Kalimantan Post - Aspirasi Nusantara
Baca Koran
Space Iklan
Space Iklan
Iklan Utama
Opini

Pajak Berat Memicu Perlawanan

×

Pajak Berat Memicu Perlawanan

Sebarkan artikel ini

(Menyambung Tulisan Ikhsan Alhaque)

Ahmad Barjie B
Ahmad Barjie B

Oleh : Ahmad Barjie B
Penulis buku ”Cuplikan Sejarah Banjar

Semula saya tak bermaksud menulis tema ini, karena tulisan saya sudah banyak dan mungkin orang akan bosan. Tetapi tulisan Muhammad Ikhsan Alhaque, Kepala Dinas Perpustakaan dan Arsip Daerah Kota Banjarmasin di KP edisi Minggu 17 Agustus 2025 berjudul ”Mengelola Pajak, Merawat Nasionalisme”, memantik saya untuk menulis lagi.

Kalimantan Post

Di situ Ikhsan menyebutkan bahwa perlawanan rakyat terhadap besaran pajak yang ingin dipungut Bupati Pati, adalah pengulangan peristiwa serupa yang banyak terjadi dalam sejarah, sejak era kerajaan/kesultanan hingga zaman penjajahan.

Di era Kesultanan Demak abad ke-16, Adipati Pragola menolak kenaikan upeti 30% yang dikenakan kesultanan. Kemudian, Pragola II kembali memimpin pemberontakan tahun 1627-28 terhadap Kesultanan Mataram akibat pajak yang naik melambung hingga 50%. Selanjutnya di masa kolonial Belanda abad ke-19 kembali Samin Surosentiko memimpin Gerakan Samin menolak pajak yang berat yang dikenakan pemerintah kolonial, dan masih banyak lagi.

Pajak di Tanah Banjar

Kalau kita pernah nonton film Walisongo, Sunan Kalijaga dan sejenisnya, di akhir Kerajaan Majapahit penguasanya sangat kejam dalam memungut pajak. Rakyat kecil sering menangis dan menghiba ketika para pamong dan centeng-centengnya dengan arogan memungut pajak padi, ternak dan segala macam.

Di tanah Banjar tidak terkecuali, khususnya era penjajahan Belanda, pajak juga menjadi momok bagi rakyat. Pajak saat itu sangat memberatkan karena pemerintah Belanda menggunakan sistem pemungutan yang disebut Collecteloon, pembakal ditugaskan memungut pajak kepada warga di desanya masing-masing yang besar kecilnya ditentukan pemerintah Belanda melalui Commissie Aanslog. Setiap penduduk yang terkena wajib pajak harus menyetorkan pajaknya kepada pembakal, atau pembakal yang memungutnya, ditambah 0,75 gulden sebagai penghasilan pembakal.

Kumpulan pajak diserahkan oleh pembakal kepada kiai (kepala distrik), dan kemudian kiai menyerahkan lagi kepada atasannya untuk dimasukkan ke kas negara. Dari sinilah pembakal yang dibantu oleh para pangerak (semacam Ketua RT) akan melakukan tekanan keras kepada penduduk wajib pajak, adakalanya lebih keras daripada petugas Belanda sendiri, agar banyak pajak terkumpul sesuai jumlah penduduk wajib pajak dan nilainya. Semakin banyak terkumpul, semakin besar penghasilan pembakal dan para pembantunya (Syamsuddin, 1970).

Pembakal saat itu tidak disyaratkan pintar atau pandai berpidato misalnya, bahkan buta huruf Latin pun boleh. Yang penting mereka berani dan dikenal jagoan di kampungnya, sehingga disegani dan ditakuti rakyatnya. Syarat lainnya, mereka loyal kepada atasan. Pembakal atau pembantunya yang dikenal jagoan di kampung tersebut masih kita rasakan hingga era 1970-an. Rakyat yang takut sedapat mungkin berusaha agar bisa membayar pajak tepat waktu dan sesuai hitungan, sebab kalau tidak mereka akan terkena risiko yang lebih berat lagi. Beban pajak itu dirasakan berat, apalagi saat itu mencari uang susah dan tidak semua lahan sawah dan kebun menghasilkan.

