Kalimantan Post - Aspirasi Nusantara
Baca Koran
Space Iklan
Space Iklan
Iklan Utama
HEADLINE

Pengamat Sebut Temuan Belatung di Banjarbaru Lengkapi Cacat Sistemik Program MBG

×

Pengamat Sebut Temuan Belatung di Banjarbaru Lengkapi Cacat Sistemik Program MBG

Sebarkan artikel ini
IMG 20251030 WA0016
Ilustrasi siswa sedang menyantap makanan program MBG dari Pemerintah Pusat di Banjarmasin. (Kalimantanpost.com).

BANJARBARU, Kalimantanpost.com – Temuan belatung dalam makanan program Makan Bergizi Gratis (MBG) di Kota Banjarbaru menjadi potret paling telanjang dari kegagalan tata kelola kebijakan nasional.

Di balik niat mulia memberi makan anak sekolah, kini terungkap betapa program unggulan Presiden Prabowo Subianto itu menyimpan banyak cacat, dari persoalan higienitas, keterlambatan pembayaran, hingga dugaan praktik korupsi berjubah sosial yang melibatkan jaringan penyedia dan yayasan pelaksana.

Kalimantan Post

Insiden di SMP Negeri 10 Banjarbaru itu bermula ketika seorang siswa mendapati belatung di dalam burger yang dibagikan lewat program MBG. Pihak sekolah sontak menghentikan pembagian makanan dan melaporkan kejadian tersebut ke dapur penyedia, yakni Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG) Landasan Ulin Utara 1, yang kini ditutup sementara untuk evaluasi Dinas Kesehatan.

Pemerintah Kota Banjarbaru bersama Forkopimda segera memperketat pengawasan, namun peristiwa itu telah menimbulkan keresahan luas dan membuka kembali pertanyaan besar: sejauh mana program ini dijalankan secara bersih dan akuntabel?

Fakta di lapangan menunjukkan bahwa kasus Banjarbaru hanyalah puncak dari gunung es persoalan MBG di seluruh Indonesia. Di Jakarta Selatan, salah satu mitra dapur melaporkan belum dibayar hampir Rp1 miliar, bahkan justru ditagih oleh yayasan pelaksana sebesar Rp400 juta untuk biaya tak jelas yang disebut “bayar ompreng”.

Di Grobogan, Jawa Tengah, dapur MBG terpaksa berhenti beroperasi karena dana belum cair. Di Martapura, Kalimantan Selatan, kegiatan dapur juga sempat terhenti akibat keterlambatan pembayaran, sementara di Takalar, Sulawesi Selatan, para tenaga dapur menuntut gaji yang dipotong dan lembur yang tak pernah dibayar.

Ironisnya, Badan Gizi Nasional (BGN) selaku penanggung jawab program mengklaim seluruh kewajiban kepada yayasan mitra sudah disalurkan, dan menyebut persoalan di lapangan sebagai urusan internal antar-pihak pelaksana.

Baca Juga :  Dana Rp4,7 Triliun di Bank Kalsel, Prof. Uhaib Soroti Anomali Logika Pemerintah Daerah

Kenyataannya, di lapangan banyak dapur yang berhenti beroperasi, bahan makanan tidak higienis, dan tenaga kerja menjadi korban. Kondisi ini memperkuat dugaan bahwa program MBG telah menjelma menjadi lahan praktik korupsi baru yang tersusun rapi di bawah label kebijakan sosial.

Pengamat kebijakan publik dari Politeknik Indonesia Banjarmasin, Prof Dr Muhammad Uhaib As’ad menegaskan bahwa persoalan ini bukan sekadar teknis, tetapi sudah menyentuh ranah moralitas dan integritas penyelenggaraan negara.

“Saya sejak awal sudah memperingatkan, program seperti ini bisa menjadi ladang baru korupsi. Banyak petugas masak belum dibayar, bahan makanan dikelola tidak higienis, pengadaan tidak transparan, dan pengawasan lemah. Ini bukan kerja sosial, tapi proyek ekonomi politik yang rawan dikorupsi,” tegasnya.

Uhaib menilai bahwa MBG adalah bentuk kebijakan populis yang terlalu dipaksakan tanpa perhitungan rasional dalam konteks pembangunan sumber daya manusia.

Dengan anggaran hanya Rp10.000–Rp12.000 per anak, menurutnya tidak masuk akal bila program ini diklaim mampu meningkatkan kecerdasan generasi bangsa.

“Cerdas itu tidak lahir dari sepotong telur dan selembar tempe. Kalau hanya itu acuannya, program ini kehilangan landasan filosofisnya,” ujarnya.

Ia menambahkan, indikasi penyimpangan yang muncul dalam pelaksanaan MBG sangat nyata: penahanan dana, pemotongan harga per porsi, penunjukan mitra tanpa tender terbuka, hingga manipulasi laporan porsi yang lebih besar dari realisasi.

“Skema seperti ini klasik: uang publik digelontorkan besar-besaran, tapi di lapangan yang bekerja malah belum dibayar. Itu bentuk korupsi struktural, bukan kesalahan teknis,” lanjutnya.

Ia juga menyoroti lemahnya pengawasan aparat terhadap rantai distribusi dan pengadaan makanan yang tidak layak konsumsi.

“Kalau aparat bisa menangkap teroris, kenapa tidak bisa mengungkap siapa di balik distribusi makanan yang membahayakan anak-anak sekolah?” sindirnya.

Baca Juga :  Gubernur Muhidin Bantah Pernyataan Menkeu Purbaya

Bagi Uhaib, kasus Banjarbaru bukan sekadar insiden belatung di burger, melainkan simbol kegagalan tata kelola kebijakan publik yang dijalankan secara terburu-buru tanpa kesiapan sistem pengawasan dan akuntabilitas anggaran.

Ia menilai setiap pergantian pemerintahan dan menteri selalu membawa arah kebijakan pendidikan yang berubah-ubah, tanpa kesinambungan yang kokoh.

“Selama arah kebijakan pendidikan di Indonesia tidak punya kesinambungan, maka program apapun akan gagal. MBG ini hanya tambalan populis, bukan solusi struktural,” tegasnya lagi.

Uhaib mendesak agar pemerintah pusat melakukan audit menyeluruh terhadap seluruh dapur penyedia MBG di Indonesia, terutama di Kalsel, guna menelusuri aliran dana, higienitas bahan, serta kelayakan pengadaan.

Ia juga menegaskan pentingnya membuka data publik terkait kontrak, mitra, dan pembayaran, agar masyarakat dapat ikut mengawasi jalannya program.

“Kebijakan yang gagal bukan hanya merusak kepercayaan masyarakat, tapi juga mencederai moralitas negara. Kalau dibiarkan, MBG bisa menjadi simbol baru korupsi berjubah sosial,” tutupnya. (sfr/KPO-4)

Ilustrasi siswa sedang menyantap makanan program MBG dari Pemerintah Pusat di Banjarmasin. (Kalimantanpost.com).

Iklan
Iklan