Kalimantan Post - Aspirasi Nusantara
Baca Koran
Space Iklan
Space Iklan
Iklan Utama
Opini

Panci sebagai Bahasa Perlawanan

×

Panci sebagai Bahasa Perlawanan

Sebarkan artikel ini

Oleh : Najamuddin Khairur Rijal
Mahasiswa S3 Ilmu Sosial FISIP Universitas Airlangga Surabaya

Sejumlah ibu-ibu yang tergabung dalam Suara Ibu Indonesia di Yogyakarta berkumpul di Bundaran Universitas Gadjah Mada, 26 September lalu. Mereka menggelar aksi dan menyuarakan agar program Makan Bergizi Gratis (MBG) dihentikan. Alasannya, keracunan massal yang terjadi di banyak daerah setidaknya adalah bukti bahwa sistem tata kelola MBG sejak awal memang bermasalah.

Kalimantan Post

Ibu-ibu ini datang membawa alat dapur seperti panci, wajan, serta alat makan. Mereka memukul alat-alat itu secara serentak hingga berbunyi nyaring, menimbulkan kegaduhan yang memecah ritme lalu lintas sore. Suara itu adalah suara protes, mereka marah dan kecewa karena ada banyak masalah selama program MBG dijalankan tapi pemerintah seolah menutup telinga. Program yang dibungkus jargon “bergizi” malah menorehkan trauma kolektif dan ketakutan baru pada para siswa dan orang tua.

Sekilas, aksi ini terlihat lokal, kecil dan remeh. Tapi jika kita membuka buku sejarah gerakan sosial, kita akan menemukan bahwa panci kosong dan kawan-kawannya punya perjalanan panjang dalam politik perlawanan global. Apa yang dilakukan ibu-ibu di Yogyakarta itu sejatinya adalah gema dari simbol lama yang kini beresonansi kembali dalam konteks berbeda.

Panci Kosong dan Tradisi Perlawanan

Simbol panci kosong sudah muncul sejak lama, salah satunya dalam tradisi cacerolazo di Amerika Latin. Pada era Augusto Pinochet berkuasa di Chile antara 1973 sampai 1990, rakyat memukul panci kosong untuk melawan kelaparan dan represi rezim. Sementara di Argentina, saat krisis ekonomi 2001, aksi serupa mewarnai jalanan ketika tabungan rakyat raib akibat kebijakan finansial negara. Bunyi dentingan panci menjadi tanda kolektif bahwa suara perut lapar tidak bisa dibungkam.

Kemudian, pada tahun 2012, simbol ini mendunia lewat gerakan yang disebut dengan Global Noise. Para aktivisnya mengajak warga di seluruh dunia untuk “membuat kebisingan”. Panci, wajan, kaleng, piring, sendok, dan apa pun alat di dapur digunakan untuk melawan dominasi neoliberalisme global, utang internasional, dan kebijakan kapitalis yang mencekik rakyat. Global Noise adalah alarm bahwa rakyat kecil punya cara sendiri untuk membuat suara mereka lebih nyaring dan pekik mereka terdengar.

Baca Juga :  MENYAYANGI ORANG MISKIN

Dengan demikian, apa yang kita lihat di Yogyakarta itu mungkin adalah bagian dari jejak simbolik yang sama. Meski para ibu-ibu peserta aksi itu tidak membaca manual gerakan sosial transnasional, tapi secara spontan mereka sesungguhnya menggunakan simbol yang pernah menghubungkan Santiago, Buenos Aires, New York, hingga Madrid lebih dari satu dekade lalu.

Politik dari Dapur

Alat dapur adalah simbol rakyat biasa, simbol rumah tangga, simbol yang paling dekat dengan perempuan (ibu-ibu). Jika politik sering digambarkan sebagai urusan ruang publik, maka ketika panci, wajan, dan lainnya berpindah dari dapur ke jalan, batas domestik dan ruang publik runtuh. Ketika ibu-ibu memukul panci berarti mereka sedang menyampaikan kekhawatiran keluarga, keresahan anak-anak, dan suara rasa takut terhadap makanan yang disebut bergizi tapi malah meracuni. Inilah politik yang benar-benar lahir dari ruang kehidupan sehari-hari.

Filsuf Hannah Arendt mengingatkan bahwa politik sejati lahir ketika orang-orang hadir bersama di ruang publik dan menyatakan diri. Politik bukan hanya produk parlemen atau birokrasi, tapi momen ketika warga biasa menampakkan diri di hadapan sesama. Aksi ibu-ibu ini mencerminkan itu, mereka membawa suara dapur ke jalanan, mengubahnya menjadi aksi politik.

Jika Global Noise berangkat dari krisis finansial global, utang, neoliberalisme dan isu makro yang terhubung dengan arsitektur kapitalisme dunia, maka aksi ibu-ibu di Yogyakarta lebih mikro, soal nasi di nampan, soal anak keracunan, dan soal tubuh yang sakit karena makanan gratis. Tapi perbedaan skala tidak mengurangi bobot politiknya. Di sinilah menariknya, bagaimana simbol yang sama bisa bermigrasi dari ruang global ke ruang lokal, atau sebaliknya. Isu boleh berbeda, tapi resonansi emosionalnya sama, yakni kemarahan terhadap kekuasaan yang gagal melindungi anak bangsa.

Baca Juga :  Mengamalkan Warisan Rasulullah dengan Bimbingan Ulama

Senjata Perlawanan

James C Scott dengan gagasan Weapons of the Weak, menulis bahwa rakyat kecil punya cara melawan kekuasaan, bukan dengan senjata api, bukan dengan kekuatan finansial, melainkan dengan simbol. Panci kosong salah satunya. Ia adalah senjata, ketika dipukul beramai-ramai, ia berubah jadi bahasa perlawanan. Dentingan panci sudah cukup untuk menyampaikan pesan bahwa ada yang salah dalam MBG.

Pertanyaannya, kenapa aksi Suara Ibu Indonesia itu penting untuk dilihat sebagai sebuah kekuatan? Pertama, karena aksi ini mengajarkan bahwa simbol punya daya tahan lintas zaman dan lintas lokasi. Panci dan aneka alat dapur tetap relevan sebagai alat politik rakyat melawan pemerintah.

Kedua, aksi ini mengingatkan kita bahwa protes tak harus selalu dengan spanduk panjang atau orasi intelektual yang menggebu. Suara panci dan lain-lain bisa lebih jujur dan lebih universal. Jika panci kosong dibunyikan keras-keras, itu artinya ada yang tidak beres di dapur rumah.

Ketiga, aksi ini menohok gagasan tentang politik representatif. Saat wakil rakyat sibuk berdebat di parlemen tanpa hasil, rakyat turun langsung dengan simbol yang bisa dipahami semua orang. Politik selalu butuh simbol yang bisa mengetuk kesadaran. Panci kosong bukan sekadar alat dapur, tapi ia adalah metafora dari masalah makanan di dapur, tempat MBG diproses. 

Jadi, pemerintah perlu peka, jangan menyepelekan suara kelontang panci dan riuh alat-alat dapur. Bisa jadi, bunyi dentingan itu akan punya resonansi perlawanan rakyat yang lebih besar dan lebih nyaring, jika masalah MBG tidak dapat diselesaikan. MBG perlu dievaluasi secara komprehensif!

Iklan
Iklan