Baca Juga :  BERSYUKUR DALAM HIDUP

Usaha Meringankan Pajak

Para tokoh dan organisasi pergerakan sangat prihatin dengan beratnya beban pajak tersebut. Usaha meringankan pajak yang membebani rakyat dilakukan melalui jalur politik. Kongres Serikat Islam di Banjarmasin tanggal 14-16 April 1923 mengeluarkan Mosi Kongres yang isinya antara lain meminta kepada pemerintah Belanda agar menghapuskan dan meringankan sejumlah pajak yang sangat memberatkan penduduk, sebagai berikut:

Menuntut pemerintah Hindia Belanda supaya membebaskan guru-guru agama, guru-guru sekolah-sekolah Islam, khatib, bilal dan kaum masjid dari kewajiban menjalankan Ordonantie Heeren Diens menyangkut kerja paksa, rodi atau erakan, sebagaimana pemerintah Hindia Belanda membebaskan pajak untuk guru-guru sekolah Belanda; Menuntut kepada pemerintah Hindia Belanda menghapuskan atau meringankan pungutan 30% pajak penghasilan (inkomstenbelasting), juga 10% opcenten gemeenteraad yang memberatkan bagi rakyat; Memperjuangkan adanya Lid Commissie Aanslag yang dipilih dari orang-orang kampung sendiri yang mengetahui perikehidupan di kampung sehingga besaran pajak tidak pukul rata, tetapi disesuaikan dengan kemampuan warga; Mengharapkan agar dihapuskannya bea invoerrecten (bea impor) 8% untuk tanaman rotan, sebab untuk tanaman ini sudah dikenakan pajak pendapatan, tuntutan ini terutama untuk memperjuangkan aspirasi masyarakat Dayak Kalimantan Tengah sebagai penghasil rotan terbesar di Kalimantan; Mengharapkan dihapuskannya sl
achtbelasting (pajak penjegalan atau penyembelihan hewan); Memperjuangkan dihapuskannya landrente (pajak tanah/kebun) yang rusak atau tidak produktif lagi, dan hanya tanah/kebun yang menghasilkan saja yang terkena pajak; Menuntut dihapuskannya pungutan 2% dari uang yang dibawa pergi haji, karena pungutan ini dianggap tidak sah dan tidak jelas penggolongan pajaknya (Wajidi, 2013).

Partai Ekonomi Kalimantan (PEK) yang dipimpin Anang Acil Kusuma Wiranegara tahun 1930-an meminta kepada pemerintah kolonial Belanda untuk menghapuskan pajak, terutama bagi penduduk berusia 50 tahun ke atas yang tidak kuat lagi bekerja, serta yang berusia di bawah 18 tahun yang belum bisa bekerja. Usaha yang dilakukan oleh PEK ini cukup berhasil, Artum Artha dkk sebagai pengurus PEK ketika itu selalu berusaha membela rakyat kecil tanpa bayaran, sehingga organisasi ini cukup populer dan disukai rakyat, terutama di daerah-daerah Hulu Sungai.

Sebelum adanya PEK, rakyat cukup menderita karena: Tiap orang petani yang punya 1 bidang sawah dan 1 bidang kebun dipungut pajaknya masing-masing f 0,75 dan f 0,50 setiap tahun; Tiap orang tua berusia 50-55 tahun dikenakan pajak kepala f 0,50 setiap tahun, begitu juga orang dewasa berumur 18 tahun ke atas. Kalau usianya di bawah 18 tahun jika sudah kawin juga dikenakan pajak yang sama. Akibatnya dalam satu keluarga ada sejumlah orang yang terkena pajak yang sama, sehingga sangat memberatkan (Wajidi, 2013).

