Oleh: Mahrita, S.Pd
Praktisi Pendidikan dan Aktivis Dakwah Muslimah Muda
Pada Juli lalu, Kementerian Agama meluncurkan Kurikulum Berbasis Cinta (KBC) sebagai bagian dari upaya menyusun ulang orientasi pendidikan keagamaan di Indonesia. Diluncurkannya Kurikulum Cinta sebagai inisiatif baru dalam pendidikan agama dan keagamaan yang bertujuan menanamkan nilai cinta kepada Tuhan, sesama manusia, lingkungan, dan bangsa sejak usia dini.
Sejalan dengan hal diatas, maka Kepala Kantor Wilayah Kementerian Agama (Kemenag) Provinsi Kalimantan Selatan Dr H Muhammad Tambrin secara resmi membuka Kegiatan Sosialisasi Kurikulum Berbasis Cinta dan Kebijakan Tes Kemampuan Akademik, Kamis (14/08/2025) di Hotel NASA Banjarmasin.
Dalam arahannya Tambrin mengatakan kegiatan Sosialisasi Kurikulum Berbasis Cinta dan Kebijakan Tes Kemampuan Akademik tersebut bukan sekadar forum penyampaian informasi, tetapi juga menjadi momentum penting untuk memperkuat pemahaman, menyamakan persepsi, dan memantapkan langkah dalam membangun madrasah yang unggul, adaptif, serta berdaya saing di era transformasi pendidikan. (kalsel.kemenag.go.id)
Peran guru sangat penting dalam kehidupan. Ia merupakan ujung tombak pembentukan sumber daya manusia yang berkualitas. Ia menentukan nasib generasi penerus negeri untuk menjadi pemenang atau pecundang. Profil Indonesia pada masa depan tergambar pada kualitas para guru saat ini. Guru yang berkualitas akan mencetak generasi emas. Sayang, fakta guru di Indonesia justru menunjukkan hal sebaliknya.
Dalam sistem sekuler, guru diposisikan bukan sebagai pendidik ruhani dan pembentuk peradaban, melainkan sebagai aparatur teknis yang menjalankan instruksi kurikulum negara. Karena di dalam sistem kapitalisme saat ini, guru tidak dipandang sebagai pendidik generasi penerus, tetapi hanya sebagai faktor produksi yang melakukan tindakan teknis demi memenuhi target produksi. Dunia pendidikan minim nilai ruhiah dan justru didominasi nilai materi. Akibatnya, penghormatan murid terhadap guru juga makin terkikis.
Pun saat pelatihan guru itu, dalam hal ini cinta yang dimaksud bisa tereduksi menjadi sekadar pendekatan emosional tanpa arah ideologis. Akhirnya, pelatihan guru hanya menghasilkan pendidik yang “ramah” tetapi tetap terbelenggu kurikulum sekuler yang materialistis.
Selain itu, Sistem pendidikan hari ini mengadopsi asas sekularisme dan nilai-nilai liberalisme yang melahirkan kurikulum yang tidak sesuai dengan jati diri siswa sebagai muslim. Akibatnya, lahirlah generasi berkepribadian pecah (split personality). Mereka muslim, tetapi sekuler dan liberal. Perilakunya jauh dari akhlak mulia. Pergaulannya bebas hingga berujung zina dan aborsi. Mereka juga terlibat kekerasan dan kriminalitas. Kurikulum yang ada juga gagal mencerdaskan murid sehingga kualitas akademiknya terkategori rendah. Bobroknya generasi pada aspek akademik maupun perilaku ini menjadi beban berat bagi para guru.
Tata kehidupan sekuler memengaruhi jati diri guru sehingga kehilangan profil diri pendidik. Mereka bergaya hidup sekuler dan liberal. Bahkan ada guru yang tega melakukan tindakan buruk pada siswa berupa kekerasan fisik maupun seksual hingga memakan korban jiwa.
Tampak bahwa karut-marut persoalan seputar pendidikan dan guru tersebut bersifat sistemis, bukan hanya kasus personal individual. Oleh karenanya, kita butuh solusi sistemis untuk menyelesaikan persoalan yang guru hadapi secara tuntas hingga terwujud guru yang berkualitas dan selanjutnya menghasilkan generasi cerdas bertakwa.
Sistem pendidikan Islam mampu menghasilkan guru yang berkualitas, berkepribadian Islam, memiliki kemampuan terbaik, dan mampu mendidik muridnya dengan baik. Berikut ini adalah mekanisme sistem Islam untuk mewujudkan hal tersebut.
