Oleh : Ade Hermawan
Dosen Universitas Islam Kalimantan Muhammad Arsyad Al Banjari Banjarmasin
Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4), atau yang juga dikenal sebagai Eka Prasetya Pancakarsa, adalah sebuah pedoman resmi yang dikeluarkan oleh negara (pada masa Orde Baru) yang bertujuan untuk menjabarkan, menafsirkan, dan memberikan panduan praktis mengenai bagaimana nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila seharusnya dihayati (dimengerti secara mendalam) dan diamalkan (dipraktikkan) oleh seluruh warga negara Indonesia dalam kehidupan sehari-hari, berbangsa, dan bernegara.
P4 merumuskan nilai-nilai Pancasila ke dalam 45 butir pengamalan yang lebih rinci yang Tujuan utamanya adalah Menjamin adanya pemahaman tunggal dan seragam tentang arti dan makna Pancasila di kalangan masyarakat, Menciptakan warga negara yang memiliki sikap, tingkah laku, dan perbuatan yang mencerminkan nilai-nilai luhur Pancasila, dan Menjadikan Pancasila sebagai satu-satunya asas dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
P4 ditetapkan melalui Ketetapan MPR Nomor II/MPR/1978 pada Sidang Umum MPR tahun 1978. Pelaksanaannya bersifat masif dan wajib, melalui penataran atau kursus yang dikenal dengan Penataran P4, yang mencakup semua lapisan masyarakat, dari pelajar hingga pejabat. Pada zaman Orde Baru program ini memiliki peran ganda dan strategis sebagai alat utama untuk stabilitas politik, penyeragaman ideologi, dan legitimasi kekuasaan rezim.
P4 berfungsi sebagai senjata ideologi untuk mengamankan dan melanggengkan kekuasaan Presiden Soeharto. Melalui P4, pemerintah Orde Baru menetapkan Pancasila sebagai asas tunggal bagi seluruh organisasi sosial politik di Indonesia. Penafsiran resmi Pancasila melalui P4 menjadi satu-satunya yang sah, menutup ruang bagi ideologi lain (seperti komunisme, ekstremisme agama, atau bahkan sosialisme yang bernuansa Orde Lama) untuk berkembang.
P4 dirancang untuk menanamkan loyalitas mutlak kepada negara dan pemerintah. Mereka yang menentang kebijakan pemerintah dapat dengan mudah dicap sebagai ‘anti-Pancasila’, yang pada masa itu menjadi tuduhan serius yang dapat mengancam karier, pekerjaan, dan bahkan kebebasan sipil seseorang. Penataran P4 dijadikan syarat wajib bagi siapa pun yang ingin menduduki jabatan publik (PNS, militer, pejabat), bahkan menjadi syarat masuk perguruan tinggi. Hal ini memaksa seluruh elemen masyarakat untuk mengikuti program dan ‘lulus’ dalam pemahaman Pancasila versi Orde Baru.
Sifat masif P4 bertujuan untuk memastikan bahwa seluruh rakyat Indonesia memiliki pemahaman yang seragam dan tunggal terhadap Pancasila. P4 diimplementasikan secara top-down (dari pusat ke daerah) melalui lembaga khusus, yaitu Badan Pembinaan Pendidikan Pelaksanaan Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (BP-7). Program ini masuk ke semua lini kehidupan, seperti Menjadi mata pelajaran wajib (PMP/Pendidikan Moral Pancasila) dari SD hingga perguruan tinggi. Penataran wajib bagi seluruh Pegawai Negeri Sipil (PNS) dan ABRI, Penataran bagi tokoh masyarakat, aktivis, dan pimpinan organisasi. Orde Baru menjustifikasi P4 sebagai upaya untuk menghindari kegaduhan politik dan konflik ideologi yang terjadi di masa Orde Lama. Dengan menanamkan nilai-nilai pembangunan dan stabilitas, P4 diarahkan untuk mendukung fokus pada pembangunan ekonomi, bukan perdebatan politik.
P4 juga berfungsi sebagai program pembinaan moral dan etika yang dijadikan dasar kontrol terhadap tingkah laku masyarakat. Dengan menjabarkan Pancasila ke dalam 45 butir yang sangat detail, P4 berupaya mengatur bagaimana seharusnya seorang warga negara berperilaku di lingkungan sosial, keluarga, hingga pekerjaan. Program ini dirancang untuk membentuk karakter warga negara yang disiplin, patuh, dan mendukung program-program pembangunan nasional yang dicanangkan oleh pemerintah.
