BANJARMASIN, Kalimantanpost.xom – Pengamat Kebijakan Publik Politeknik Indonesia Banjarmasin, Prof. Dr. Muhammad Uhaib As’ad menilai polemik dana Rp4,7 triliun milik Pemerintah Provinsi Kalimantan Selatan (Pemprov Kalsel) yang tersimpan di Bank Kalsel memperlihatkan adanya anomali logika antara pemerintah pusat dan daerah dalam memahami makna transparansi dan akuntabilitas keuangan publik.
Menurut Prof. Uhaib, publik dikejutkan oleh informasi adanya dana besar di rekening daerah yang diungkap Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa.
Ia menilai langkah tersebut merupakan bentuk nyata akuntabilitas dan transparansi pemerintah pusat dalam membuka informasi keuangan publik.
“Kalau tidak ada pengungkapan dari Pak Purbaya, masyarakat tidak akan tahu bahwa di sejumlah daerah, termasuk Kalsel, ada dana besar yang diam di bank. Ini penting karena publik berhak tahu bagaimana uang rakyat dikelola,” kata Ketua Pendirian Universitas Sains dan Teknologi Nusantara (USTN).
Namun, ia menilai pernyataan Gubernur Kalsel H. Muhidin yang menyebut dana tersebut aktif dan produktif justru menunjukkan adanya anomali logika kebijakan.
“Pemerintah daerah menyebut dana itu diendapkan di bank pembangunan daerah untuk mendapat bunga 6,5 persen. Tapi logikanya, mengapa hanya berharap bunga dari uang yang tidak berputar di masyarakat? Uang ini menjadi stagnan dan tidak berkontribusi langsung terhadap ekonomi publik,” tegasnya.
Prof. Uhaib menilai kebijakan menempatkan dana publik hanya untuk mendapatkan bunga menunjukkan cara pandang administratif, bukan produktif.
“Kalau uang sebesar itu diputar lewat penyertaan modal, kerja sama dengan swasta, atau pembiayaan UMKM, tentu efek ekonominya jauh lebih besar,” ujarnya.
“Tapi karena logikanya hanya bunga, akhirnya pemerintah daerah seolah berperan sebagai ‘rentenir’ dari uang rakyat sendiri,” tambahnya.
Ia juga menyoroti respons Gubernur Kalsel yang menyebut Menteri Keuangan “koboy”, karena mengungkap data tersebut.
Menurutnya, pernyataan itu justru mempertegas kontradiksi pemikiran antara pusat dan daerah.
“Logika gubernur dan menteri ini tidak ketemu. Menteri berbicara atas dasar transparansi dan akuntabilitas, sedangkan gubernur defensif seolah diintervensi. Padahal yang dilakukan menteri adalah membuka ruang publik agar tata kelola keuangan lebih jujur dan terbuka,” paparnya.
Prof. Uhaib menilai perbedaan perspektif itu harusnya tidak dipolitisasi, tetapi dijadikan refleksi bersama untuk memperbaiki tata kelola pemerintahan.
“Kita perlu mendukung gebrakan menteri yang berani membuka hal-hal yang selama ini sunyi. Ini bukan soal intervensi, tetapi soal moral politik untuk membenahi kebocoran dan praktik-praktik koruptif yang sudah mengakar,” tegasnya.
Lebih lanjut, ia menekankan pentingnya pelibatan publik dalam pengawasan dana daerah. Menurutnya, partisipasi publik tidak hanya dalam pemilu, tetapi juga dalam mengawasi keuangan negara dan daerah sebagai bagian dari prinsip good governance.
“Transparansi dan akuntabilitas itu roh dari pemerintahan yang bersih. Kalau dana publik tidak diketahui pergerakannya, maka ruang penyimpangan akan terus terbuka,” jelasnya.
Prof. Uhaib menutup dengan menegaskan bahwa pemerintah daerah seharusnya tidak “panas dingin” terhadap kritik, melainkan menjadikannya momentum memperbaiki kebijakan keuangan.
“Jangan melihat pengungkapan ini sebagai serangan, tapi sebagai upaya pembenahan. Kalau kita sama-sama ingin menegakkan tata kelola yang baik, tidak perlu takut dengan keterbukaan. Justru transparansi inilah yang menyelamatkan kepercayaan publik,” pungkasnya. (sfr/KPO-4).














