Kalimantan Post - Aspirasi Nusantara
Baca Koran
Space Iklan
Space Iklan
Iklan Utama
Opini

Selintas, Sejarah Sekolah dan Pendidikan di Kalsel

×

Selintas, Sejarah Sekolah dan Pendidikan di Kalsel

Sebarkan artikel ini
IMG 20250111 WA0003
Noorhalis Majid


oleh: Noorhalis Majid

SEJAK kapan sekolah umum ada di Kalsel? Dengan cara dan bagaimana pendidikan diberikan oleh orang tua kepada anak-anaknya, sebelum sekolah umum itu ada? Daerah mana saja yang memberi pengaruh perkembangan pendidikan di Kalsel?

Kalimantan Post

Menurut buku Sejarah Daerah Kalimantan Selatan, terbitan Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan (1977/1978), dituliskan bahwa sekolah umum sudah ada antara tahun 1900 sampai dengan 1942, tentu saja diselenggarakan pemerintah kolonial Belanda, dengan cara dan metode pendidikan Barat.

Pada saat pendidikan umum atau boleh kita katakan pendidikan sekuler mulai ramai diselenggarakan, pendidikan tradisional juga tetap berjalan, utamanya pendidikan agama yang dijalankan para ulama dan guru-guru mengaji, melalui sistem langgar atau di rumah para tuan guru. Guru dimaksud pada umum adalah guru mengaji Qur’an, untuk ditempa menjadi ulama ahli Qur’an, hadist dan sebagainya.

Dalam pendidikan tradisonal ini, diperlukan beberapa guru yang mengajar secara khusus, dan prosesnya memakan waktu puluhan tahun, bahkan. kadang-kadang kalau sang murid memiliki minat dan bakat, pendidikan dapat dilanjutkan di Mekkah, guna memperdalam ilmu-ilmu agama tertentu untuk menjadi ulama.

Pendidikan pengetahuan agama yang diajarkan secara tradisional ini, mesti didukung oleh pengetahuan bahasa Arab, menulis huruf Arab, kemudian pula untuk yang awam bahasa Arab dengan sarana buku cetak atau tulis tangan istilahnya mandabit dalam bahasa Malayu dengan huruf Arab telanjang atau arab gundul. Orang-orang kampung menyebut sekolah klasikal, kemudian diterapkan pada sekolah-sekolah agama yang didirikan oleh golongan swasta, dengan sebutan sekolah Arab.

Sebenarnya, pendidikan sekuler yang bertujuan mencetak tenaga pendidik atau guru dan pamong sebagai pegawai pemerintahan, telah lama didirikan di Banjarmasin, yaitu antara 1875-1889, yang disebut dengan sekolah Raja atau Kweekschool voor Inlandsche Onderwijzers, yang bertempat di Banjarmasin. Setelah sekolah tersebut ditutup, putra-putra Kalimantan Selatan baru bisa belajar di sekolah guru lagi pada tahun 1910, itu pun harus ke Makassar.

Yang diterima di Makasar adalah lulusan Sekolah Kelas II, yang dikenal dengan sebutan Sekolah Melayu. Sekolah Melayu ini ada dua jenis, yang pertama adalah Sekolah Kelas I yang menjadi Hollandsch Inlandsche School 1 pada tahun 1913. Ini merupakan sekolah bumiputra yang menggunakan bahasa pengantar bahasa Belanda disamping Europese Lagere School untuk anak-anak orang Eropa dan Hollandsch Chinese School untuk orang Cina.

Sampai tahun 1942, di Kalsel terdapat dua buah Hollandsch Inlandsche School, satu Neutrale Hollandsch Inlandsche School, dua Hollandsch Chinese School, satu Europesche Lagere School di Banjarmasin, satunya lagi Hollandsch Inlandsche School yang berada di Kandangan, juga. Ada satu Hollandsch lnlandsche School di Amuntai.

Baca Juga :  Roda Banua: Transportasi Publik sebagai Kunci Pemerataan Ekonomi

Yang paling dulu didirikan adalah Sekolah Melayu atau Sekolah Kelas II, didirikan di Banjarmasin pada tahun 1906. Pada tahun 1934 sekolah ini dipecah menjadi Volks School dan Vervolg School yang lamanya tiga tahun dan dua tahun. Sekolah Kelas II lamanya lima tahun, sedangkan Hollandsch Inlandsche School tujuh tahun.

Murid-murid lulusan Sekolah Kelas II ini meneruskan pelajarannya sejak 1910 ke Makassar memasuki Kweekschool untuk jadi guru, dan sesudah 1919 untuk Normaal School Makassar karena Kweekschoolnya ditutup.

Untuk jadi guru bantu, tamatan Sekolah Kelas II bisa memasuki Normaal Cursus guru bantu di Banjarmasin dan Kandangan yang dibuka antara 1911-1914, selama dua tahun pengajaran.

Untuk guru-guru wanita pada Meisjes School (Sekolah putri), dibuka kesempatan pada Normaal School Blitar tahun 1930 bagi putri-putri Banjar. Tamatan Holandsch Inlandsche School melanjutkan pendidikannya ke Mulo yang dibuka tahun 1927. Sebelumnya (1922) mereka ke Makassar untuk memasuki Kweekschool atau Osvia (Opleiding School voor Inlandsche Ambtenaren) yang lamanya enam tahun.

Murid-murid Volgschool yang tak bisa ke Holandsch Inlandsche School, bisa mengecap pendidikan setingkat, dengan memasuki Schakel School yang pertama didirikan di
Barabai tahun 1933.

