Kalimantan Post - Aspirasi Nusantara
Baca Koran
Space Iklan
Space Iklan
Iklan Utama
Opini

Wakil Rakyat Tidak Merakyat

×

Wakil Rakyat Tidak Merakyat

Sebarkan artikel ini

Oleh: Nailah, ST
Pemerhati Sosial Kemasyarakatan

Anggota DPR mendapat gaji pokok sebesar Rp4,2 juta per bulan, dan setiap anggota dewan bisa menerima tunjangan mencapai lebih dari Rp100 juta hingga Rp200 juta per bulan. Angka tersebut dapat berbeda-beda tergantung pada posisi dan kegiatan yang dilakukan anggota DPR. Para pengamat menilai hal ini tidak layak di tengah sulitnya ekonomi dan tidak sepadan dengan kinerja DPR yang tidak memuaskan.

Kalimantan Post

Ekonomi Rakyat

Saat masyarakat dihadapkan dengan berbagai macam masalah ekonomi karena sulitnya mendapatkan lapangan pekerjaan, ditambah pengeluaran kebutuhan hidup yang semakin tinggi karena kenaikan harga bahan pokok, kenaikan pajak, kenaikan iuran BPJS, dan lain-lain.

Rakyat membutuhkan wakil yang menyuarakan kondisi mereka untuk bisa terselesaikan masalah mereka. Namun faktanya, kebijakan yang dibuat DPR malah melegitimasi kebijakan pemerintah yang menyulitkan rakyat dengan disahkan berbagai Undang-Undang yang merugikan rakyat, seperti UU ciptaker, UU IKN dan sebagainya.

Wakil Rakyat

Makin reaktifnya masyarakat terhadap sikap para anggota parlemen akhir-akhir ini sesungguhnya merupakan hal yang wajar. Betapa tidak, dari waktu ke waktu, perilaku wakil rakyat itu memang makin jauh dari harapan. Bahkan mereka turut menelorkan kebijakan-kebijakan yang berorientasi pada kepentingan pribadi, meski pada saat yang sama justru mencekik leher rakyat yang diwakilinya sendiri.

Terkait penetapan RAPBN 2026, misalnya, seluruh anggota DPR dan partai-partai justru memberi lampu hijau bagi usulan arsitektur anggaran yang jelas-jelas boros dan dipandang salah prioritas, tidak transparan, tidak akuntabel, tidak berkeadilan, tidak efisien, dan lain-lain. Salah satunya terkait alokasi anggaran DPR yang mencapai Rp9,9 triliun atau melonjak 47,8% dibandingkan dengan APBN 2025 sebesar Rp6,69 triliun.

Lonjakan anggaran itu, diantaranya dialokasikan untuk menambah fasilitas bagi masing-masing anggota. Mereka berdalih bahwa hal tersebut adalah demi mengoptimasi tugas sebagai wakil rakyat, termasuk mendukung kegiatan legislasi dan pengawasan terhadap jalannya pemerintahan.

Baca Juga :  Televisi dan Pustaka: Sinergi Literasi Bangsa

Namun masalahnya, rancangan ini disusun di tengah kinerja mereka yang makin dipertanyakan. Juga bertentangan dengan spirit efisiensi anggaran yang digaungkan pemerintah. Faktanya justr telah banyak memangkas anggaran layanan publik dan sektor strategis lain yang berkaitan dengan kepentingan rakyat banyak. Bahkan pungutan pajak yang dilakukan pemerintah berdalih untuk menutup utang dan defisit anggaran.

Oleh karenanya, sangat aneh jika pada kondisi demikian, para wakil rakyat malah mendapat fasilitas yang wah dari APBN yang sumber utamanya berasal dari pajak dan utang. Lalu, utang itu harus dibayar dengan cara kembali menarik pajak dari rakyat.

Kesederhanaan Pejabat

Hidup sederhana sepertinya bukan menjadi kamus hidup dalam sistem sekuler kapitalis. Sistem ini memang mengajarkan gaya hidup hedonis dan konsumtif. Tidak terkecuali para pejabat negara. Mereka merasa harus mendapat kemudahan sarana dan prasarana selama menjabat amanah sebagai wakil rakyat.

Padahal, jika kita bercermin pada gaya dan pola hidup para pemimpin dan pejabat pada masa sistem Islam, mereka lebih banyak hidup sederhana dan hemat. Terlebih jika kita menyebut sosok paling teladan di antara manusia, yaitu Rasulullah SAW. Kehidupan beliau dan para sahabat sangat jauh dari kemewahan. Harta mereka sebagai pemimpin umat justru totalitas digunakan oleh mereka untuk kepentingan dan kesejahteraan rakyat.

Di sistem Islam, rakyat adalah pihak yang wajib dilayani, sedangkan pemimpin dan pejabat adalah pihak yang melayani. Hal ini berkebalikan di sistem demokrasi kapitalistik, malah rakyat yang melayani penguasa dan pejabatnya. Pejabat hanya bisa membuat susah rakyat dengan kebijakan dan UU yang dihasilkan, juga hanya memihak kepentingan pemodal.

Kita tentu banyak mendengar kisah kesederhanaan para penguasa di sistem Islam. Sebagai contoh, sepanjang menjadi khalifah, Umar bin Khaththab hanya memiliki dua baju sederhana yang dipakai secara bergantian. Ia bahkan tidak mau memakan makanan enak pada saat rakyatnya sedang kelaparan.

Baca Juga :  Rekam Jejak Komunisme

Ali bin Abi Thalib juga pemimpin bijaksana, sederhana, dan adil dalam bertindak. Pada hari raya, makanan yang tersedia di rumahnya hanya makanan rakyat kecil berupa hidangan daging rebus bercampur tepung (al-khazirah). Ada pula potret kesederhanaan Khalifah Umar bin Abdul Aziz yang tidak mau menggunakan uang negara sekadar untuk membeli makanan.

Begitulah, pejabat yang senantiasa taat pada Allah dan Rasul-Nya akan selalu berhati-hati mengemban amanah. Namun, sistem demokrasi kapitalistik mereduksi ketaatan tersebut lantaran penerapan akidah sekuler.

Walhasil, pejabat sederhana dan bertakwa dapat terbentuk jika sistem Islam kaffah diterapkan dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Di bawah kepemimpinan Islam, rakyat mendapat haknya dan pejabat menjalankan kewajibannya dengan amanah.

Iklan
Iklan