Kemasifan P4 pada masa orde baru adalah manifestasi dari proyek ideologisasi negara yang dilakukan Orde Baru untuk mencapai stabilitas politik permanen di bawah satu kepemimpinan, dengan menggunakan Pancasila sebagai alat pemersatu sekaligus filter terhadap potensi oposisi. Meski kontroversial karena kuatnya nuansa indoktrinasi politik, sejatinya menyimpan idealisme luhur untuk menancapkan nilai-nilai Pancasila secara mendalam dalam sanubari warga negara.
Ketika Reformasi tiba pada tahun 1998, P4 seolah ikut terkubur dalam reruntuhan Orde Baru. Ia dicabut dan dianggap sebagai simbol indoktrinasi. Era yang baru ini membawa kebebasan berekspresi, demokrasi multipartai, dan keterbukaan informasi, namun bersamaan dengan itu, terjadi pula kekosongan pedoman moral ideologis yang terstruktur.
Paska jatuhnya Orde Baru pada tahun 1998, terjadi pencabutan P4 yang berujung pada kekosongan pedoman moral ideologis yang terstruktur. Kekosongan ini merupakan konsekuensi logis dari transisi menuju demokrasi yang tiba-tiba menghilangkan kontrol ideologi lama tanpa segera menggantinya dengan mekanisme yang baru, efektif, dan demokratis.
Ketika Tap MPR mengenai P4 dicabut, seluruh perangkat, kurikulum, dan lembaga yang mengurusinya (BP-7) otomatis bubar. Pencabutan ini, meskipun perlu demi demokrasi, dilakukan dengan sentimen anti indoktrinasi yang kuat. Akibatnya, segala bentuk pendidikan ideologi terstruktur bahkan yang sifatnya baik cenderung dihindari karena takut dicap sebagai upaya menghidupkan kembali otoritarianisme. Negara seolah ‘alergi’ terhadap pendidikan Pancasila yang masif.
Mata pelajaran Pendidikan Moral Pancasila (PMP) yang berbasis P4 dihapus dan digantikan oleh Pendidikan Kewarganegaraan (PKn). Namun, konten PKn sering kali lebih fokus pada aspek ketatanegaraan, hak, dan prosedur demokrasi, dan kurang mendalam dalam aspek penghayatan moral, etika, dan filosofi Pancasila sebagai panduan hidup.
Karena otonomi daerah dan kebebasan kurikulum, penanaman nilai Pancasila menjadi sangat bervariasi dan tidak memiliki standar nasional yang ketat atau panduan praktis yang seragam seperti 45 butir P4 dulu (meskipun butir tersebut kontroversial). Tanpa adanya pedoman yang terstruktur dan terinternalisasi, Pancasila mengalami kemunduran fungsi di ruang publik. Nilai-nilai Pancasila seringkali hanya diucapkan dalam pidato resmi atau dijadikan jargon tanpa diikuti implementasi nyata dalam perilaku politik, birokrasi, maupun sosial. Pancasila kehilangan fungsinya sebagai kompas moral praktis.
Semangat Reformasi yang menekankan kebebasan dan hak asasi seringkali membuat fokus bergeser dari “kewajiban warga negara” yang harmonis dengan nilai-nilai Pancasila (seperti musyawarah, gotong royong, dan tanggung jawab sosial) menjadi penekanan berlebihan pada hak individu.
Kekosongan yang ditinggalkan oleh P4 dengan cepat diisi oleh kekuatan ideologis lain, terutama yang dibawa oleh globalisasi. Masyarakat semakin terpapar oleh ideologi liberalisme dan individualisme melalui media sosial dan budaya populer. Hal ini seringkali bertentangan dengan nilai-nilai Pancasila, terutama sila Persatuan, Musyawarah, dan Keadilan Sosial. Tanpa adanya “perekat” ideologis nasional yang kuat, ruang kosong tersebut diisi oleh ideologi-ideologi primordial dan ekstrem (baik kiri, kanan, maupun berbasis agama) yang saling bertentangan, mengancam semangat Bhinneka Tunggal Ika.
Pemerintah baru menyadari dan mencoba mengisi kekosongan ini belakangan. Upaya untuk membuat panduan baru berlangsung lambat. Pembentukan Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) jauh setelah Reformasi (berawal dari UKP-PIP pada 2017) merupakan pengakuan bahwa negara membutuhkan kembali lembaga yang mengurus ideologi. Namun, BPIP menghadapi tantangan besar untuk merumuskan pedoman yang efektif, inklusif, dan demokratis, tanpa mengulang kesalahan Orde Baru.
