Oleh : Lia Sholehah
Aktivis Mahasiswi
Isu pernikahan dini masih menjadi pembahasan yang terus berlanjut. Ketua Tim Penggerak PKK Kabupaten Tapin, Provinsi Kalimantan Selatan, menyerukan kepada para pelajar untuk menghindari pergaulan bebas dan tidak tergesa-gesa menikah di usia muda, karena hal tersebut dapat membawa dampak negatif bagi masa depan mereka. Menurut Ketua TP PKK Tapin, Hj Faridah Yamani, pernikahan pada usia anak masih menjadi masalah serius yang memiliki konsekuensi jangka panjang, khususnya bagi anak perempuan yang berisiko mengalami putus sekolah, kehamilan di usia dini, serta kemiskinan. (Antara News)
Penyebab Perkawinan Anak
Deputi Pemenuhan Hak Anak Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA) menjelaskan bahwa terdapat berbagai faktor yang berperan dalam masih terjadinya perkawinan anak di Indonesia. Faktor-faktor tersebut meliputi kemiskinan, kondisi geografis, rendahnya tingkat pendidikan, serta ketimpangan gender. Selain itu, pengaruh sosial, budaya, dan agama, serta terbatasnya akses terhadap layanan dan informasi kesehatan reproduksi yang memadai, juga menjadi penyebab yang memperkuat terjadinya praktik perkawinan usia anak.
Prinsip pernikahan, menurut mereka, harus kembali kepada tujuan pernikahan, yaitu untuk membangun keluarga sakinah, mawadah, dan rahmah yang tidak mungkin bagi orang-orang yang masih usia anak bisa melakukannya (lihat QS An-Nisa (4): 6 dan QS Ar-Rum (30): 21).
Ada tanggung jawab besar bagi seseorang dalam berumah tangga. Bagi laki-laki, ia harus menjadi suami yang bertanggung jawab terhadap istrinya sekaligus menjadi ayah bagi anak-anaknya. Begitu pun perempuan, dengan menikah, ia harus menjadi istri yang bertanggung jawab dan memiliki potensi menjadi ibu bagi anak-anak yang akan ia lahirkan. Pernikahan Nabi saw. dengan Aisyah ra. mereka anggap sebagai pengecualian.
Akar Masalah
Pernikahan pada usia muda kerap menimbulkan berbagai persoalan dalam kehidupan rumah tangga, sehingga sulit mewujudkan keluarga yang sakinah, mawaddah, dan rahmah. Jika ditelusuri lebih dalam, kondisi ini umumnya dipengaruhi oleh tiga faktor utama.
Pertama, mereka memang belum siap berumah tangga. Kedua, media dan lingkungan menjadi pendorong nafsu seks anak menjadi tidak terkendali. Banyak anak terpapar media yang sering mempertontonkan pornografi-pornoaksi. Ketiga, negara pun belum mengeluarkan aturan pergaulan dan haramnya zina, maupun haramnya hal-hal yang mendekatinya.
Fakta menunjukkan bahwa meningkatnya penyebaran konten pornografi dan perilaku pornoaksi turut memicu rangsangan seksual pada kalangan remaja. Dampaknya, sebagian dari mereka terjerumus dalam pergaulan bebas hingga mengalami kehamilan di luar nikah (KtD). Situasi ini sering berujung pada dua kemungkinan: ada yang memilih menikah, namun ada pula yang melakukan aborsi. Tragisnya, tidak sedikit kasus aborsi berakhir dengan kematian sang ibu.
Walhasil, sebagian remaja menikah dini karena memang ingin menjaga agamanya dan sudah siap bertanggung tanggung jawab sebagai suami istri. Akan tetapi, sebagian remaja lainnya juga ada yang menikah dini karena sering terpapar pornografi-pornoaksi, padahal mereka belum siap secara mental untuk memikul tanggung jawab sebagai suami istri.
Solusi
Agar setiap keluarga, termasuk keluarga muda bisa mencapai keluarga sakinah, mawadah, dan rahmah, maka semestinya tidak perlu terus-menerus mempermasalahkan pernikahan dini dan membatasi usia nikah. Justru yang harus diperhatikan adalah akar masalahnya dan solusi yang harus dilakukan. Berikut beberapa langkah yang dapat ditempuh untuk mengatasi permasalahan ini:
Pertama, kurikulum pendidikan di sekolah maupun dalam lingkungan keluarga perlu dirancang agar mampu membentuk kesiapan anak yang telah balig untuk memikul tanggung jawab hukum (taklif) sesuai syariat. Mata pelajaran Pendidikan Agama Islam (PAI) sejak jenjang SD hingga SMA sebaiknya memuat pembahasan mengenai pernikahan dan etika pergaulan yang sesuai ajaran Islam. Oleh karena itu, negara wajib menyiapkan generasi muda agar matang secara moral dan spiritual dalam menghadapi kehidupan pernikahan, serta memberikan kemudahan bagi mereka yang siap menikah.
Terkait dengan tata pergaulan antara laki-laki dan perempuan, Islam menetapkan aturan yang jelas, seperti kewajiban menutup aurat, larangan berduaan tanpa mahram (khalwat), larangan berkomunikasi tanpa keperluan syar’i, serta anjuran menundukkan pandangan. Dengan kata lain, ajaran Islam menolak praktik pacaran dan pergaulan bebas (Taqiyuddin an-Nabhani, Nizham Ijtima’i fil Islam). Oleh sebab itu, materi kurikulum hendaknya mencakup pemahaman tentang konsep pernikahan dan nilai-nilai yang berkaitan dengannya. Dalam perspektif hukum Islam, pernikahan merupakan akad yang kokoh (mitsaqqan ghalizhan) sebagai bentuk ketaatan kepada Allah SWT, dan pelaksanaannya termasuk bagian dari ibadah.
