Kalimantan Post - Aspirasi Nusantara
Baca Koran
Space Iklan
Space Iklan
Iklan Utama
HEADLINE

Mengenal Imam Maturidi di Samarkand, Bapak Ahlul Sunnah Wal Jamaah

×

Mengenal Imam Maturidi di Samarkand, Bapak Ahlul Sunnah Wal Jamaah

Sebarkan artikel ini
IMG 20251007 WA0028 e1759830837994

SAMARKAND, Kalimantanpost.com – Dalam sejarah perkembangan pemikiran Islam, muncul arus teologi yang berusaha mengintegrasikan akal (rasio) dengan dalil-dalil naqliy, yaitu Al-Quran dan hadis, dalam memahami aqidah. Salah satu aliran utama dalam tradisi ini adalah Maturidiyah, yang dikenal dengan pendekatannya yang seimbang antara nalar dan wahyu.

Aliran ini dinisbahkan kepada pendirinya, Abu Mansur al-Maturidi, seorang ulama besar yang lahir di Maturid, Samarkand pada tahun 853 M (abad ke-3 Hijriah), di masa pemerintahan Khalifah Al-Mutawakkil dari Dinasti Abbasiyah—wilayah yang kini termasuk Uzbekistan.

Kalimantan Post

Dengan menggabungkan argumen rasional dan otoritas tekstual, pemikiran Maturidiyah memberikan kontribusi signifikan terhadap pembentukan dan pemantapan ajaran Ahlussunnah wal-Jama’ah, sejajar dengan aliran Asy’ariyah.

Bahkan, Abu Mansur al-Maturidi sering disandingkan dengan Abu al-Hasan al-Asy’ari sebagai dua tokoh intelektual utama yang memperkuat dasar-dasar teologi Sunni.

Sebagaimana disebut dalam jurnal Hunafa, pengaruh Maturidiyah sangat kuat dalam membentuk ortodoksi Islam yang dianut luas hingga saat ini. Di kalangan pengikutnya, al-Maturidi dihormati dengan gelar Rais Ahlussunnah, seperti dikutip dari artikel Muhammad Tholhah al-Fayyadl di NU Online.

Dari Samarkand, Uzbekistan Kalimantan Post biro Jakarta berkesempatan meliput langsung melaporkan kegiatan konferensi ilmiah-praktis tingkat nasional bertajuk “Ajaran Maturidiyah dan Zaman Modern” di Universitas Negeri Samarkand.

Konferensi yang dihadiri oleh para profesor dan dosen Universitas Negeri Samarkand, para peneliti dari Pusat Penelitian Internasional Imam Maturidi, Imam Bukhari, Imam Termizi, Institut Arkeologi Samarkand, Akademi Internasional Islamologi Uzbekistan, serta sejumlah perguruan tinggi lainnya merupakan bagian dari kegiatan Peringatan 1155 Tahun Kelahiran Imam Maturidi.

Menurut Wakil Direktur Pusat Penelitian Internasional Imam Maturidi, Shakhzod Islāmov Pusat Penelitian Internasional Imam Maturidi telah menerbitkan 49 buku, 46 risalah populer, dan 12 monografi yang berkaitan dengan studi atas warisan ilmiah Imam Maturidi dan para pengikutnya.

Berdasarkan naskah manuskrip karya Abul Husain Bashaghari “Ismat al-Anbiya”, telah disusun teks kritis ilmiah yang kemudian diterbitkan di Yordania dan diluncurkan di Kairo.

Selain itu, terbit pula terjemahan akademik beranotasi dalam bahasa Uzbek atas karya-karya “Syarh al-Aqaid at-Tahawiyyah” karya Abdurahim ibn Ali Shaykhzoda, “Tabsirat al-Adillah” karya Abu Muin an-Nasafi, dan “an-Nur al-Lami’” karya Mankubars Nasiri.

Dalam kesempatan itu juga dilaksanakan peluncuran dua karya utama Imam Maturidi yang diterbitkan oleh Pusat Penelitian Internasional Imam Maturidi, yaitu “Ta’wilat al-Qur’an” dan “Kitab at-Tawhid”. Diketahui bahwa hingga kini hanya dua karya tersebut yang sampai kepada umat muslim saat ini.

