Kalimantan Post - Aspirasi Nusantara
Baca Koran
Space Iklan
Space Iklan
Iklan Utama
Opini

DPR dan Luka Kolektif Rakyat: Jabatan is Privilege

×

DPR dan Luka Kolektif Rakyat: Jabatan is Privilege

Sebarkan artikel ini

Oleh : Jummy
Aktivis Dakwah Kampus

Kenaikan pendapatan anggota DPR hingga lebih dari Rp100 juta per bulan bukan sekadar angka. Ia telah menjadi luka kolektif yang menusuk perasaan rakyat. Di tengah kondisi ekonomi yang kian sulit, harga kebutuhan pokok yang terus naik, pengangguran yang tak terselesaikan, dan layanan publik yang belum memadai, kabar bahwa wakil rakyat memperoleh tunjangan supermewah terasa seperti tamparan di wajah rakyat yang memilih mereka.

Kalimantan Post

Pakar kebijakan publik UPN Veteran Jakarta, Achmad Nur Hidayat, dengan tegas menyebut langkah tersebut sebagai tindakan yang “menyakiti perasaan masyarakat secara umum”. Ia tak keliru. Sebab, rakyat memang menunggu solusi atas penderitaan hidup, bukan melihat wakilnya hidup dalam kemewahan dengan fasilitas negara.

Wakil Ketua DPR, Adies Kadir, memang buru-buru mengklarifikasi bahwa gaji pokok anggota parlemen periode 2024–2029 tidak naik. Namun, ia mengakui adanya kenaikan pada komponen tunjangan. Anggota DPR, misalnya, berhak atas tunjangan rumah sebesar Rp50 juta per bulan, belum termasuk tunjangan bensin dan beras. Angka ini membuat total pendapatan resmi mereka melampaui Rp100 juta setiap bulan.

Namun, setelah gelombang demonstrasi merebak sejak 25 Agustus 2025, pimpinan DPR mencoba melakukan koreksi. Wakil Ketua DPR, Sufmi Dasco Ahmad, mengumumkan penghentian tunjangan rumah per 31 Agustus 2025. Ia juga menjanjikan penangguhan kunjungan dinas ke luar negeri, serta efisiensi dalam kunjungan kerja dalam negeri. Sayangnya, langkah ini terasa seperti reaksi sesaat, bukan hasil kesadaran penuh. Sebab, rakyat sudah terlanjur kecewa.

Kekecewaan Rakyat

Kekecewaan publik bukan hanya soal angka tunjangan. Lebih dari itu, rakyat merasa dikhianati. Bagaimana tidak, DPR yang sering dikritik karena kinerjanya yang minim prestasi justru sibuk menambah fasilitas untuk dirinya sendiri.

Baca Juga :  Simbiosis Manusia dan Bumi : Oase Solusi di Tengah Krisis Iklim

Indeks kepercayaan publik terhadap DPR dalam beberapa tahun terakhir memang cenderung rendah. Banyak survei menunjukkan DPR selalu berada di urutan bawah dalam hal kepercayaan dibanding lembaga negara lainnya. Kini, dengan adanya isu tunjangan supermewah, kepercayaan itu semakin terkikis.

Kemarahan rakyat yang diekspresikan melalui demonstrasi adalah cermin bahwa jurang antara wakil rakyat dan rakyat yang diwakili kian melebar. Bagi rakyat kecil yang sulit membeli beras, mendengar wakilnya mendapat tunjangan beras Rp12 juta per bulan jelas terasa absurd. Di tengah kesulitan mencari bensin murah, mengetahui ada tunjangan bensin Rp7 juta per bulan bagi anggota DPR adalah ironi yang menyakitkan.

Demokrasi Kapitalisme: Kesenjangan yang Tak Terhindarkan

Jika ditelisik lebih dalam, fenomena ini bukanlah kebetulan. Dalam sistem demokrasi kapitalisme, kesenjangan adalah keniscayaan. Politik transaksional tumbuh subur karena materi dijadikan tujuan utama. Anggaran negara kerap dipandang sebagai kue yang bisa dipotong untuk dibagi-bagi, termasuk demi kenyamanan para politisi.

Anggota DPR memiliki kewenangan mengatur anggaran, dan justru di sanalah potensi konflik kepentingan terjadi. Mereka bisa mengalokasikan dana untuk memperbesar fasilitas bagi dirinya sendiri. Maka, jabatan pun bergeser maknanya: dari amanah rakyat menjadi alat memperkaya diri.

Demokrasi yang sering disebut “kedaulatan rakyat” pada praktiknya berubah menjadi “kedaulatan elite politik atas rakyat”. Rakyat hanya dilibatkan setiap lima tahun sekali dalam pesta demokrasi, sementara keputusan-keputusan krusial yang menyangkut hajat hidup orang banyak lebih sering berpihak pada kepentingan kelompok elite.

Politik sebagai Amanah

Berbeda dengan demokrasi, Islam menempatkan jabatan sebagai amanah yang kelak dipertanggungjawabkan di hadapan Allah. Asas politik Islam adalah akidah, bukan akal manusia yang mudah diperjualbelikan. Anggota majelis umat dalam struktur Khilafah tidak berwenang membuat hukum, melainkan memberikan masukan, kritik, dan pengawasan terhadap Khalifah agar syariat Allah diterapkan secara sempurna.

Baca Juga :  Merefleksi Indonesia Lewat One Piece

Dengan asas ini, jabatan tidak bisa dijadikan privilege untuk memperkaya diri. Setiap pejabat, baik khalifah maupun anggota majelis umat, wajib memiliki kepribadian Islam yang menjadikan iman sebagai pengawas internal.

Prinsip fastabiqul khairat (berlomba-lomba dalam kebaikan) menjadi landasan dalam melaksanakan amanah. Dalam sejarah Islam, kita mengenal para pemimpin dan pejabat yang hidup sederhana, jauh dari fasilitas mewah. Umar bin Khattab, misalnya, dikenal menolak menikmati makanan berlebih karena tidak ingin hidup lebih enak daripada rakyat yang dipimpinnya.

Iklan
Iklan