Mestinya Melegakan

Setelah merdeka, mestinya rakyat merasa lega, dalam arti tidak ada lagi pajak atau pungutan yang memberatkan. Negara atas nama rakyat dapat mengelola berbagai kekayaan sumber daya alam negara yang oleh Allah telah dikaruniakan sangat melimpah untuk Indonesia. Dari situlah biaya pembangunan bersumber dan sekaligus digunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

Baca Juga :  Sosialisasi Moderasi Beragama, Upaya Menjauhkan Pemuda dari Islam yang Hakiki

Tetapi yang terjadi, 85% APBN justru bersumber dari pajak, dan hanya 15% yang berasal dari sumber lain, termasuk dari sumber kekayaan alam. Lantas ke mana hasil kekayaan alam yang dikeruk setiap hari selama ini.

Pakar ekonomi UI, Prof Dr Rhenald Kasali menyatakan, suatu negara tidak bisa makmur dengan hanya mengandalkan kekayaan alam. Itu benar saja, jika pengelolaannya tidak baik, seperti Indonesia. Tetapi jika pengelolaannya baik, proporsional dan adil, tentu kita bisa mengandalkan kekayaan SDA, ditambah sumber lain. Banyak negara adil makmur dan sejahtera dengan kekayaan alam, misalnya Brunei, Arab Saudi dan sekitarnya, Irak, Iran dan Lybia sebelum perang dan masih banyak lagi. Mereka bisa membebaskan biaya listrik, leading, telpon (internet), kesehatan, pendidikan, rumah, dan kebutuhan dasar lainnya, bahkan rakyat yang tidak bekerja digaji negara.

Indonesia juga demikian, menurut hitungan Abraham Samad dkk mantan Ketua KPK, sebagaimana sering dinyatakan pula oleh Mahfud MD, dari hasil alam kita saja selain mampu membiayai pembangunan, juga mampu menggaji rakyat 20 juta perorang perbulan. Itu jika dikelola dengan benar, sesuai dengan pesan Pasal 33 UUD 1945. Karena itu pemerintah bersama DPR perlu melakukan perubahan total dan radikal terhadap sistem pengelolaan SDA selama ini, agar pesan UUD tidak hanya di atas kertas saja. Mantan Ketua Umum PB-NU KH Hasyim Muzadi menyatakan, hasil alam adalah untuk rakyat setempat, bukan untuk pihak lain. Jika berlebihan baru boleh diberikan kepada pihak lain yang memerlukan.

Sudah waktunya bagi pemerintah untuk membiarkan rakyat bernafas lega, dengan cara tidak memberati mereka dengan berbagai macam pajak. Rakyat sudah lelah dengan ekonomi yang sulit. Kalau mau memungut juga, lebih kepada mereka yang berpenghasilan besar, bukan rakyat kecil yang dipukul rata. Mereka menunggak pajak bukannya lupa, tapi uangnya memang tidak ada.

Kalau ditambah pajak dan pajak lagi, kita khawatir rakyat melakukan perlawanan. Kalau tak melawan, mereka bukannya menerima, tapi tak ada waktu dan daya lagi untuk protes, karena sehari-hari hanya memikirkan kerja dan urusan perut.

Pajak juga harus terbebas dari korupsi dan tepat hitungannya, bukan hasil kongkalikong, seperti disinyalir Mahfud MD. Pajak yang berhasil dipungut harus benar-benar digunakan untuk pembangunan yang prioritas serta kesejahteraan rakyat, bukan untuk pembangunan yang tidak penting, seperti proyek-proyek yang mercusuar, keinginan pribadi pejabat, hanya keperluan jangka panjang dan sejenisnya. Kalau peruntukannya tepat, kita yakin banyak rakyat rela bayar pajak, tanpa mengerutu. Wallahu A’lam.

Iklan
Iklan