Kalimantan Post - Aspirasi Nusantara
Baca Koran
Space Iklan
Space Iklan
Iklan Utama
Opini

MBG, Antara Ekspektasi dan Realisasi

×

MBG, Antara Ekspektasi dan Realisasi

Sebarkan artikel ini

Oleh : Nurma Junia
Pemerhati Generasi

Program makan bergizi gratis (MBG) yang menjadi kebijakan andalan pemerintahan pasangan presiden dan wakil presiden terpilih Prabowo-Gibran sekarang ini sudah direalisasikan. Tentu, harapannya MBG ini bisa menjadi salah satu cara untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia terutama dengan penguatan gizi bagi anak sekolah, balita, ibu hamil, dan ibu menyusui. Program ini juga bertujuan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi masyarakat dengan memberdayakan UMKM.

Kalimantan Post

Jumlah penerima MBG yang ditarget Pemerintah sebanyak 15,42 juta jiwa terdiri dari anak sekolah, santri, ibu hamil, ibu menyusui, dan balita di 514 kabupaten/kota. Dalam program ini, makanan yang disediakan mengikuti standar kecukupan gizi yang ditetapkan, termasuk protein, vitamin, mineral, dan energi.

Program MBG ini telah dialokasikan dalam Rancangan APBN 2025 dengan anggaran yang disepakati sebesar Rp71 triliun dan akan dilakukan secara bertahap. Anggaran tersebut jauh lebih kecil dari perkiraan yang dibutuhkan sekitar Rp100—120 triliun per tahun.

Kebijakan program ini, berawal dari tingginya angka stunting dan gizi buruk di Indonesia. Pemerintah mengeklaim akan memperbaiki dan meningkatkan gizi masyarakat khususnya anak-anak melalui program makan siang gratis yang kemudian namanya berganti menjadi makan bergizi gratis (MBG).

Dengan terealisasinya program MBG ini, Akankah kualitas SDM khususnya generasi akan teratasi sesuai ekspektasi? Dan apakah program MBG mampu menjadi solusi untuk menyelesaikan persoalan gizi?

Ternyata, kebijakan program MBG dalam pelaksanaannya telah menuai banyak kritikan dari berbagai kalangan. Sejak program ini mulai direalisasikan, ada saja berbagai masalah yang bermunculan. Mulai dari keterlambatan distribusi, kualitas makanan yang tidak layak saji bahkan ada yang sudah basi hingga sampai keracunan massal terjadi dengan macam-macam keluhan seperti sakit perut, mual, dan sakit kepala usai menyantap menu MBG yang dibagikan.

Berdasarkan hasil penemuan uji laboratorium, yang menjadi permasalahan utama kasus keracunan MBG yang terjadi di berbagai daerah diantaranya adalah sanitasi lingkungan. Kondisi ini seakan menunjukkan adanya ketidakseriusan dan kelalaian negara, khususnya dalam hal menyiapkan SOP dan mengawasi SPPG. Kesehatan bahkan nyawa bisa saja akan menjadi ancaman dari sebuah kebijakan.

Baca Juga :  HUKUMAN BAGI PELANGGAR HUKUM

Sebelum program ini direalisasikan seharusnya pihak penyelenggara terlebih dahulu memastikan pelaksanaan MBG nantinya benar-benar beres dari berbagai kemungkinan persoalan yang akan menjadi keluhan seperti kemungkinan menu yang tidak sesuai dengan selera yang anak-anak inginkan, makanan basi tidak layak saji hingga pengawasan yang longgar.

Namun bagi pemerintah, program MBG tetap terus berjalan meskipun masih ada kekurangan dalam pelaksanaan dan itu dianggap hal yang wajar ketika harus menangani order dalam jumlah besar. Sepertinya, program MBG ini direalisasikan tidak hanya sekedar untuk memenuhi janji kampanye sebagai solusi malnutrisi dan stunting pada anak-anak, ibu hamil, serta meningkatkan kualitas SDM dan mendorong pertumbuhan ekonomi lokal. Tapi, kebijakan ini juga jelas memberikan peluang bisnis para kapitalis untuk mendapatkan keuntungan materi seperti dengan adanya Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG) yang bisa menjadi vendor-vendor penyedia dan distributor ke sekolah-sekolah dengan menjalankan prinsip ekonomi ala kapitalis “Modal seminim-minimnya dan untung sebesar-besarnya.

