Kalimantan Post - Aspirasi Nusantara
Baca Koran
Space Iklan
Space Iklan
Iklan Utama
Opini

SUTRADARA

×

SUTRADARA

Sebarkan artikel ini
Ahmad Barjie B
Ahmad Barjie B

Oleh : AHMAD BARJIE B

Pada 1980 hingga 2000-an sandiwara radio dan film laga di televisi sangat digandrungi oleh masyarakat Indonesia, tidak terkecuali di kalangan orang Banjar Kalimantan Selatan. Iklan-iklannya padat dan bernilai ekonomi tinggi. Banyak masyarakat yang menyediakan waktunya secara khusus untuk mendengar, menonton atau pergi bioskop untuk menikmatinya di layar lebar. Kini kebanyakan dari sandiwara dan film tersebut bisa ditonton melalui media digital.

Kalimantan Post

Amat banyak tema atau judulnya, ada yang bersambung sampai puluhan episode baru selesai. Di antaranya Mahkota Majapahit, Mahkota Mayangkara, Kaca Banggala, Mak Lampir, Misteri Gunung Merapi, Badai Laut Selatan dan sebagaimnya.

Biasanya para pendengar dan pemirsa lebih kenal dengan nama artis (pemain), bahkan merindukan dan mengidolakannya, daripada nama sutradara. Walaupun di setiap kali tampilan selalu disebutkan nama produsernya, sutradaranya, dan sejumlah kru lainnya, namun nama mereka sering tidak diingat.

Belum lama ini saya kedatangan tamu dari Jakarta, rombongan jamaah silaturahim, atau biasa disebut jamaah tabligh, bayan dan sebutan lainnya, yang biasa berkeliling Indonesia bahkan dunia untuk berdakwah. Mereka sering mengajak warga masyarakat dari rumah ke rumah untuk memakmurkan mushalla dan masjid dengan shalat jemaah lima waktu dan taklim.

Satu di antaranya bernama HM Abnar Romli, lengkapnya Muhammad Abu Nawar bin Romli, kelahiran Slawi 13 Maret 1943. Usianya sudah 82 tahun, meski tampak tua, tapi masih sehat, sanggup bepergian ke mana-mana untuk berdakwah, dan materi ceramahnya sangat menarik dan berbobot, karena berangkat dari pengalaman yang panjang. Beliau selagi mudanya memang pernah menjadi santri di Jombang Jawa Timur dan menjadi aktivis Lesbumi (Lembaga Seni Budaya Muslimin Indonesia), sebuah organisasi kesenian di bawah Nahdlatul Ulama.

Baca Juga :  BERSYUKUR DALAM HIDUP

Beliau inilah yang menyutradarai sejumlah sandiwara radio dan film, dari penulis naskah, asisten sutradara sampai sutradara penuh sejak tahun 1974. Penelusuran di media online menyebutkan, beberapa di antara karyanya adalah Dimadu (1973), Setitik Noda (1974), Batas Impian (1974), Bos Bagio Dalam Gerbang Ibukota (1976), Pahlawan Pander (1977), Orang-Orang Laut (1980), Jeritan Malam (1981), Penculikan Penganten (1981), Siluman Kera (1988), Selimut Naga Seribu (1989), Pancasona (19890, Misteri Gunung Merapi/ Mak Lampir, (1980), Si Jampang (1990), Badai Laut Selatan, Kaca Benggala dan banyak lagi.

M Abnar Romli mengaku para produser menyenangi karyanya karena ia bisa menghasilkan suatu film dengan menghemat biaya, dengan tetap mengutamakan kualitas. Dengan teknik dan rekayasa sinematografis, suatu karya tampak tidak berbeda dengan kejadian dan keadaan lokasi aslinya. Misalnya ia mampu memindah lokasi syuting dari Gunung Merapi di Sumatra Barat ke Gunung Merapi di Jawa/Yogyakarta dan penyederhanaan lokasi. Padahal sekiranya mau royal juga mudah, katanya.

Menurutnya, di masa lalu berkarya seni memang menjanjikan hidup sejahtera, hedonis dan glamour, terutama jika karya yang dihasilkan diterima oleh pasar dan menghasilkan duit. Produser akan terus memakai sutradara tersebut, tidak hanya artis filmnya, bahkan mengikat kontrak secara sambung bersambung. Ia bebas untuk mendapatkan rumah atau mobil, atau fasilitas apa saja. Bahkan artis pemain atau pendatang baru (figuran) pun berlomba untuk minta diberi peran. Mereka rela memberi uang bahkan maaf (paha) asal dipakai dan terkenal. Namun artis yang sudah terkenal dan tetap menjaga moral, dikecualikan untuk hal itu. Tidak biasa digeneralisasi tapi kasusnya banyak.

Karena itu menurutnya, bagi sutradara atau pihak lainnya, yang tidak kuat iman, akan mudah terperosok dalam kebebasan dan kenikmatan sesaat. Di tempat atau sela-sela waktu syuting hal itu bisa dimanfaatkan, atau saling memanfaatkan, sambil menyelam minum air.

Baca Juga :  Sosialisasi Moderasi Beragama, Upaya Menjauhkan Pemuda dari Islam yang Hakiki

Untunglah ia pernah menjadi santri dan dibekali pesan agama oleh orangtua, juga pernah aktif di NU. Dengan begitu tidak larut dalam permisivisme dunia hiburan. Sementara sejumlah temannya tidak bisa menghindar. Tapi menurutnya, mereka yang memperturutkan nafsu itu pada umumnya sakit-sakitan dan berumur pendek. Sering minum dan main perempuan tentu menggerogoti fisik. Bayangkan di saat syuting yang melelahkan, ditambah menguras tenaga untuk yang lain lagi.

Dua kali beliau bertandang ke rumah, tentu saya gunakan juga untuk menggali pengalamannya. Kini di usia tua, M Abnar Romli sudah meninggalkan dunia tersebut. Ia merasa tenang dengan bergerak dalam dunia dakwah sesuai kemampuan. Walaupun menurut penulis, karya seni juga dapat dijadikan media dakwah, misalnya dalam setiap film temanya pasti kebenaran mengalahkan kebatilan, namun menurutnya tetap gerakan dakwah murni lebih utama. Sebab dalam karya itu ada banyak kepentingan. Jika karya dimaksudkan untuk mencari duit dan disenangi pasar, maka sisi moralnya agak dikesampingkan dan hiburannya diutamakan. Tapi jika untuk pendidikan, maka sisi moralnya ditonjolkan, dengan risiko karya seni itu tidak ditonton orang alias kurang laku di pasaran. Semua ada kelebihan dan kelemahannya. Wallahu A’lam.

Iklan
Iklan