Kalimantan Post - Aspirasi Nusantara
Baca Koran
Space Iklan
Space Iklan
Iklan Utama
Banjarmasin

Dampak Isu Dayat El, DPD di Persimpangan Jalan: Antara Representasi Daerah dan Citra Buruk

×

Dampak Isu Dayat El, DPD di Persimpangan Jalan: Antara Representasi Daerah dan Citra Buruk

Sebarkan artikel ini
IMG 20250904 WA0040

BANJARMASIN, Kalimantanpost.com – Lembaga Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI, yang sejatinya lahir untuk memperkuat representasi kepentingan daerah, kini kembali menuai sorotan. Alih-alih menjadi corong aspirasi masyarakat, kiprah para senator justru dinilai kabur dan tidak jelas kontribusinya.

Pakar Politik dan Kebijakan Publik, Dr Uhaib As’ad menegaskan, keberadaan DPD lebih banyak membebani negara daripada memberi manfaat nyata.

Kalimantan Post

“DPD ini bisa diibaratkan manusia tanpa identitas kelamin politik. Katanya mewakili daerah, tapi suara mereka tidak terdengar. Publik tidak pernah tahu apa kontribusi pemikiran mereka,” ujar Uhaib saat ditemui di Banjarmasin.

Kritik paling tajam diarahkan pada anggota DPD asal Kalimantan Selatan. Menurut Uhaib, di tengah masifnya kerusakan lingkungan akibat tambang dan perkebunan sawit, nyaris tak terdengar suara senator Kalsel mengkritisi kondisi tersebut.

“Padahal publik menanti sikap mereka. Sayangnya, yang muncul justru kebisuan,” ungkapnya.

Ia menyoroti sosok senator muda Hidayatullah. Terpilih sebagai anggota DPD meski minim pengalaman politik, Hidayatullah dinilai lebih mengandalkan citra wajah tampan dan religiusitas.

“Bukan kapasitas politik yang membuatnya lolos, tapi faktor citra. Ini menjadi masalah serius bagi kualitas representasi daerah,” kata Uhaib.

Isu moralitas yang membelit Muhammad Hidayatullah kian memperburuk citra DPD. Meski bersifat personal, publik tetap memandangnya sebagai cermin perilaku politisi dari lembaga tersebut.

“Kontroversi moral seorang politisi, sekecil apa pun, akan menggerus legitimasi moral lembaga politik di hadapan publik,” jelas Uhaib.

Fenomena ini, tambahnya, seolah menjadi bahan bakar kemarahan masyarakat terhadap para politisi. “Mereka melihat wakil rakyat hidup hedon, arogan, dan abai. Di tengah labirin geopolitik yang semakin berantakan, publik makin muak,” katanya.

Di era digital, media sosial menjadi ruang paling bising untuk mengadili moralitas politisi.

Baca Juga :  Bawa Aspirasi dengan Solusi, Bukan Emosi [] Wakil Rektor III Uniska MAB Ingatkan Mahasiswa Jaga Marwah Akademisi dalam Aksi 1 September

“Reputasi politisi bisa jatuh dalam sekejap karena satu isu moral yang viral. Jangan anggap enteng kekuatan media sosial. Banyak pemimpin dunia tumbang karenanya,” tutur Uhaib.

Melihat kondisi ini, Uhaib menilai DPD tidak lagi relevan dalam arsitektur ketatanegaraan.

“Dalam sistem trias politica, DPD hanya jadi parasit. Identitas politiknya tidak jelas, kontribusinya nihil. Lembaga ini hanya membebani uang rakyat. Solusi paling realistis: DPD dibubarkan,” tegasnya.

Meski demikian, Uhaib tetap menyimpan harapan pada politisi muda. Ia mengakui ada kebanggaan tersendiri melihat generasi baru dari Kalimantan Selatan bisa duduk di Senayan. Namun, ia menekankan perlunya kapasitas, bukan sekadar citra.

“Kalau hanya mengandalkan tampan dan religiusitas, cepat atau lambat publik akan kecewa. Politik itu butuh gagasan, bukan sekadar penampilan,” pungkasnya.

Kini, di tengah gempuran kritik publik, DPD berada di persimpangan jalan: apakah mampu membuktikan diri sebagai representasi sejati daerah, atau sekadar menjadi catatan sejarah sebagai lembaga politik yang gagal menemukan identitasnya. (sfr/KPO-4)

Iklan
Iklan