Perlukah P4 dihidupkan kembali? Mungkin bukan mengembalikan P4 yang lama, melainkan merevitalisasi semangatnya dalam format yang sesuai dengan era demokrasi. Kita tak butuh lagi indoktrinasi yang seragam dan anti-kritik. Yang kita butuhkan adalah Pendidikan Pancasila yang transformatif, dialogis, dan kritis. Pendidikan semacam ini harus Bukan sekadar hafalan butir, tetapi pemahaman kontekstual terhadap nilai-nilai inti Pancasila dalam menghadapi isu-isu kontemporer (seperti hoax, perubahan iklim, dan kesenjangan ekonomi). Menekankan pengamalan etika publik dan tanggung jawab social, dan Terbuka untuk interpretasi yang sehat dan dialektika, mengakui Pancasila sebagai ideologi yang hidup dan mampu beradaptasi.
Pendidikan Pancasila yang transformatif adalah pendekatan pengajaran ideologi yang berpijak pada semangat demokrasi, berpikir kritis, dan implementasi nilai-nilai Pancasila dalam konteks isu-isu kontemporer, bukan hanya berfokus pada hafalan butir-butir doktriner. Tujuannya adalah mengubah kesadaran peserta didik menjadi agen perubahan sosial yang hidup sesuai dengan etika Pancasila.
Pendidikan transformatif secara fundamental menolak metode indoktrinasi yang bersifat satu arah seperti pada era P4 Orde Baru. Metode pengajaran harus memicu dialektika dan musyawarah (sesuai Sila Keempat). Peserta didik didorong untuk mengkritisi praktik-praktik politik, sosial, atau ekonomi yang menyimpang dari nilai Pancasila, bukan sekadar menerima penafsiran tunggal dari negara. Pancasila diajarkan sebagai pisau analisis untuk membedah masalah-masalah kompleks, seperti ketidakadilan sosial, korupsi, atau pelanggaran HAM, sehingga peserta didik dapat memahami relevansi ideologi tersebut dalam kehidupan nyata.
Pendidikan Pancasila harus “membumi” dan relevan dengan tantangan zaman. Pembelajaran menghubungkan nilai-nilai Pancasila dengan isu-isu global seperti demokrasi digital, keberlanjutan lingkungan, hak asasi manusia universal, dan perang melawan hoax. Misalnya, sila Kemanusiaan dihubungkan dengan isu HAM, atau sila Ketuhanan dengan isu toleransi beragama di media sosial. Pendidikan ini menekankan bagaimana nilai-nilai gotong royong dan keadilan harus diaplikasikan dalam lingkungan baru, misalnya etika digital dan tanggung jawab warga negara dalam menyikapi penyebaran informasi.
Tujuan utama pendidikan transformatif adalah mendorong pengamalan nilai-nilai (living values) melalui aksi nyata, bukan sekadar nilai ujian. Pendidikan diarahkan untuk menumbuhkan etos profesionalisme, integritas, dan anti-korupsi (sejalan dengan Sila Kelima). Peserta didik didorong untuk terlibat dalam proyek yang mencerminkan nilai-nilai Pancasila, seperti kegiatan gotong royong, kampanye anti-diskriminasi, atau program advokasi untuk kelompok rentan. Hal ini menjadikan Pancasila sebagai pedoman praksis dan bukan sekadar teori.
Pendidikan harus merayakan dan memperkuat Bhinneka Tunggal Ika. Kurikulum harus secara aktif membahas dan mempraktikkan toleransi, keragaman, dan penghormatan terhadap perbedaan suku, agama, dan pandangan politik (Sila Pertama dan Ketiga). Pancasila diajarkan sebagai dasar untuk menolak segala bentuk diskriminasi dan radikalisme, memosisikan keragaman sebagai kekuatan esensial bangsa.
Pemerintah melalui lembaga seperti Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) memang telah berupaya merumuskan kembali panduan, namun implementasinya haruslah bersifat merangkul, bukan memaksakan. Pembinaan ideologi harus fokus pada karakter kebangsaan yang berpikir kritis dan berakhlak mulia, bukan pada kesetiaan buta terhadap simbol.
P4 memang telah tiada, namun kebutuhan akan pedoman penghayatan dan pengamalan Pancasila harus tetap ada. Riwayat P4 adalah pelajaran berharga, yaitu bahwa ideologi tidak boleh dipaksakan, melainkan harus dihidupkan melalui teladan, dialog, dan pendidikan yang membebaskan.
Kini, nasib Pancasila sebagai panduan moral ada di tangan setiap warga negara. Kita tidak hanya menunggu kurikulum baru, tetapi harus berani menuntut dan mempraktikkan Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila versi diri sendiri seperti menolak korupsi, merawat toleransi, dan mengedepankan musyawarah mufakat di tengah kebisingan digital. Tanpa komitmen pribadi ini, Pancasila hanya akan menjadi monumen ideologis yang bisu, tak mampu menuntun bangsa menuju cita-cita Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia.












