Oleh : Ade Hermawan
Dosen Universitas Borneo Lestari
Beberapa waktu lalu, publik dihebohkan dengan sebuah video yang viral di media sosial. Video tersebut menunjukkan sejumlah anggota DPR RI dan pejabat lainnya tampak asyik berjoget di sela-sela acara Sidang Tahunan MPR. Dalam video yang beredar, terlihat para anggota dewan berdiri dari kursi mereka dan bergoyang mengikuti irama lagu-lagu daerah. Kejadian ini berlangsung di ruang rapat paripurna yang seharusnya menjadi tempat serius untuk membahas urusan negara.
Video ini langsung menuai berbagai komentar dan kritikan tajam dari masyarakat. Banyak yang menyayangkan aksi tersebut, terutama mengingat kondisi ekonomi dan berbagai masalah yang sedang dihadapi rakyat. Mereka merasa para wakil rakyat kurang menunjukkan empati dan terkesan terlalu santai di tengah situasi yang serius. Bahkan, ada juga yang mengaitkan joget tersebut dengan isu kenaikan gaji dan tunjangan anggota DPR.
Meskipun ada pembelaan dari pimpinan, insiden ini tetap memicu perdebatan tentang etika dan citra wakil rakyat. Banyak yang berpendapat bahwa terlepas dari apakah acara inti sudah selesai atau belum, suasana dan gestur di gedung parlemen seharusnya tetap mencerminkan kewibawaan dan keseriusan dalam mengurus negara. Aksi joget tersebut dianggap bisa merusak citra lembaga legislatif dan menunjukkan kesan yang kurang sensitif terhadap perasaan masyarakat yang sedang berjuang.
Gaji dan Tunjangan Fantastis
Anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) di Indonesia menerima gaji pokok dan berbagai tunjangan setiap bulannya. Meskipun gaji pokoknya terlihat tidak terlalu besar, tunjangan yang menyertai membuat total penghasilan mereka menjadi fantastis.
Gaji pokok anggota DPR diatur berdasarkan Peraturan Pemerintah. Angkanya relatif kecil jika dibandingkan total pendapatan. Gaji pokok Ketua DPR Sekitar Rp5.040.000 per bulan, Wakil Ketua DPR sekitar Rp4.620.000 per bulan. Dan Anggota DPR Biasa sekitar Rp4.200.000 per bulan.
Tunjangan Melekat yang secara otomatis diberikan bersamaan dengan gaji pokok, terdiri dari : Tunjangan Istri/Suami sekitar Rp420.000 per bulan, Tunjangan Anak sekitar Rp168.000 per anak. Uang Sidang/Paket sekitar Rp2.000.000 per bulan. Tunjangan Jabatan Anggota DPR sekitar Rp9.700.000 per bulan, Wakil Ketua DPR sekitar Rp15.600.000 per bulan, Ketua DPR sekitar Rp18.900.000 per bulan. Tunjangan Beras sekitar Rp30.090 per jiwa. Tunjangan PPh Pasal 21, Ini adalah tunjangan untuk membayar pajak penghasilan, sekitar Rp2.699.813.
Selain tunjangan melekat, ada juga berbagai tunjangan lain yang jumlahnya cukup besar yaitu : Tunjangan Kehormatan Anggota DPR sekitar Rp5.580.000 per bulan, Wakil Ketua DPR sekitar Rp6.450.000 per bulan, Ketua DPR Sekitar Rp6.690.000 per bulan.
Tunjangan Komunikasi Intensif untuk memfasilitasi komunikasi dengan konstituen. Anggota DPR medapat sekitar Rp15.554.000 per bulan, Wakil Ketua DPR sekitar Rp16.009.000 per bulan, Ketua DPR sekitar Rp16.468.000 per bulan.
Tunjangan Peningkatan Fungsi Pengawasan dan Anggaran, Untuk mendukung tugas legislasi, pengawasan, dan anggaran. Tunjangan untuk Anggota DPR sekitar Rp3.750.000 per bulan, Wakil Ketua DPR sekitar Rp4.500.000 per bulan, Ketua DPR sekitar Rp5.250.000 per bulan.
Bantuan Listrik dan Telepon sekitar Rp7.700.000 per bulan, Asisten Anggota sekitar Rp2.250.000 per bulan (untuk biaya asisten pribadi anggota), Tunjangan Perumahan, Ini adalah tunjangan yang sering menjadi sorotan. Sebelumnya ada rumah dinas, namun kini diganti dengan uang tunjangan perumahan. Anggota DPR mendapat sekitar Rp50.000.000 per bulan (untuk sewa rumah), Pimpinan DPR biasanya masih difasilitasi rumah dinas, sehingga tidak mendapat tunjangan ini.
Fasilitas Kredit Mobil sekitar Rp70.000.000 per periode jabatan (bukan per bulan, tapi per 5 tahun). Ketika anggota DPR melakukan perjalanan dinas, baik ke daerah pemilihan atau ke luar negeri, mereka juga mendapatkan Uang Harian bisa mencapai Rp4.000.000 hingga Rp5.000.000 per hari, tergantung daerahnya, Uang Representasi bisa mencapai Rp3.000.000 hingga Rp4.000.000 per hari, tergantung daerahnya. Setelah purna tugas, anggota DPR juga berhak menerima uang pensiun, yang biasanya dihitung sekitar 60% dari gaji pokok anggota DPR.
