Oleh : SITI SABARIYAH
Di tengah derita ekonomi yang dirasakan banyak rakyat Indonesia, publik dikejutkan kembali dengan besarnya penghasilan anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) yang bisa mencapai lebih dari Rp100 juta per bulan. Tak hanya gaji pokok, berbagai tunjangan membuat total pendapatan resmi mereka menyentuh angka fantastis. Fakta ini menimbulkan reaksi keras dari masyarakat dan pengamat politik yang menilai ketimpangan ini sudah melewati batas kewajaran.
Fakta Lapangan
- Total penghasilan lebih dari Rp100 juta per bulan. Berdasarkan laporan BeritaSatu (29/08/2024), anggota DPR menerima berbagai tunjangan di luar gaji pokok, mulai dari tunjangan kehormatan, perumahan, listrik, hingga komunikasi. Jika dijumlahkan, total penghasilan mereka bisa mencapai Rp100 juta lebih per bulan.
- Tunjangan-tunjangan yang tidak masuk akal di tengah krisis. Tempo.co (Februari 2024) menyebutkan bahwa para wakil rakyat juga mendapat tunjangan bensin sebesar Rp7 juta serta tunjangan beras Rp12 juta per bulan. Angka yang sangat tidak relevan, mengingat mayoritas rakyat harus berjibaku dengan harga kebutuhan pokok yang terus meroket.
- Rakyat tersakiti, kinerja tidak mewakili. Laporan BBC Indonesia (Agustus 2024) menyampaikan kritik tajam dari pengamat dan masyarakat yang menilai bahwa penghasilan besar anggota DPR tidak sepadan dengan kinerja mereka yang dinilai tidak memuaskan dan sering kali tidak berpihak pada rakyat.
Sistem demokrasi kapitalis sejatinya menjadikan kekuasaan sebagai alat untuk mencapai kepentingan pribadi maupun kelompok. Politik transaksional menjadi hal lumrah karena orientasinya adalah materi. Dalam sistem ini, para elit politik memiliki kewenangan untuk menetapkan sendiri besaran gaji dan tunjangan mereka, tanpa mekanisme pengawasan yang adil dari rakyat yang mereka wakili.
Hal ini menegaskan bahwa jabatan sering kali dijadikan alat untuk memperkaya diri. Empati terhadap penderitaan rakyat kian memudar, dan amanah sebagai wakil rakyat diabaikan demi kepentingan pribadi. Ketimpangan ini bukan sekadar soal jumlah uang, tetapi mencerminkan krisis moral dan sistemik dalam pemerintahan berbasis demokrasi sekuler.
Islam memiliki pandangan yang sangat berbeda dalam memandang jabatan dan pengelolaan harta publik. Dalam sistem Islam, asas yang menjadi dasar adalah akidah Islam, bukan akal atau kepentingan individu. Setiap penguasa dan anggota majelis umat akan dimintai pertanggungjawaban oleh Allah atas setiap keputusan dan amanah yang diembannya.
Gaji seorang pejabat dalam Islam ditetapkan bukan atas dasar kesepakatan internal kekuasaan, tapi berdasarkan kebutuhan riil dan ketentuan syariat. Pemimpin dan wakil umat bukanlah profesi untuk memperkaya diri, melainkan bentuk pengabdian dan amanah yang berat.
Keimanan menjadi tameng utama bagi para pejabat dalam Islam agar tetap jujur, adil, dan tidak menyalahgunakan wewenang. Setiap muslim, termasuk anggota majelis umat, diwajibkan memiliki kepribadian Islam dan menjalankan tugasnya dengan semangat fastabiqul khairat (berlomba dalam kebaikan), bukan berlomba dalam mengumpulkan materi.
Maka, solusi sejati untuk mengakhiri ketimpangan seperti ini adalah dengan menerapkan Islam secara kaffah dalam sistem pemerintahan. Bukan sekadar mengganti individu, tapi mengganti sistem rusak dengan sistem yang berasal dari Allah SWT.