Oleh : Haritsa
Pemerhati Generasi dan Kemasyarakatan
Isu peran perempuan dalam pembangunan bangsa kerap muncul dalam diskursus nasional maupun internasional.
Di Indonesia, berbagai kebijakan telah digulirkan, mulai dari peningkatan kuota keterwakilan perempuan di parlemen, program pemberdayaan ekonomi perempuan, hingga kampanye kesetaraan gender.
Semua ini diklaim sebagai upaya strategis untuk mengarahkan perempuan agar bisa mengambil peran signifikan dalam kemajuan bangsa. Benarkah? Apakah justru sebaliknya, membuat perempuan salah langkah dan kontraproduktif dengan kemajuan bangsa?
Konstruksi Sosial
Dalam paradigma sekuler, peran strategis perempuan dalam pembangunan bangsa sering dimaknai sebatas partisipasi ekonomi dan politik. Dengan raihan dalam ekonomi dan politik, perempuan dianggap sudah mensejajarkan diri dengan laki-laki. Ukuran keberhasilan biasanya berupa angka keterwakilan di parlemen atau kontribusi dalam PDB.
Peran perempuan dengan pemberdayaan ekonomi dan politik demokrasi tidak lepas dari tatanan sistem kapitalisme sekuler yang menaungi. Nilai materi dan perjuangan ekonomi menjadi fokus di tengah tatanan yang menerapkan kebebasan ekonomi. Mayoritas rakyat termasuk perempuan harus berjuang meraih kesejahteraan. Di sisi lain perempuan yang bekerja akan menggerakkan roda ekonomi dengan produksi dan konsumsinya. Perempuan berkiprah menjadi pekerja atau wirausahawan. Dunia ekonomi akan memanfaatkan aspek-aspek perempuan seperti ketelitian, kesabaran dan aspek feminitas hingga seksualitas perempuan. Di titik ini perempuan yang berdaya sebenarnya tereksploitasi.
Mayoritas perempuan hanya akan menjadi pekerja yang dikuras waktu, tenaga dan pikirannya untuk kerja, uang dan harapan kesejahteraan. Selain itu mereka akan terjauhkan dalam peran mereka dalam keluarga dan masyarakat, yaitu sebagai ibu dan isteri serta sebagai pengemban dakwah Islam.
Orientasi kesetaraan dengan nilai ekonomi dan politik demokrasi ini mengabaikan perbedaan fitrah dan peran kodrati perempuan. Perempuan akan menganggap peran ibu dan isteri sebagai peran rendah dan subordinasi. Mereka minder jika menjadi ibu rumah tangga saja. Kalaupun menjalani peran ibu dan isteri, pilihan ini hanyalah keterpaksaan. Jika bekerja, mereka kehilangan fokus pada peran sebagai ibu dan isteri karena sudah burnt out, kelelahan fisik dan psikis akibat tuntutan dunia kerja yang dijalani. Peran ganda tidak ringan. Orientasi ekonomi sering menuntut perempuan untuk menunda menikah atau menunda punya anak. Di negara seperti Korea, keengganan generasi untuk menikah dan punya anak menjadi problem nasional yang direspon oleh pemerintah dengan program biro jodoh serta aneka program subsidi bagi pasangan yang menikah dan memiliki anak.
Fakta lainnya, jika punya anak, mereka mengalihkan pengasuhan dan pendidikan pada pihak lain seperti jasa perawatan dan jasa penitipan. Waktu dan kesempatan ibu yang singkat membersamai untuk mengasuh, mendidik dan membina anak dan generasi khususnya di masa pengasuhan dan pendidikan usia dini hilang. Perempuan kehilangan jati diri dimana kesabaran, ketekunan dan ketelitian bukan ditujukan pada anak-anaknya tapi pada pekerjaan. Anak-anak kehilangan peran ibu yang optimal untuk bonding/ikatan dan figur yang berpengaruh dan sebagai sekolah pertama dan utama anak-anak. Anak yang kehilangan pengasuhan optimal orang tua, khususnya ibu akan cenderung menjadi generasi problematik seperti cenderung agresif dan nakal. Anak-anak yang bermasalah adalah wajah generasi hari ini. Karenanya peran strategis perempuan adalah sebagai ibu dan isteri.
Karenanya peran perempuan sebagai ibu dan isteri sangat penting dan strategis karena mempengaruhi masyarakat dan negara.
Dalam Islam, peran strategis perempuan dilihat melalui kacamata syariah Islam. Islam memuliakan perempuan bukan karena keterlibatannya dalam angka statistik pembangunan dan juga cuan yang dicetak.
Islam menetapkan dua peran penting perempuan, yaitu sebagai ibu dan pengatur rumah tangga. Ibu adalah pendidik utama dan pertama bagi para buah hatinya. Ibu adalah peletak dasar jiwa kepemimpinan pada anak. Ibu mempersiapkan anak menjadi generasi pejuang.
Namun tidak berarti peran utama perempuan sebagai ibu dan isteri menjadikannya tidak berkiprah di tengah masyarakat. Islam memerintahkan laki-laki dan perempuan melakukan amar makruf nahi munkar di tengah masyarakat. Perempuan menjadi pengemban dakwah untuk mengoreksi penguasa dan mengurus urusan rakyat.
Dengan demikian, peran strategis perempuan dalam pembangunan bangsa bukan sekadar soal kuota politik atau kontribusi ekonomi sebagaimana logika sekuler, melainkan bagaimana mereka mampu menjalankan peran mulianya sesuai syariah.
Hanya dalam naungan Khilafah Islam, perempuan ditempatkan pada posisi yang mulia, dilindungi, sekaligus diberi ruang untuk berkontribusi nyata dalam membangun peradaban. Wallahu alam bis shawab