Jika semua tunjangan ini dijumlahkan, total penghasilan bulanan seorang anggota DPR biasa bisa mencapai lebih dari Rp70 juta, bahkan bisa mendekati Rp100 juta atau lebih tergantung tunjangan perumahan dan perjalanan dinas.
Kinerja Rendah
Idealnya, gaji dan tunjangan yang besar harus diimbangi dengan kinerja yang prima, etika yang tinggi, serta komitmen penuh terhadap kesejahteraan rakyat. DPR sebagai lembaga perwakilan harus mampu menunjukkan bahwa setiap rupiah dari uang rakyat yang mereka terima benar-benar dibayar dengan kerja keras dan hasil nyata yang bermanfaat bagi seluruh lapisan masyarakat.
Tanpa adanya peningkatan kinerja yang signifikan dan perubahan perilaku yang lebih berpihak kepada rakyat, polemik mengenai kesesuaian gaji dan tunjangan anggota DPR dengan kinerjanya akan terus menjadi sorotan dan sumber kekecewaan publik.
Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) adalah lembaga yang kita pilih untuk mewakili suara rakyat. Mereka punya tiga tugas utama: membuat undang-undang (legislasi), mengawasi pemerintah (pengawasan), dan menentukan anggaran negara (anggaran). Bagaimana kinerja mereka selama ini ?
Produktivitas Legislasi (Pembuatan Undang-Undang) dinilai lambat, banyak RUU (Rancangan Undang-Undang) yang tertunda atau tidak jelas kelanjutannya. Padahal, banyak RUU yang sangat dibutuhkan masyarakat. Proses pembuatan undang-undang sering dianggap kurang transparan dan kurang melibatkan suara rakyat secara luas. Kadang, undang-undang dibuat terburu-buru tanpa pembahasan yang mendalam. Beberapa undang-undang yang dihasilkan dinilai memiliki kualitas yang kurang baik atau justru menimbulkan kontroversi di masyarakat.
DPR bertugas mengawasi jalannya pemerintahan. Namun, seringkali fungsi pengawasan ini dinilai kurang efektif, terutama terhadap kasus-kasus besar atau kebijakan pemerintah yang merugikan rakyat. Kritik terhadap pemerintah terkadang kurang konsisten. Ada anggapan bahwa pengaruh pemerintah (eksekutif) terlalu kuat, sehingga fungsi pengawasan DPR menjadi lemah.
Masyarakat seringkali mempertanyakan alokasi anggaran yang disetujui DPR. Banyak yang merasa bahwa anggaran lebih banyak dialokasikan untuk kepentingan yang kurang mendesak atau bahkan untuk fasilitas mewah anggota dewan, ketimbang untuk kebutuhan dasar rakyat seperti pendidikan, kesehatan, atau pengentasan kemiskinan. Proses pembahasan dan persetujuan anggaran seringkali kurang transparan, sehingga publik sulit untuk mengetahui secara detail ke mana saja uang rakyat dialokasikan.
Derita Rakyat
Bagi sebagian besar rakyat, hidup adalah perjuangan harian yang tiada henti. Banyak orang berjuang mencari pekerjaan yang layak. Pengangguran masih tinggi, dan sebagian besar yang bekerja seringkali dengan gaji pas-pasan, bahkan di bawah Upah Minimum Regional (UMR) di beberapa sektor. Mereka harus bekerja keras dari pagi hingga malam hanya untuk memenuhi kebutuhan dasar.
Harga kebutuhan pokok yang melambung. Setiap hari, harga beras, minyak, telur, dan kebutuhan pokok lainnya terus naik. Ini membuat belanja dapur jadi momok. Uang yang dimiliki terasa tidak cukup untuk membeli semua yang dibutuhkan keluarga.
Pendidikan yang berkualitas seringkali mahal, memaksa orang tua berutang atau mengorbankan hal lain agar anak bisa sekolah. Demikian pula dengan biaya kesehatan. Sakit sedikit saja bisa menguras tabungan, apalagi jika penyakitnya serius. Banyak yang takut berobat karena takut tidak mampu bayar.
Infrastruktur dan layanan publik minim. Di banyak daerah, terutama pelosok, jalan rusak, listrik sering padam, air bersih sulit diakses, dan fasilitas umum seperti puskesmas atau sekolah sangat terbatas. Rakyat harus menerima kondisi ini dengan sabar.
Perbandingan ini ibarat langit dan bumi. Saat rakyat memikirkan bagaimana caranya agar besok bisa makan, anggota DPR sibuk dengan agenda mereka, menikmati fasilitas mewah, dan terkadang terlihat acuh tak acuh terhadap keluh kesah masyarakat.
Kesenjangan yang mencolok ini seringkali menjadi pemicu kemarahan dan kekecewaan publik. Bagaimana bisa para wakil yang dipilih rakyat hidup begitu nyaman, sementara yang diwakili justru tenggelam dalam kesulitan. Ini bukan sekadar masalah angka, tetapi juga masalah keadilan, empati, dan amanah.
Masyarakat berharap, dengan gaji dan tunjangan yang sangat besar itu, anggota DPR bisa menunjukkan kinerja yang luar biasa, berjuang sungguh-sungguh untuk rakyat, dan menjadi teladan dalam kesederhanaan, bukan justru semakin memperlebar jurang kesenjangan sosial.