Oleh : Afifah, S.Pd
Pemerhati Sosial
Belakangan pemerintah daerah di Kalimantan Selatan intens memacu kepatuhan pajak seperti ada program pemutihan dan gebyar panutan pajak (insentif, reward, diskon PKB/BBNKB). Di tingkat kota, DPRD dan pemerintah daerah menekan aparat keuangan daerah untuk menggali potensi PAD, sampai menggunakan kata “berburu wajib pajak” agar APBD tidak defisit. Tekanan fiskal inilah yang sering memicu penagihan lebih agresif.
Kepala BPKPAD Banjarmasin, Edi Wibowo menegaskan pemko tak bisa hanya mengharapkan dana transfer dari pemerintah pusat. Optimalisasi PAD harus dilakukan untuk menjaga stabilitas anggaran. Salah satunya dengan mendata ulang objek pajak. Mulai dari Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), pajak restoran, hingga pajak hiburan. Sementara itu, Wakil Ketua DPRD Kota Banjarmasin, Muhammad Isnaini mendorong penertiban dan penegakan hukum bagi wajib pajak nakal benar-benar dijalankan. Selain itu, Isnaini juga mengusulkan adanya regulasi berupa insentif dan disinsentif untuk mendorong pelaku usaha agar lebih taat membayar pajak. (https://www.prokal.co)
Dalam sistem sekuler, pajak adalah kewajiban finansial yang memaksa berdasarkan undang-undang, dipungut negara dari rakyat untuk membiayai belanja publik. Ia dipandang sebagai instrumen fiskal dikarenakan sebagai sumber utama pendapatan negara.
Pajak bisa menjadi alat eksploitasi, bukan sekadar kewajiban. Pajak bahkan dapat membuat rakyat sengsara. Pajak dalam sistem sekuler, alih-alih menjadi sarana kesejahteraan, kerap berubah menjadi beban yang menindas rakyat. Dengan demikian, problem utama bukan pada rakyat yang enggan membayar, melainkan pada sistem pajak itu sendiri yang timpang, sarat penyalahgunaan, dan kehilangan legitimasi.
Pungutan pajak jelas menyengsarakan, karena pungutan itu tidak memandang kondisi rakyat. Mirisnya banyak kebijakan pajak yang memberikan keringanan pada para pengusaha, dengan alasan untuk meningkatkan investasi pengusaha bermodal besar. Asumsinya investasi akan membuka lapangan kerja dan bermanfaat untuk rakyat. Namun faktanya jauh dari itu.
Inilah gambaran nyata kehidupan rakyat dalam negara yang menerapkan sistem demokrasi sekuler kapitalisme. Negara mengandalkan pajak sebagai sumber pendapatan negara. Negara terus mencari legitimasi untuk menambah pendapatan negara berupa pungutan pajak tidak peduli meski menambah beban hidup rakyat.
Inilah paradigma yang berbeda dengan sistem Islam (khilafah). Dalam Khilafah, pajak bukan sumber utama keuangan negara. Pajak hanya dipungut ketika kas Baitul maal kosong, dan itu pun terbatas pada kebutuhan mendesak yang hanya di ambil pada kalangan tertentu yakni dari orang muslim yang kaya saja. Dalam Islam pajak (dharibah) bersifat insidentil dan temporer, tidak bersifat kontinu; Ketika di baitul maal sudah ada harta yang mencukupi, maka kewajiban pajak dihapus/dihentikan.
Dengan demikian, solusi Islam menempatkan beban keuangan negara bukan di pundak rakyat kecil, melainkan pada pengelolaan sumber daya sesuai syariat, serta menjadikan zakat dan hasil pengelolaan milik umum sebagai penopang utama.
Dalam Sistem ekonomi Islam mengatur tentang konsep kepemilikan harta dan distribusi kekayaan yang merata di tengah masyarakat. Negara dilarang (haram) menyerahkan harta kepemilikan umum seperti SDA kepada swasta (asing).
Negaralah yang bertanggungjawab langsung dalam pengelolaan SDAE sesuai dengan aturan syariat Islam. Negara wajib mengelola kepemilikan umum seperti SDAE diantaranya laut, hutan, dan barang tambang yang melimpah dan melarang individu/swasta mengelolanya.
Industri yang berkaitan dengan hajat hidup rakyat, seperti listrik, telekomunikasi, transportasi, dan lain-lain, juga dikelola negara. Ini akan bisa menjadi kekayaan dan sumber pendapatan yang melimpah bagi negara untuk mengurusi rakyat dan modal membangun negara. Dengan begitu negara akan mampu menjamin terpenuhinya kebutuhan pokok kolektif rakyat berupa keamanan, pendidikan dan pelayanan kesehatan yang terbaik dan gratis bagi setiap warga negara baik muslim maupun non muslim. Tanpa perlu memungut pajak/biaya kepada masyarakat.
Sistem khilafah ini memastikan keadilan, transparansi, dan keberkahan, sehingga rakyat terlindungi dari kesengsaraan akibat pajak yang menindas. Sistem Islam juga menetapkan penguasa sebagai rain dan junnah, dan mengharamkan penguasa untuk menyentuh harta rakyat. Kewajiban penguasa mengelola harta rakyat untuk dikembalikan kepada rakyat dalam bentuk berbagai fasilitas umum dan layanan yang akan memudahkan hidup rakyat.
Alhasil, hanya dengan menerapkan sistem Islam, rakyat akan taat dan bisa terbebas dari pajak yang memberatkan sehingga terwujud limpahan kesejahteran dan keberkahan. Wallahu a’lam