Dalam Islam, tidak ada batasan umur pernikahan. Artinya, berapa pun usia calon suami istri, tidak menghalangi sahnya pernikahan, bahkan usia belum balig sekalipun. Di dalam ilmu fikih, balig—jika dikaitkan dengan ukuran usia—adalah berkisar 15 tahun (laki-laki) dan 9 tahun (perempuan). Tidak tercapainya keluarga sakinah, mawadah, dan rahmah bukan karena umur mereka yang masih dini, melainkan karena mereka tidak disiapkan secara matang untuk memasuki pernikahan.
Adapun yang berpendapat bahwa pernikahan Nabi SAW dengan Aisyah ra merupakan pengecualian dan khusus bagi Rasulullah dan tidak boleh dicontoh umatnya, ini adalah dalih yang tidak berdasar. Ini karena dalilnya umum, tidak ada satu dalil pun yang mengkhususkan. Bahkan, ulama bersepakat bahwa boleh untuk menikah dengan anak yang masih kecil. Dari keterangan Ibnu Hajar, “Gadis kecil dinikahkan oleh bapaknya dengan kesepakatan ulama. Tidak ada yang menyelisihi, kecuali pendapat yang asing.” (Fathul Bari, 9: 239). Terlebih lagi, pada masa Rasulullah SAW, para sahabat juga ada yang menikahi istrinya yang masih usia anak-anak, dan Rasulullah tidak melarangnya. Hal ini menunjukkan bahwa pernikahan dini boleh bagi Rasulullah, boleh pula bagi umatnya.
Kedua, peran media seharusnya difokuskan sebagai sarana edukatif bagi masyarakat. Media idealnya berfungsi untuk membangun kesadaran dan meningkatkan ketakwaan, bukan justru menampilkan konten yang bersifat pornografis atau pornoaksi yang dapat memicu dorongan seksual, terutama di kalangan remaja yang sedang berada dalam masa pubertas. Negara memiliki kewajiban untuk melarang segala bentuk penyebaran pornografi, pornoaksi, maupun hal-hal yang mendekati perzinaan, serta memberikan sanksi tegas bagi pihak yang melanggar.
Konten pornografi yang tersebar luas turut berkontribusi terhadap meningkatnya perilaku seks bebas dan liberalisasi seksual di masyarakat. Kondisi ini merupakan ancaman serius bagi masa depan generasi muda. Fenomena pergaulan bebas, praktik aborsi, dan penyebaran HIV/AIDS menjadi cerminan suram kehidupan remaja Indonesia saat ini.
Ketiga, pemerintah wajib mengeluarkan aturan pergaulan dan haramnya zina, larangan mendekatinya, serta memberikan sanksi sesuai Islam. Adapun sanksi yang harus dilakukan adalah sebagai berikut.
Pertama, bagi pezina yang belum menikah, wajib didera 100 kali cambuk dan boleh diasingkan selama setahun. Firman Allah SWT, “Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, maka deralah tiap-tiap seorang dari keduanya seratus kali dera, dan janganlah belas kasihan kepada keduanya mencegah kamu untuk (menjalankan) agama Allah, jika kamu beriman kepada Allah dan hari akhirat. Dan hendaklah (pelaksanaan) hukuman mereka disaksikan oleh sekumpulan orang-orang yang beriman.” (QS An-Nur [24]: 2)
Adapun dalil tentang diasingkan selama setahun adalah berdasarkan hadis Rasulullah SAW. Dari Abu Hurairah ra bahwa Rasulullah SAW menetapkan bagi orang yang berzina, tetapi belum menikah, diasingkan selama setahun dan dikenai had kepadanya. (Abdurrahman al-Maliki, Sistem Sanksi dalam Islam, Bogor, Pustaka Tariqul Izzah, 2002, hlm. 30—32).
Kedua, bagi pezina yang sudah menikah, maka harus dirajam hingga mati. Berdasarkan hadis Rasulullah SAW, bahwa ada seorang laki-laki berzina dengan perempuan. Nabi SAW memerintahkan menjilidnya. Kemudian ada kabar bahwa ia sudah menikah (muhshan), maka Nabi SAW pun memerintahkan untuk merajamnya.
Adapun sanksi orang yang termasuk memfasilitasi orang lain untuk berzina dengan sarana apa pun dan dengan cara apa pun, baik dengan dirinya sendiri maupun orang lain, juga akan dikenakan sanksi. Menurut Islam, sanksi bagi mereka adalah penjara lima tahun dan hukum cambuk. Jika orang tersebut suami atau mahramnya, sanksinya diperberat menjadi 10 tahun. (Abdurrahman al-Maliki, Sistem Sanksi dalam Islam, Bogor, Pustaka Tariqul Izzah, 2002, hlm. 238).
Demikian solusi yang harus kita lakukan. Tidak ada jalan lain menyelamatkan negeri ini, kecuali kembali merujuk pada penerapan syariat Islam kafah agar negeri ini berkah, masyarakat sejahtera, dan bahagia dunia akhirat.












