Kalimantan Post - Aspirasi Nusantara
Baca Koran
Space Iklan
Space Iklan
Iklan Utama
HEADLINE

Menghidupkan Kembali Epik Demang Lehman lewat Diskusi Buku

×

Menghidupkan Kembali Epik Demang Lehman lewat Diskusi Buku

Sebarkan artikel ini
IMG 20250909 WA0011
DISKUSI BUKU DEMANG LEHMAN - Potret para peserta diskusi buku Demang Lehman di Gramedia Veteran Banjarmasin. (Kalimantanpost.com/zahidi).

BANJARMASIN, Kalimantanpost.com – Di sebuah ruangan sederhana di Gramedia Veteran Banjarmasin, Sabtu (6/9/2025), puluhan anak muda tampak larut dalam cerita lama yang seolah hidup kembali.

Nama Demang Lehman, panglima karismatik dari tanah Banjar, menggema dari halaman demi halaman buku “Demang Lehman: Gerakan Berbasis Rakyat” karya sejarawan muda Mursalin dan Mansyur.

Kalimantan Post

Diskusi ini bukan sekadar membicarakan buku. Ia menjelma ruang perjumpaan lintas generasi, antara sejarawan, aktivis, hingga budayawan. Hadir sebagai narasumber, kedua penulis buku Mursalin dan Mansyur, akademisi sekaligus pengamat sejarah lokal Ahmad Muhajir, serta aktivis pergerakan Berry Nahdian Furqon.

Forum dipandu budayawan Noorhalis Majid yang memberi warna reflektif dalam jalannya diskusi.

Noorhalis membuka dengan kisah getir bagaimana kepala Demang Lehman dipenggal dan dibawa ke Belanda, dijadikan koleksi museum sekaligus simbol keangkuhan penjajah.

“Tokoh ini begitu berharga, kepalanya dijadikan trofi kolonial. Tapi bagi kita, ia adalah ingatan kolektif tentang keberanian orang Banjar,” ucapnya.

Salah satu penulis, Mursalin menambahkan sisi lain Demang Lehman yang jarang ditulis.

Ia bukan bangsawan, melainkan dari kalangan jaba. Meski begitu, kesetiaannya pada Pangeran Hidayatullah tak pernah luntur. Dengan tasbih di tangan, doa di bibir, serta ajimat dari ayat-ayat suci, ia memimpin bubuhan dari pesisir hingga pegunungan Meratus.

Rekan penulisnya, Mansyur menekankan pilihan hidup sang pejuang. “Ia tidak mau menyerah. Mati di tiang gantungan pada 27 Februari 1864 adalah caranya menjaga kehormatan. Kepalanya kemudian dibawa ke Museum Anatomi Belanda,” kisahnya, menimbulkan keheningan di antara hadirin.

Dari sudut pandang akademik, Ahmad Muhajir membaca perlawanan Demang Lehman sebagai kombinasi identitas etnis dan agama.

“Ini bukan sekadar konflik politik, tapi jihad Islam melawan penjajahan,” katanya.

Baca Juga :  Mengenal Imam Maturidi di Samarkand, Bapak Ahlul Sunnah Wal Jamaah

Sedangkan aktivis Berry Nahdian Furqon melihat gerakan itu dari sisi sosial. “Ia berhasil memobilisasi rakyat, menjadikan perjuangan sebagai jihad melawan ketidakadilan.”

Diskusi pun semakin hidup ketika peserta muda mengajukan pertanyaan kritis: mengapa kisah heroik ini jarang masuk buku pelajaran sekolah? Mengapa keluarga Demang Lehman tidak hadir saat eksekusi? Pertanyaan-pertanyaan itu dijawab dengan refleksi bahwa sejarah lokal seringkali terpinggirkan, padahal justru menjadi fondasi identitas.

Budayawan Taufik Arbain dan pengamat sejarah Zainal Abidin turut memberi catatan. Keduanya menekankan pentingnya masyarakat Banjar menulis sejarahnya sendiri.

“Kalau tidak, kita akan kehilangan jejak dan mudah melupakan,” ujar mereka.

Di akhir acara, Noorhalis Majid menutup dengan sebuah perumpamaan indah, “Belajar sejarah itu seperti menarik anak panah. Semakin jauh kita menarik, semakin jauh pula kita bisa melesat ke masa depan.”

Kini, nama Demang Lehman tak hanya terpahat di Stadion Martapura, tetapi juga di hati mereka yang mendengarkan kisahnya sore itu.

Diskusi buku ini bukan sekadar mengenang seorang pahlawan, melainkan menegaskan kembali bahwa keberanian, jihad, dan harga diri rakyat Banjar tak akan lekang dimakan waktu. (sfr/KPO-4)

Iklan
Iklan