Oleh : Siti Sabariyah
Aktivis Muslimah
Belakangan, pemerintah daerah di Kalimantan Selatan semakin gencar memacu kepatuhan pajak. Mulai dari program pemutihan pajak kendaraan bermotor yang disambut antusias masyarakat (Kalimantan Post, 2/9/2025), hingga Gebyar Panutan Pajak yang diluncurkan bersama Pemprov Kalsel sebagai ajang pemberian insentif dan reward bagi pembayar pajak (Kalselpos, 1/9/2025). Bahkan, Pemko Banjarmasin sampai membagikan sembako gratis untuk menarik partisipasi wajib pajak (Kalimantan Post, 3/9/2025).
Namun di balik berbagai program insentif ini, terselip tekanan besar: DPRD Banjarmasin terang-terangan mendesak Pemko agar “berburu wajib pajak” nakal guna menutup potensi defisit APBD (Prokal, 13/9/2025). Kata “berburu” yang digunakan DPRD mencerminkan betapa agresifnya pendekatan fiskal yang ditempuh. Pajak dipandang bukan sekadar kewajiban, melainkan satu-satunya napas agar roda pemerintahan tetap berjalan.
Inilah wajah sistem fiskal sekuler: pajak dijadikan sumber utama keuangan negara, sehingga rakyat terus didesak, dipaksa, bahkan digiring dengan iming-iming dan ancaman sekaligus. Ia bukan lagi instrumen kesejahteraan, melainkan beban yang menindas. Semakin besar defisit anggaran, semakin agresif pula negara memungut pajak. Sementara itu, praktik korupsi, salah kelola, dan pemborosan anggaran tetap menjadi penyakit kronis yang tak kunjung sembuh.
Padahal, dalam Islam, pajak bukanlah sumber utama pendapatan negara. Islam memiliki sistem keuangan yang lebih adil dan transparan. Sumber utama Baitul Mal berasal dari pengelolaan kepemilikan umum (seperti tambang, minyak, gas, hutan, laut), harta fai’, ghanimah, jizyah, kharaj, serta zakat yang dikelola sesuai syariat. Pajak (dharibah) hanya diberlakukan jika kas negara benar-benar kosong, itupun terbatas pada kondisi darurat dan bersifat temporer.
Solusi Islam menempatkan tanggung jawab ekonomi negara pada pengelolaan sumber daya, bukan pada eksploitasi rakyat. Rasulullah ? bersabda: “Kaum Muslim berserikat dalam tiga perkara: air, padang rumput, dan api.” (HR. Abu Dawud). Hadis ini menjadi dasar bahwa sumber daya alam merupakan milik umum yang wajib dikelola negara, bukan diprivatisasi atau dijadikan komoditas segelintir elit. Dari sinilah Baitul Mal memperoleh pemasukan besar yang dapat menopang kebutuhan rakyat tanpa harus membebani mereka dengan pajak berlapis.
Selain itu, zakat yang merupakan kewajiban syar’i juga menjadi instrumen distribusi kekayaan yang langsung menyentuh fakir miskin, sebagaimana firman Allah dalam QS. At-Taubah: 60. Berbeda dengan pajak sekuler yang kerap menguap karena kebocoran birokrasi, zakat dalam Islam terikat aturan syariat, transparan, dan ditujukan tepat sasaran. Bahkan, dalam sejarah Khilafah Umar bin Abdul Aziz, zakat begitu melimpah hingga sulit menemukan orang miskin yang berhak menerimanya.
Dengan sistem ini, rakyat tidak lagi dibebani dengan istilah “berburu wajib pajak” yang menekan psikologis sekaligus finansial mereka. Negara justru berkewajiban menjamin kebutuhan pokok setiap individu, mulai dari pangan, sandang, hingga papan. Khalifah akan dimintai pertanggungjawaban di hadapan Allah jika ada rakyatnya yang kelaparan atau terlantar. Rasulullah SAW bersabda, “Imam adalah pengurus dan dia akan dimintai pertanggungjawaban atas rakyatnya.” (HR. al-Bukhari dan Muslim).
Dengan demikian, problem utama bukan pada rakyat yang enggan membayar pajak, tetapi pada sistem sekuler itu sendiri yang timpang, sarat penyalahgunaan, dan kehilangan legitimasi. Islam menghadirkan paradigma berbeda: menegakkan tata kelola keuangan negara berdasarkan syariat, menjadikan zakat sebagai instrumen distribusi kekayaan, serta mengelola milik umum untuk kepentingan rakyat luas. Inilah sistem yang menjamin keadilan, menghapus eksploitasi, dan menghadirkan keberkahan.