Oleh: Zahida Ar-Rosyida
Aktivis Muslimah Banua
Hingga 2025, Kalimantan Selatan menghadapi masalah serius: sekitar 88.000 orang pengangguran (BaritoPost.co.id,11/08/2025). Angka ini bukan sekadar statistik: di baliknya terdapat keluarga yang kesulitan menafkahi anggota rumah tangga, generasi muda yang terhambat masa depannya, dan tekanan sosial yang meningkat.
Dominasi sektor pertambangan membuat pertumbuhan ekonomi tidak otomatis menciptakan lapangan kerja. Sektor ini padat modal, minim hilirisasi, dan sering mengalihkan lahan produktif untuk investasi korporasi. UMKM dan pertanian lokal pun tertekan, sehingga pendapatan masyarakat tidak stabil dan risiko kemiskinan meningkat.
Pemerintah Provinsi Kalimantan Selatan melalui Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Disnakertrans) menyiapkan berbagai program pelatihan dan pemberdayaan. Kepala Disnakertrans, menyebut pelatihan terbatas sekitar 386 kegiatan, dengan fokus pada keterampilan berbasis industri dan digital (suarindonesia.com, 12/08/2025).
DPRD Kalsel melalui Komisi IV mendorong inovasi dalam program pelatihan, termasuk memanfaatkan dana CSR perusahaan dan memastikan seluruh kegiatan selaras dengan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) (dprdkalselprov.id, 11/08/2025).
Langkah-langkah ini patut diapresiasi karena memberikan ruang nyata bagi masyarakat untuk meningkatkan keterampilan dan mengakses peluang kerja. Namun, fakta menunjukkan bahwa angka pengangguran masih tinggi karena struktur ekonomi lebih menguntungkan korporasi daripada tenaga kerja lokal, serta pelatihan yang belum sepenuhnya relevan dengan kebutuhan industri (rri.co.id, 12/08/2025).
Sesungguhnya jika dicermati secara jernih dan mendalam kita akan temukan akar masalah pengangguran hari ini, setidaknya ada beberapa faktor:
Pertama. Tambang padat modal, serapan kerja minimal. Satu alat berat bisa menggantikan ratusan pekerja. Hilirisasi rendah membuat nilai tambah keluar dari daerah.
Kedua, UMKM dan pertanian tertekan. Lahan dialihkan ke korporasi, modal terbatas, akses pasar timpang. UMKM tidak mampu menyerap tenaga kerja.
Ketiga. Pelatihan belum tepat sasaran. Program pemerintah kadang hanya menambal masalah, bukan menyelesaikan hingga ke akar masalah.
Keempat. Struktur ekonomi kapitalistik. Negara hanya regulator dan pemberi izin, bukan pengelola sepenuhnya SDA untuk kesejahteraan publik, akibatnya para kapitalis sajalah yang lebih banyak menikmati hasil dari pengelolaan SDA ini, rakyat hanya mendapatkan remah-remahnya saja. Rente tinggi di hulu dan dominasi korporasi menahan serapan kerja luas.
Dalam perspektif Islam, SDA bukan sekadar komoditas korporasi, tetapi milik umum yang harus dikelola negara.
Rasulullah SAW bersabda, “Kaum Muslim berserikat dalam tiga perkara: air, padang rumput, dan api.” (HR. Abu Dawud, Ahmad). Negara menjadi pengelola tunggal, memastikan hasil SDA dinikmati rakyat, bukan segelintir korporasi.
Rasulullah SAW juga bersabda, “Setiap kalian adalah pemimpin, dan setiap kalian akan dimintai pertanggungjawaban atas yang dipimpinnya…”
(HR. Bukhari & Muslim)
Negara bertanggung jawab agar surplus SDA mengalir ke kas publik untuk membiayai layanan, pendidikan, dan pembangunan industri lokal. Beberapa prinsip relevan:
Pertama. Pengelolaan SDA untuk rakyat. Negara mengelola tambang dan energi agar menciptakan lapangan kerja, bukan hanya keuntungan korporasi.
Kedua. Hilirisasi lokal dan industri berbasis SDA & pertanian. Industri pengolahan lokal menahan nilai tambah di daerah sekaligus membuka lapangan kerja nyata.
Ketiga. Reforma agraria syariah. Lahan produktif dikembalikan atau disediakan bagi masyarakat yang sanggup mengelolanya, menumbuhkan UMKM padat karya.
Keempat. Pendidikan kerja berbasis amanah. Kurikulum dan pelatihan disesuaikan dengan kebutuhan nyata masyarakat dan industri.
Kelima. Pasar tanpa riba dan monopoli. UMKM dan pekerja lokal bersaing adil, mengurangi ketimpangan, dan memastikan distribusi penghasilan merata.
Islam juga mewajibkan laki-laki menafkahi keluarga, dan negara wajib memastikan setiap kepala keluarga memiliki akses kerja atau alat produksi.
Bekerja untuk mencukupi kebutuhan hidup adalah kewajiban. “Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bagianmu dari duniawi…”. (QS. Al-Qasas : 77).
Mandat syar’i ini menjadikan pengangguran bukan sekadar masalah ekonomi, tapi persoalan perilaku yang harus ditangani secara sistemik.
Upaya pemerintah daerah dalam melatih tenaga kerja, memberdayakan UMKM, dan menjalin kerja sama industri jelas positif dan patut diapresiasi. Namun, angka pengangguran 88.000 orang menunjukkan bahwa strategi saat ini masih terbatas, karena struktur ekonomi menguntungkan korporasi, minim hilirisasi, dan ketidaksesuaian pendidikan dengan kebutuhan industri.
Islam Kaffah menawarkan arsitektur berbeda: SDA milik umum, surplus dialirkan ke kas publik, hilirisasi lokal, reforma agraria syariah, pendidikan relevan, dan pasar adil. Dengan prinsip ini, pertumbuhan ekonomi langsung menumbuhkan lapangan kerja nyata, menekan pengangguran bukan sekadar di angka, tetapi dalam kehidupan keluarga di Kalsel. Wallahu’alam bi-showwab.