Pertama, Islam sangat menghormati dan memuliakan guru. Dari sisi sikap, Islam memerintahkan murid untuk takzim kepada guru dengan menunjukkan akhlak mulia dan adab yang luhur. Tidak hanya murid, negara juga memuliakan guru dengan memosisikannya sebagai pendidik yang harus dimuliakan. Negara menghargai jasa para guru dalam mengajarkan ilmu pengetahuan kepada generasi penerus umat dengan memberikan gaji yang tinggi.
Dr. Rudhaifullah Yahya Az-Zahrani di dalam kitab An-Nafaqat wa Idaratuha fid Daulatil Abbasiyyah menyebutkan bahwa pada masa pemerintahan Khalifah Harun Al-Rasyid, gaji tahunan rata-rata untuk pendidik umum mencapai 2.000 dinar. Sedangkan gaji untuk periwayat hadis dan ahli fikih mencapai 4.000 dinar.
Dengan harga emas murni yang saat ini mencapai sekitar Rp1.500.000 per gram dan berat satu dinar sama dengan 4,25 gram emas, gaji guru saat itu mencapai Rp12,75 miliar per tahun. Sedangkan pengajar Al-Qur’an dan hadis mencapai Rp25,5 miliar per tahun.
Az-Zahrani juga menyebutkan bahwa makin tinggi tingkat keilmuan seorang ulama, gajinya makin besar. Imam Al-Waqidi, ulama ahli Al-Qur’an dan hadis paling populer pada masanya, mendapatkan gaji tahunan mencapai 40.000 dinar atau setara Rp255 miliar.
Kedua, Negara yang bersistemkan Islam akan menerapkan sistem ekonomi Islam untuk menjamin pemenuhan kebutuhan pokok rakyat, termasuk para guru. Sandang, pangan, dan papan tersedia dengan harga terjangkau. Pendidikan, kesehatan, dan keamanan tersedia gratis. Hal ini mengkondisikan guru bisa fokus dan optimal pada tugasnya mendidik murid.
Ketiga, sistem Islam memastikan kualitas guru dengan menetapkan kriteria yang tinggi. Sebab dalam Islam, guru bukan sekadar pengajar, tetapi juga pendidik generasi umat Islam. Corak peradaban Islam ditentukan oleh para guru. Oleh karenanya, para guru haruslah orang-orang yang bertakwa, berakhlak mulia, memiliki ilmu pengetahuan yang mumpuni, disiplin, profesional, dan memiliki kemampuan mendidik. Negara akan menguji para calon guru sebelum mereka dinyatakan layak mengajar.
Rasulullah SAW bersabda tentang profil guru, “Jadilah pendidik yang penyantun, ahli fikih, dan ulama. Disebut pendidik apabila seseorang mendidik manusia dengan memberikan ilmu sedikit-sedikit yang lama-lama menjadi banyak.” (HR Bukhari).
Keempat, Negara akan menerapkan kurikulum pendidikan berbasis akidah Islam yang bertujuan mencetak output orang-orang yang berkepribadian Islam, yakni orang-orang yang bertakwa, sekaligus memiliki kualitas keilmuan yang tinggi, baik dalam tsaqafah Islam maupun sains teknologi.
Kelima, Negara memfasilitasi para guru untuk meningkatkan kualitasnya dengan berbagai fasilitas pendidikan, pelatihan, diskusi ilmiah, penelitian, buku, dan sarana prasarana penunjang lainnya secara gratis sehingga kualitas guru bisa dipertanggungjawabkan.
Keenam, terdapat dukungan sistem. Dalam Negara yang menerapkan sistem dalam pemerintahannya, akan menggerakkan semua pihak yang terkait dengan pendidikan, yaitu sekolah, keluarga, dan negara untuk bekerja sama dengan baik. Ketiganya menjalankan peran masing-masing dengan optimal dan bersinergi mencetak output pendidikan sesuai harapan Islam. Negara mendukung peran guru bukan hanya pada aspek ekonomi, tetapi juga penerapan sistem pergaulan, informasi, media massa, dan lain-lain. Dengan demikian, tidak akan ada kasus orang tua yang lepas tangan terhadap pendidikan anak dan menyerahkan sepenuhnya kepada sekolah/guru, kemudian ketika ada masalah justru menyalahkan guru.
Semua mekanisme ini akan mewujudkan profil guru sebagai pendidik generasi umat Islam. Sebagai hasilnya, umat Islam akan menjadi pemimpin dalam ketinggian ilmu pengetahuan dan kemuliaan akhlak. Itulah sebabnya, ketika dahulu peradaban Islam tegak, banyak orang-orang asing bahkan dari kalangan bangsawan yang ikut bersekolah di Daulah Islam. Mereka ingin mencicipi pendidikan yang terbaik pada zamannya.