Bagaimana di Indonesia ? Dalam dunia teologi Islam yang berkembang di Indonesia, pemikiran Imam al-Maturidi sering kali tidak dapat dipisahkan dari gagasan Abu al-Hasan al-Asy’ari, mengingat keduanya memiliki peran sentral dalam membentuk kerangka pemikiran ahlussunnah wal-jama’ah.
Kedua tokoh ini, meskipun memiliki latar belakang dan pendekatan yang berbeda, pada hakikatnya saling melengkapi dalam upaya memperkuat fondasi akidah yang kokoh di tengah hantaman arus filsafat dan pemikiran sesat.

Baca Juga :  Pengurus PWI Pusat Periode 2025-2030 Resmi Dikukuhkan di Monumen Pers Solo

Manhaj (metodologi) yang mereka kembangkan menjadi rujukan utama bagi umat Islam dalam memahami konsep ketuhanan, sifat-sifat Allah, serta hubungan antara wahyu dan akal.

Pemikiran kedua imam besar ini kerap menjadi bahan kajian mendalam di kalangan ulama dan akademisi, terutama dalam disiplin ilmu kalam—yakni ilmu yang menggunakan pendekatan rasional-filosofis untuk menjelaskan prinsip-prinsip akidah Islam.

Ilmu kalam muncul sebagai respons terhadap tantangan intelektual pada masa itu, khususnya ketika muncul keraguan-keraguan dalam memahami doktrin keimanan karena pengaruh aliran-aliran filosofis asing.

Melalui argumen-argumen sistematis, al-Maturidi dan al-Asy’ari berhasil menegakkan ajaran Islam yang seimbang antara dalil naqli (nash) dan aqli (rasional).

Tak heran, banyak mufasir dan ulama kemudian memberikan gelar kehormatan kepada keduanya sebagai perintis ahlussunnah.

Al-Maturidi, khususnya, dikenal dengan sebutan al-Imam al-Zahid, menunjukkan kombinasi unik antara keluhuran ilmu dan keteguhan hidup zuhud dalam ibadah.

Gelar ini mencerminkan integritas keilmuan dan spiritualitas yang tinggi, menjadikannya figur yang dihormati tidak hanya karena karya-karyanya yang mendalam, tetapi juga karena kehidupan pribadinya yang penuh ketawadhu’an.

Biografi al-Maturidi sendiri didukung oleh dua catatan sejarah yang kredibel. Pertama, dari segi nasab, beliau merupakan keturunan langsung dari Abu Ayyub al-Anshari—seorang sahabat mulia yang rumahnya menjadi tempat pertama Nabi Muhammad SAW menetap setelah hijrah dari Makkah ke Madinah.

Silsilah ini menunjukkan kedekatan spiritual dan historis al-Maturidi dengan sumber otoritatif Islam, menambah bobot otoritas keilmuannya di mata umat.

Kedua, menurut Kamaluddin Ahmad al-Bayadhi dalam karyanya Isyarat al-Maram min Ibarat al-Imam, Abu Mansur al-Maturidi lahir di Desa Matrid, sebuah wilayah di Samarkand yang kini termasuk wilayah Uzbekistan.

Tempat kelahiran ini tidak hanya menjadi titik awal perjalanan intelektualnya, tetapi juga lokasi akhir peristirahatannya.

Makam beliau di Samarkand hingga kini menjadi simbol perlawanan intelektual terhadap penyimpangan akidah, sekaligus menjadi pusat rujukan historis bagi umat Islam dalam menjaga kemurnian ajaran ahlussunnah wal-jama’ah.

Keturunan, tempat kelahiran, dan warisan pemikirannya secara bersama-sama memperkuat posisinya sebagai salah satu pilar utama dalam tradisi teologi Sunni.

Secara doktrinal, Maturidiyah mengemukakan sejumlah prinsip pokok dalam sistem keimanan mereka, sebagaimana dirujuk dari buku Akidah Akhlak (2020) karya Siswanto, antara lain:

  1. Kewajiban Mengenal Allah dan Syariat
    Menurut Maturidiyah, akal manusia mampu menangkap nilai-nilai moral secara objektif, seperti bahwa berbohong itu buruk atau berbuat adil itu baik.

Namun, akal tidak cukup untuk mengetahui secara lengkap kewajiban-kewajiban agama yang ditetapkan oleh Allah. Oleh karena itu, syariat Islam tetap diperlukan untuk menentukan apa saja yang menjadi perintah dan larangan-Nya.

