Kalimantan Post - Aspirasi Nusantara
Baca Koran
Space Iklan
Space Iklan
Iklan Utama
Opini

Nikah Dini & Stunting di Kalsel: Gejala Gagalnya Sistem Sekular

×

Nikah Dini & Stunting di Kalsel: Gejala Gagalnya Sistem Sekular

Sebarkan artikel ini

Oleh : Jumiarti
Aktivis Dakwah

Angka pernikahan dini dan stunting di Provinsi Kalimantan Selatan (Kalsel) masih menunjukkan tren memprihatinkan. Data Kementerian Kependudukan dan Pembangunan Keluarga (Kemendukbangga) mencatat, angka kelahiran pada usia 15–19 tahun (ASFR) di Kalsel rata-rata mencapai 23,8%, jauh di atas angka nasional 18%. Kabupaten Tapin memegang rekor tertinggi sebesar 32,5%, disusul Barito Kuala 26,7%.

Kalimantan Post

Kondisi ini berdampak langsung pada tingginya kasus stunting di Kalsel. Tahun 2024, stunting tercatat sebesar 23,9%—jauh di atas rata-rata nasional 19,8%. Kabupaten Banjar berada di peringkat teratas dengan 32,3%, diikuti Hulu Sungai Utara 27,6%, dan Kota Banjarmasin 26,5%.

Ironisnya, tingginya stunting di Kalsel tidak disebabkan oleh kemiskinan—bahkan Kalsel berada di peringkat ketiga provinsi dengan tingkat kemiskinan terendah di Indonesia. Faktor utamanya justru pernikahan anak yang marak terjadi, didorong oleh tekanan budaya dan pola asuh yang keliru.

Sekularisme dan Krisis Keluarga

Dalam sistem sekular yang memisahkan urusan agama dari pengaturan negara, keluarga dianggap sebagai ranah privat yang tidak memerlukan panduan syariat secara menyeluruh. Akibatnya, persoalan serius seperti pernikahan dini seringkali diserahkan pada norma adat atau pertimbangan ekonomi semata, tanpa adanya pembinaan nilai yang benar.

Pembangunan pun diukur dari pertumbuhan ekonomi dan angka infrastruktur, bukan dari kualitas keluarga dan generasi. Program edukasi keluarga, penyuluhan gizi, dan layanan kesehatan biasanya hanya dijalankan sebagai proyek jangka pendek. Ketika anggaran habis, program berhenti, dan masalah kembali seperti semula.

Sistem pendidikan sekular di sekolah pun gagal membentuk kesadaran generasi muda akan tanggung jawab membina keluarga. Kurikulum lebih fokus pada keterampilan teknis dan pencapaian akademik, sementara pendidikan moral, kesehatan reproduksi berbasis syariat, dan manajemen keluarga nyaris tidak mendapat porsi memadai. Akibatnya, pernikahan dini menjadi pintu masuk berbagai masalah: kehamilan berisiko, pengasuhan yang minim kesiapan, dan stunting yang terus mewariskan generasi lemah.

Baca Juga :  Filisida Maternal: Cermin Sistem Kehidupan yang Sakit

Pendekatan Islam yang Menyeluruh

Islam memiliki pandangan yang sangat berbeda. Dalam Islam, keluarga adalah pilar utama masyarakat yang harus dibina dengan aturan yang jelas, mulai dari perencanaan pernikahan hingga pengasuhan anak. Negara dalam pandangan Islam berkewajiban melindungi, membimbing, dan memastikan setiap keluarga memiliki kemampuan menjalankan perannya.

Beberapa prinsip yang diambil dari ajaran Islam untuk menyelesaikan masalah ini antara lain:

a. Pendidikan pra-nikah yang komprehensif

Negara menyediakan pusat pembinaan keluarga yang membekali remaja dan calon pasangan dengan ilmu fikih pernikahan, manajemen rumah tangga, perencanaan ekonomi keluarga, pola asuh anak, serta adab berumah tangga. Tujuannya, pasangan yang menikah siap secara mental, fisik, dan spiritual.

b. Pendampingan gizi dan kesehatan sejak sebelum menikah

Kesehatan generasi dimulai bahkan sebelum seorang anak dikandung. Karena itu, pasangan yang akan menikah didampingi oleh tenaga kesehatan, melalui Baitul Mal negara menyediakan asupan suplemen seperti asam folat dan zat besi minimal tiga bulan sebelum pernikahan, serta pemantauan gizi berkelanjutan saat hamil dan menyusui.

c. Penguatan moral dan budaya berbasis akidah

Pernikahan diposisikan sebagai ibadah dan amanah besar. Budaya permisif, gaya pacaran bebas, atau tekanan adat yang memaksa nikah dini tanpa kesiapan dilawan dengan edukasi dan perlindungan yang berpijak pada nilai-nilai agama.

d. Layanan kesehatan keluarga yang berkesinambungan

Pelayanan kesehatan bukan sekadar proyek tahunan atau CSR perusahaan, melainkan hak warga yang dijamin negara secara permanen. Akses pemeriksaan rutin, imunisasi, edukasi gizi, dan pendampingan psikologis tersedia tanpa hambatan biaya.

e. Menghindari Lingkaran Generasi Lemah

Pernikahan dini dan stunting di Kalsel bukanlah sekadar persoalan individu atau pilihan keluarga. Ini adalah cermin dari gagalnya sistem sekular dalam membangun masa depan generasi. Selama urusan keluarga diserahkan pada mekanisme pasar, program sporadis, dan norma budaya yang tidak terarah, masalah ini akan terus berulang.

Baca Juga :  HUKUMAN BAGI PELANGGAR HUKUM

Islam menawarkan solusi yang terintegrasi—memadukan peran negara, masyarakat, dan keluarga dalam satu kesatuan visi. Pendidikan yang membentuk karakter, layanan kesehatan yang merata, pembinaan moral yang kuat, dan pengelolaan sumber daya yang berpihak pada rakyat akan memastikan anak-anak yang lahir bukan hanya bebas stunting, tapi juga siap menjadi generasi berilmu, berakhlak, dan berdaya.

Dengan penerapan prinsip-prinsip ini secara konsisten, nikah dini yang merugikan dan stunting yang melemahkan bisa ditekan hingga tuntas. Masa depan Kalsel tidak akan lagi dibayangi oleh generasi lemah, melainkan dipenuhi oleh generasi sehat, cerdas, dan berkepribadian luhur yang mampu memimpin masyarakat ke arah yang lebih mulia.

Iklan
Iklan