Belanda mendirikan bukan hanya Vervolgschool (dua tahun) dengan murid campuran, tapi ada pula yang hanya untuk putri, disebut Meisjes Vervolg School, didirikan tahun 1935 di Banjarmasin dan Barabai. Untuk guru-guru desa dibuka Leergang voor Volks Onderwijzers (dua tahun) dan kursus untuk memajukan pertanian, Landhouw Cursus tahun 1937, serta Sekolah Dagang Rendah di Banjarmasin.

Untuk kelanjutan Vervolg School dibuka pula Mulo Bumi Putra. Lulusan Hollandsch lnlandsche School dan Mulo ini menjadi pejabat teras pamong dan pegawai segala macam perkantoran pemerintah sebelum Perang Dunia II, ditambah dari mereka yang lulusan Osvia Makassar, yang jadi pemegang jabatan pucuk pamong dari kiai kepala ke bawah.

Kegiatan-kegiatan pendidikan sekuler pihak pemerintah kolonial ini diikuti oleh perkembangan sekolah-sekolah swasta yang berasaskan kebangsaan atau tidak seperti Neutradle Hollandsch Inlandsche School (Banjarmasin). Huis houdschool (Banjarmasin). Particulier Hollandsch

Inlandschool (Banjarmasin, Marabahan) 1929-1930. Taman Siswa (Banjarmasin, Marabahan) 1930. Taman Rakyat (Banjarmasin) 1930. Perguruan Rakyat (Parindra) – 1937 Banjarmasin, Kandangan, Barabai. Kandangan Openbare Neutrale School 1938 Birayang.

Setelah Sarikat Islam hadir di Kalimantan Selatan, juga pihak Sarikat Islam mengembangkan kegiatan-kegiatan pendidikan klasikalnya seperti mendirikan Darussalam (Martapura) 1914. Normal Islam – Amuntai. Persatuan Perguruan Islam 1937 di Pantai Hambawang, Barabai, Birayang, Banjarmasin. Syafiyah School. Darul Aman. Diniah School. Wataniah Islam School.

Baca Juga :  ADDAS

Semua ini menunjukkan bahwa kebutuhan masyarakat akan pendidikan semakin meningkat dan pemahaman bahwa melalui pendidikan jaminan hidup bisa ditingkatkan sudah bertumbuh, di antaranya sebagai pegawai pemerintah.

Lantas bagaimana cerita pendidikan setelahnya, terutama pada era Jepang? Saat Jepang menduduki Banjarmasin, mereka menemukan sistem pendidikan kolonial Belanda yang mendidik rakyat sesuai dengan status sistem yang berlaku dan masyarakat kolonial serta disesuaikan bagi kebutuhan masyarakat jajahan.

Sistem pendidikan kolonial yang ada tidak menguntungkan Jepang bagi kepentingan perangnya, dan hasil pendidikan dari sistem yang ada tidak dapat diharapkan untuk dapat menunjang perang mereka, dan untuk membentuk lingkungan kemakmuran bersama Asia Timur Raya sesuai dengan cita-cita Hakko I Ciu. Setelah dalam waktu yang singkat Jepang berhasil mengkonsolidasi kekuatan, sistem pendidikan itu segera diubah dan disesuaikan dengan keperluan tersebut di atas.

Pada masa pendudukan Jepang ini, rakyat diberikan kesempatan untuk sekolah seluas-luasnya dan diskriminasi pendidikan yang sebelumnya dilakukan oleh pemerintah Hindia Belanda serta merta dihapuskan, dampaknya jumlah murid-murid sekolah bertambah dengan pesat, begitu juga dengan jumlah sekolah.

Penyelenggaraan sekolah ditangani langsung oleh Jepang, sedang kurikulumnya banyak berubah, dan lebih ditekankan pada hal-hal yang berhubungan dengan usaha Japanisasi generasi muda seperti disiplin militer, menghafal lagu-lagu Jepang, gerak badan agar selalu bugar, dan upacara bendera Hinomaru, terutama penghormatan pada Tenno Heika serta penggunaan bahasa Jepang.

Dalam bidang pendidikan ini pemerintah pendudukan Jepang berusaha menambah jumlah sekolah, walaupun dalam keadaan yang sederhana, baik gedung maupun peralatannya, bahkan karena sulitnya mendapatkan kapur tulis untuk perlengkapan mengajar, dipergunakan kapur tulis dari bahan tepung ubi kayu.

Ketika pendudukan Jepang ini, terjadi penambahan jumlah sekolah yang sangat drastis. Kalau pada tahun 1942 jumlah sekolah hanya 196 buah, pada tahun 1945 melonjak menjadi 525 buah. Pun dalam hal jumlah murid, tahun 1942 hanya 15.250 orang, pada tahun 1945 meningkat menjadi 53.471 orang. Jumlah guru juga begitu, semula hanya 502 orang, bertambah menjadi 2.214 orang. Angka-angka ini menggambarkan bahwa pendidikan dan semangat untuk sekolah meningkat dengan pesat.

Pada sekolah-sekolah Jepang tidak diberikan pelajaran agama, baik agama Islam, maupun agama Kristen. Namun kepada murid di sekolah diizinkan untuk mengikuti pelajaran agama yang diberikan di luar sekolah, seperti yang diberikan para tuan guru dengan sistem tradisional.

Demikian selintas sejarah sekolah dan pendidikan di Kalsel. Karena hanya selintas, tentu tidak memberikan gambaran secara utuh, namun terbaca bahwa sejak dahulu Kalsel memiliki perhatian cukup besar dalam soal sekolah dan pendidikan. (nm)

Iklan
Iklan