Dalam pandangan ini, akal berperan sebagai alat untuk memahami, bukan sebagai sumber kewajiban itu sendiri.

Baca Juga :  ‎HP Hilang Bisa Aman, Kemkomdigi Siapkan Skema Blokir IMEI Sukarela‎

Dengan kata lain, kewajiban secara hakiki berasal dari Allah, dan manusia berkewajiban untuk mengenal-Nya serta mempelajari syariat-Nya.

Pandangan ini membedakan Maturidiyah dari aliran Mu’tazilah, yang menekankan bahwa akal manusia mampu mengetahui kebenaran agama secara mandiri tanpa wahyu.

  1. Kebaikan dan Keburukan Menurut Akal
    Maturidiyah membagi ruang lingkup moralitas yang dapat dijangkau akal ke dalam tiga kategori.

Pertama, hal-hal yang jelas baik atau buruk secara objektif, seperti membunuh tanpa alasan yang dibenarkan—perbuatan ini jelas salah, bahkan tanpa dijelaskan oleh syariat.

Kedua, hal-hal yang mutlak hanya diketahui oleh Allah, seperti hakikat sifat ilahiyah, yang tidak dapat diakses akal manusia.

Ketiga, hal-hal yang secara rasional tidak dapat ditentukan baik atau buruknya oleh akal, sehingga manusia harus merujuk pada syariat untuk mengetahui hukumnya.

Meskipun akal dapat menilai sebagian kebaikan dan keburukan, pelaksanaan hukum dan tanggung jawab ibadah baru berlaku setelah adanya wahyu.

  1. Perbuatan Manusia dan Peran Ilahi
    Aliran Maturidiyah mengedepankan pandangan kasb (pemerolehan), yang menyatakan bahwa perbuatan manusia diciptakan oleh Allah, tetapi manusia tetap memiliki kemampuan untuk memilih, berusaha, dan bertekad dalam bertindak.

Dalam konteks ini, ayat Al-Quran surah Ash-Shaffat ayat 96 (“Allah-lah yang menciptakan apa yang kamu perbuat”) ditafsirkan sebagai pernyataan bahwa Allah adalah Pencipta segala sesuatu, termasuk perbuatan hamba-Nya.

Namun, manusia tetap dimintai pertanggungjawaban karena memiliki daya dan kemauan (istiţa’ah wa al-irādah) dalam melaksanakan perbuatan tersebut.

Dengan begitu, aliran ini menolak dua ekstrem: determinisme mutlak (fatalisme) dan kehendak bebas mutlak (free will).

Maturidiyah menempati posisi moderat, bahwa perbuatan lahir dari gabungan antara penciptaan Allah dan partisipasi aktif manusia.

  1. Janji dan Ancaman dalam Syariat
  2. ⁠Allah SWT menjanjikan surga bagi orang yang beriman dan beramal saleh, serta mengancam pelanggar dengan hukuman di akhirat.

Namun, Maturidiyah menegaskan bahwa Allah Maha Kuasa dan Maha Bijaksana, sehingga Ia berhak mengampuni bahkan pelaku dosa besar sekalipun atas kerelaan-Nya sendiri.

Pendapat ini berbeda dengan paham Khawarij, yang mengkafirkan pelaku dosa besar. Menurut Maturidiyah, selama seseorang masih memiliki iman di hatinya, ia tetap berstatus sebagai mukmin, meskipun berdosa besar.

Status keimanannya tidak gugur karena dosa. Dalam hal nasib pelaku dosa besar yang meninggal tanpa bertaubat, Maturidiyah menyerahkannya sepenuhnya kepada kehendak Allah—tidak memastikan ia masuk surga, tetapi juga tidak menghukumi secara pasti bahwa ia pasti kekal di neraka.

Secara keseluruhan, aliran Maturidiyah menawarkan kerangka teologi yang seimbang, rasional, dan moderat, yang tetap berpijak pada otoritas nash sekaligus memberi ruang bagi nalar manusia.

Pendekatan ini tidak hanya membentuk identitas intelektual Ahlussunnah, tetapi juga memberikan dasar filosofis yang kokoh dalam memahami hubungan antara Tuhan, manusia, dan hukum moral.(nau/KPO-1)

Iklan
Iklan