwa suara rakyat adalah sumber kuasa. Namun pada titik-titik krisis seperti demonstrasi yang terjadi di banyak daerah beberapa waktu yang lalu, kita menyaksikan dua sisi paradoks, yakni kebangkitan masyarakat sipil (civil society) dan mobilisasi massa suruhan.
Gelombang demonstrasi besar-besaran yang terjadi sejak pekan terakhir Agustus, setidaknya seminggu setelah kita memperingati 80 tahun kemerdekaan Indonesia, adalah panggung jelas yang menampakkan ambivalensi. Di satu sisi, kebangkitan masyarakat sipil terjadi otentik di mana jaringan sosial terbentuk secara spontan antara mahasiswa, ojek daring, dan masyarakat umum, terutama setelah tragedi Affan Kurniawan. Mereka bergerak tanpa struktur formal, tetapi efektif menyuarakan ketidakadilan dari rakyat lapisan bawah.
Tetapi di sisi lain, muncul mobilisasi massa yang tampak terkelola rapi, disusupi kepentingan, bahkan dibumbui disinformasi. Ketika gedung-gedung DPRD dan bangunan milik pemerintah di banyak daerah dibakar, juga ketika rumah beberapa anggota DPR dan seorang menteri dijarah, maka terjadi perebutan makna tentang siapa sesungguhnya “rakyat” itu dan atas nama siapa mereka bergerak? Sebab, kelompok masyarakat sipil sejati sesungguhnya tidak destruktif, apalagi membakar gedung dan menjarah rumah.
Kuasa dan Perlawanan
Pemantik emosi kolektif rakyat datang dari peristiwa tragis, Affan Kurniawan, pengemudi ojek daring berusia 21 tahun, tewas dilindas kendaraan taktis Brimob saat kericuhan di Jakarta. Nama Affan kemudian menjelma menjadi simbol luka sosial sekaligus titik temu solidaritas lintas kelompok yang menuntut keadilan substantif, bukan sekadar belasungkawa. Aksi pun meluas, dari Jakarta ke kota-kota lain, memperlihatkan bagaimana duka dan luka rakyat bisa bertransformasi menjadi energi politik.
Seperti kata Michel Foucault, kekuasaan itu tidak hanya menindas, tapi juga memicu perlawanan. Kuasa yang berlebihan dari negara dan elit akan melahirkan keberanian rakyat untuk bersuara. Benar saja, setelah aksi besar-besaran di berbagai daerah, Presiden buru-buru mengumumkan pemangkasan tunjangan DPR dan pembatasan perjalanan luar negeri. Artinya, suara jalanan memang punya daya dan energi politik. Foucault sudah mengingatkan bahwa tidak ada kuasa tanpa perlawanan.
Namun bersamaan dengan itu, tampak jejak mobilisasi massa yang ditopang logistik non-spontan, disusupi aktor politik, atau terdorong oleh arus disinformasi yang sengaja memanaskan situasi. Memang tidak mudah untuk dibuktikan satu per satu, tetapi pola yang berulang bisa menunjukkan jalan untuk membacanya. Kemunculan massa dengan komando simbolik, penumpang gelap yang mengarahkan aksi menuju perusakan, atau pergeseran isu dari tuntutan spesifik ke kekacauan paling tidak mengindikasikan adanya operasi politik memanfaatkan kemarahan publik. Di sinilah ambivalensinya, yang otentik dan yang dimobilisasi berkelindan, sehingga tindakan destruktif berpotensi mendelegitimasi tuntutan yang sebenarnya dari gerakan massa.
Penumpang Gelap
Fenomena ini bukan sesuatu yang baru. Dalam politik Indonesia, sering ada “penumpang gelap” di setiap gerakan. Demonstrasi yang awalnya damai bisa tiba-tiba berubah rusuh karena ada kelompok yang sengaja memanaskan suasana. Ini yang dimaksud Foucault bahwa kuasa tidak hanya menindas dari atas, tapi juga menyusup termasuk ke tubuh gerakan rakyat. Civil society yang otentik lahir dari rasa sakit dan ketidakadilan bercampur dengan pseudo-civil society dalam bentuk massa suruhan yang digerakkan demi kepentingan tertentu.
Akibatnya, wajah protes jadi ambivalen. Di satu sisi, kita menyaksikan solidaritas otentik, dengan mahasiswa yang bersuara, pengemudi ojek daring yang marah, dan masyarakat kecil yang menuntut keadilan. Di sisi lain, kita melihat aksi-aksi destruktif yang justru merusak legitimasi gerakan.
Ambivalensi ini punya konsekuensi. Pertama, pada level legitimasi, ketika aksi massa disusupi perusakan dan penjarahan, negara memperoleh semacam modal moral untuk menegaskan pendekatan represif dengan membingkai aksi sebagai bentuk pembangkangan lalu menjustifikasi tindakan tegas oleh aparat. Bagi pemerintah, ini jadi peluang untuk mengganti narasi dari “pejabat yang harus koreksi diri” menjadi “rakyat yang perlu ditertibkan”.
Kedua, pada level strategi gerakan, elemen masyarakat sipil yang otentik harus berjuang mempertahankan aksi agar tetap damai dan disiplin serta mendorong kanal komunikasi publik yang kredibel agar tidak terseret provokasi dan disinformasi.
Tantangan Masyarakat Sipil
Pertanyaannya, apa yang perlu mereka lakukan? Kesatu, perlu disiplin aksi, demonstrasi tidak boleh kehilangan arah dan fokus pada tuntutan utama. Sebab, begitu gerakan ikut-ikutan merusak, maka tuntutan utama akan kabur dan fokus perhatian akan bergeser.
Kedua, perlu melawan dengan data dan narasi yang kuat. Jangan membiarkan isu direbut oleh provokator atau pembuat informasi hoaks. Ketiga, kelompok masyarakat sipil harus menjaga agar energi rakyat tidak berhenti di jalanan. Setelah berhasil memaksa pemerintah memangkas tunjangan DPR dan meninjau sejumlah kebijakan lain, gerakan perlu mengawalnya pada level implementasi dan konsistensi kebijakan.
Di tengah ambivalensi gerakan massa, tantangannya adalah memastikan agar jangan sampai rakyat hanya jadi pion dalam permainan elit dan kepentingan kelompok tertentu. Rakyat harus bangkit dengan kesadaran, bukan sekadar karena dimobilisasi apalagi ikut-ikutan. Sebab, sejarah perjalanan bangsa ini ditulis dengan darah, keringat dan pekik rakyat kecil.