Oleh : Saadah,S.Pd
Pemerhati Sosial Kemasyarakatan
Beberapa waktu lalu, DPRD Kalimantan Selatan mengajak para ibu untuk menjadi “benteng Pancasila” di keluarga, agar anak-anak terhindar dari pengaruh ideologi asing. Sekilas, ajakan ini terdengar positif — memperkuat peran ibu sebagai penjaga nilai bangsa. Namun, di baliknya ada hal yang perlu dicermati lebih dalam: bahwa masalah utama bukan hanya pada individu atau keluarga, melainkan pada sistem ideologi sekuler yang telah lama mengakar dalam kehidupan bernegara. (https://banjarmasin.tribunnews.com/kalsel/1335494/cegah-infiltrasi-ideologi-dprd-kalsel-dorong-peran-ibu-ibu-jadi-benteng-pancasila-di-keluarga)
Sekularisme dan Dampak Tersembunyi
Sekularisme berasal dari pemikiran Barat yang muncul setelah konflik antara gereja dan negara. Dalam pandangan ini, agama dianggap urusan pribadi, sedangkan urusan publik seperti politik, ekonomi, dan hukum harus diatur tanpa campur tangan nilai agama.
Menurut Wikipedia, sekularisme adalah “pemisahan antara institusi keagamaan dan negara.”
Sementara itu, dalam konteks Indonesia, negara memang tidak mendasarkan kebijakan pada agama tertentu, sebagaimana disebutkan bahwa Indonesia secara resmi adalah “a secular state without an established state religion” (Wikipedia: Religion in Indonesia).
Akibat penerapan nilai-nilai sekuler, agama hanya dianggap relevan untuk ritual dan moral pribadi, bukan sebagai panduan dalam kebijakan publik. Hasilnya, nilai agama kian tersisih, sementara sistem sosial tunduk pada logika untung-rugi dan kekuasaan.
Fakta di lapangan memperlihatkan akibatnya: 1. Korupsi masih tinggi, menurut Transparency International, Indeks Persepsi Korupsi Indonesia tahun 2024 hanya mencapai 34/100, menandakan lemahnya integritas birokrasi; 2. Ketimpangan ekonomi, juga masih menganga. Data BPS (https://www.bps.go.id/en/pressrelease/2025/01/15/2399/gini-ratio-september-2024-tercatat-sebesar-0-381.html?utm_source=chatgpt.com) menunjukkan rasio Gini per September 2024 sebesar 0,381, yang berarti jurang antara si kaya dan si miskin masih lebar; 3. Krisis moral sosial, tampak dari meningkatnya kasus perceraian dan kekerasan anak yang dilaporkan KemenPPPA setiap tahun (kemenpppa.go.id).
Semua ini terjadi karena agama dijauhkan dari sistem hidup, bukan karena masyarakat kekurangan ajaran moral.
Sistem Menyalahkan Individu
Salah satu ciri khas sistem sekuler adalah selalu menyalahkan individu, bukan sistemnya.
Ketika generasi muda rusak, yang disalahkan adalah orang tua. Ketika korupsi merajalela, yang disalahkan adalah moral individu, bukan sistem ekonomi dan politik yang memungkinkan perilaku koruptif.
Wacana “ibu benteng ideologi” mencerminkan pola pikir ini. Seolah-olah semua tanggung jawab moral dibebankan kepada ibu, padahal lingkungan sosial dan sistem negara justru menjadi jalur utama masuknya ideologi asing — melalui media, kebijakan ekonomi liberal, dan kurikulum pendidikan yang tidak berpihak pada nilai agama.
Padahal menurut Islam, tanggung jawab menjaga ideologi bukan hanya di pundak individu, tetapi juga negara dan masyarakat secara kolektif.
Rasulullah SAW bersabda, “Pemimpin adalah pelindung, dan ia akan dimintai pertanggungjawaban atas rakyatnya.” (HR. Bukhari dan Muslim). Artinya, negara wajib menjaga akidah umat, bukan sekadar menyerahkannya pada peran ibu di rumah.
Akar Krisis Bangsa
Hampir semua krisis bangsa berakar dari sekularisme.
- Ekonomi, sistem kapitalisme yang lahir dari pemikiran sekuler menumbuhkan kesenjangan tajam. BPS menunjukkan tren ketimpangan belum turun signifikan. (https://www.bps.go.id/en/pressrelease/2025/01/15/2399/gini-ratio-september-2024-tercatat-sebesar-0-381.html) Islam telah memperingatkan bahaya riba dan menegaskan pentingnya distribusi kekayaan yang adil (QS. Al-Hasyr: 7).
- Pendidikan, orientasi pendidikan modern hanya menyiapkan tenaga kerja, bukan manusia berakhlak. Hal ini tampak dari survei OECD PISA 2022 yang menunjukkan rendahnya kemampuan berpikir kritis dan karakter moral siswa Indonesia.
- Politik dan hukum, nilai moral sering dijadikan simbol seremonial, bukan dasar kebijakan. Banyak undang-undang dibuat mengikuti tekanan pasar dan kepentingan elite, bukan berdasarkan nilai kebenaran.
Semua ini menunjukkan betapa pemisahan agama dari kehidupan telah menciptakan jurang antara moral dan realitas sosial.
Solusi Islam
Islam tidak memisahkan antara akidah dan kehidupan. Prinsip ini ditegaskan dalam Al-Qur’an, “Wahai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam secara keseluruhan (kaffah)…” (QS. Al-Baqarah: 208)
Dalam sistem Islam: Ekonomi bebas dari riba, zakat menjadi mekanisme distribusi kekayaan.
- Pendidikan diarahkan untuk membentuk manusia beriman dan berilmu.
- Hukum ditegakkan adil tanpa diskriminasi.
- Negara berfungsi sebagai penjaga akidah dan pelindung moral publik.
Sejarah Islam membuktikan hal ini. Dalam masa kekhilafahan, lembaga Hisbah, berperan menjaga moral publik dan ekonomi yang jujur (jurnal UIN Syarif Hidayatullah).
Ibu dalam sistem Islam bukan hanya “benteng rumah tangga,” melainkan bagian dari masyarakat yang seluruhnya bergerak dalam satu sistem nilai yang sama. Ia didukung oleh media, kurikulum, dan hukum yang berpihak pada kebenaran — bukan dibiarkan melawan arus sekuler sendirian.
Sekularisme tampak moderat dan netral, tetapi sesungguhnya ia mematikan peran agama secara perlahan. Ia menjadikan iman sekadar urusan pribadi, dan kehidupan sosial diserahkan pada logika manusia yang terbatas.
Inilah yang menjadikan bangsa kita rapuh secara moral meski berlimpah sumber daya dan lembaga pendidikan agama.
Program “ibu benteng Pancasila” memang niatnya baik, tetapi tidak akan menyentuh akar persoalan selama sistem yang melingkupinya tetap sekuler.
Yang kita perlukan bukan sekadar ajakan moral, melainkan transformasi sistem menuju tatanan hidup yang berlandaskan nilai Ilahi sebagaimana diajarkan Islam secara kaffah.
Karena hanya ketika agama kembali menjadi pedoman hidup dalam seluruh aspek, keadilan, kesejahteraan, dan ketenangan masyarakat benar-benar bisa terwujud.