Jika kebijakan ini dijalankan tapi hanya mengandalkan kepada pihak swasta saja sebagai pelaku bisnis dalam pengelolaan dan pelaksanaan programnya, maka sama saja negara telah berlepas diri dari tanggung jawab utama sebagai pengurus dan pelayan rakyatnya. Konsep ini tentu saja sangat jauh berbeda dengan periayahan negara dalam sistem Islam.

Dalam sistem Islam, negara benar-benar bertanggung jawab penuh untuk menjalankan amanah meriayah atau mengurusi rakyat baik secara langsung maupun tak langsung dengan berbagai mekanisme sesuai syariat untuk merealisasikan kesejahteraan dengan memberikan jaminan berbagai kebutuhan pokok rakyat berupa sandang, pangan, papan, kesehatan, pendidikan, dan keamanan.

Dalam aspek sandang, pangan, dan papan, negara harus memberikan kemudahan bagi rakyat dalam mengaksesnya dengan harga tanah, rumah, dan pangan yang murah serta distribusi yang merata ke seluruh wilayah untuk menghindari kelangkaan.

Negara akan memberikan sanksi tegas bagi siapa saja yang bertransaksi dengan curang, menipu, dan mematok harga dengan sengaja.

Sedangkan pada aspek kesehatan, pendidikan, dan keamanan, negara akan memberikan jaminan gratis tanpa kompensasi apapun dengan menyediakan fasilitas dan sarana yang memadai agar setiap pelayanan bisa dirasakan dengan aman dan nyaman.

Baca Juga :  Filisida Maternal: Cermin Sistem Kehidupan yang Sakit

Sistem pendidikan yang akan diterapkan harus berbasis akidah Islam untuk membentuk peserta didik berkepribadian Islam. Sistem kesehatan pun harus berbasis pelayanan prima, seperti pemeriksaan kesehatan, vaksinasi dan pemberian makanan bergizi.

Para penguasa yang memiliki kekuatan, ketakwaan, kelemahlembutan terhadap rakyat, tegas dan disiplin serta tidak menimbulkan antipati tentu akan mampu mencegah mereka dari perbuatan tercela dan semena-mena terhadap rakyatnya. Allah telah mengharamkan surga bagi penguasa yang lalai dengan amanah yang diembannya.

“Tidak seorang hamba pun yang diberi kekuasaan oleh Allah untuk memimpin rakyat, lalu ia tidak memperhatikan mereka dengan nasihat, kecuali ia tidak akan mendapatkan bau surga.” (HR Bukhâri).

Dalam hal ini, Negara harus serius menyiapkan program-program untuk rakyat dengan perencanaan dan persiapan yang matang penuh pengawasan secara menyeluruh. Para SDM profesional terlibat sesuai dengan tujuan program seperti makan gratis harus benar-benar melibatkan pakar gizi dan makanan serta tenaga ahli di bidang kuliner disertai edukasi tentang gizi untuk menghindari masalah-masalah yang akan terjadi diluar ekspektasi.

Program MBG harus diletakkan sebagai solusi yang menyeluruh, dan negara harus menjalankannya dengan selektif, efektif sesuai kebutuhan dengan penuh pertimbangan, tidak hanya dijadikan proyek anggaran besar-besaran tanpa kejelasan.

Makanan bergizi bagian dari kebutuhan asasi yang wajib negara penuhi. Jika ada rakyat yang kekurangan gizi, negara wajib menjamin pemenuhannya sebagai kewajiban periiyahan bukan sekadar sebagai program bantuan, apalagi sekedar untuk pencitraan meraih simpati, namun pada realisasinya tidak sesuai ekspektasi. Hal ini menggambarkan sistem pemerintahan yang dijalankan jelas tidak berorientasi pada kesejahteraan rakyat.

Sejatinya, Pelayanan makan bergizi gratis sudah diterapkan pada masa Kekhalifahan Utsmaniyah, yaitu dalam bentuk pendirian imaret (dapur umum) yang pertama kali didirikan oleh Sultan Orhan di Iznik Mekece. Pelayanaan makanan didistribusikan gratis kepada seluruh masyarakat tanpa membedakan stutus sosial.

Dan Islam mampu menjamin kesejahateraan semua rakyatnya dengan berbagai sumber pemasukan yang dikelola dengan sistem ekonomi sesuai ketentuan syara. Sistem pemerintahan yang akan dijalankan pastinya akan bersih dari kepentingan individu/golongan karena asasnya adalah ketakwaan. Wallahua’lam bii ash-shawab.

Iklan
Iklan