BANJARMASIN, Kalimantanpost.com – Perwakilan Ombudsman RI Provinsi Kalimantan Selatan melaksanakan pemantauan program Makan Bergizi Gratis (MBG) di Kabupaten Banjar, sekaligus merespon insiden keracunan yang terjadi di sejumlah sekolah di Kabupaten Banjar pada Kamis, 9 Oktober 2025.
MBG merupakan salah satu program strategis nasional, sehingga Ombudsman RI sebagai Lembaga Negara Pengawas Penyelenggaraan Pelayanan Publik perlu melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan program tersebut.
Kepala Perwakilan Ombudsman Kalsel, Hadi Rahman, mendatangi RSUD Ratu Zalecha Martapura, sekaligus bertemu langsung dengan Direktur RSUD Ratu Zalecha Arief Rachman dan Asisten Administrasi Umum Pemerintah Kabupaten Banjar Rakhmat Dhany.
“Kami ingin memastikan pelayanan yang diberikan RSUD Ratu Zalecha dalam menangani para korban terdampak keracunan dan mekanisme pembiayaan”, jelas Hadi Rahman.
“Untuk korban yang dirawat total ada 132 orang sudah diperbolehkan pulang semua, terakhir ada 1 orang yang baru diperbolehkan pulang karena menyelesaikan perawatan penyakit penyertanya.
Untuk pembiayaan, dipastikan tidak ada yang ditanggung oleh pasien atau korban. Kami juga berupaya maksimal dalam menangani korban keracunan selama di IGD, dengan mengerahkan seluruh dokter dan tenaga kesehatan RSUD agar dapat membantu dan bekerjasama meskipun keadaan saat itu penuh sesak. Keluhan yang banyak diterima mulai dari mual, muntah, pusing sampai demam”, urai Arief Rachman.
Asisten Administrasi Umum Pemerintah Kabupaten Banjar Rakhmat Dhany menambahkan bahwa Pemerintah Kabupaten Banjar berkomitmen untuk memberikan pelayanan sebaik-baiknya kepada masyarakat, khususnya korban keracunan MBG kemaren.
“Kami akan memperkuat peran Satgas MBG antara lain dengan pengawasan rutin ke SPPG, dan berupaya meningkatkan koordinasi dengan perwakilan BGN di daerah yang dirasa masih minim”, tegas Rakhmat Dhany.
Dalam kegiatan pemantauan, Ombudsman Kalsel bertemu pula dengan Dinas Kesehatan (Dinkes) Kabupaten Banjar.
Di Kabupaten Banjar total ada 16 dapur SPPG (Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi). Saat ini, Dinkes masih dalam proses penerbitan Sertifikat Laik Higiene Sanitasi (SLHS).
“Belum ada SPPG yang punya SLHS, masih proses. Ini penting agar Dinkes bisa kontrol berkala ke dapur SPPG. Persyaratannya antara lain pelaksanaan IKL (Inspeksi Kesehatan Lingkungan), sertifikasi penjamah makanan serta pemeriksaan sampel makanan dan air, kerja sama dengan Labkesda Kabupaten Banjar”, jelas Sekretaris Dinas Kesehatan Kabupaten Banjar, Gt. M. Kholdani.
Selanjutnya Ombudsman Kalsel menyambangi beberapa dapur SPPG di Kabupaten Banjar, termasuk SPPG di Tungkaran yang masih dihentikan operasionalnya.
Pemantauan Ombudsman Kalsel, seperti di Sungai Sipai dan Gambut, dalam rangka melihat langsung manajemen dan operasional SPPG agar bisa memberikan pelayanan yang berkualitas kepada penerima manfaat serta terhindar dari maladministrasi.
Atas kegiatan pemantauan yang dilakukan, Ombudsman Kalsel menyampaikan beberapa catatan penting berdasarkan temuan yang diperoleh untuk menjadi atensi dan ditindaklanjuti oleh seluruh pihak terkait (stakeholders). Pertama, proses penerbitan SLHS harus segera dilakukan dan menjadi prioritas.
Pengajuan oleh yayasan, mitra atau dapur SPPG. Penerbitan oleh Dinkes dan Pemerintah Daerah (Pemda) setempat, dengan standar pelayanan yang jelas, termasuk persyaratan, prosedur, waktu dan biaya.
“Selain SLHS untuk memastikan standar kesehatan, kebersihan dan sanitasi, dapur SPPG perlu memiliki sertifikasi keamanan pangan berupa HACCP (Hazard Analysis and Critical Control Points) dan sertifikasi halal”, saran Hadi Rahman.
Kedua, penyusunan pedoman penanganan insiden, khususnya di Rumah Sakit (RS) dan fasilitas kesehatan (faskes) lainnya. Ini penting agar setiap insiden atau kondisi kegawatdaruratan, termasuk keracunan MBG, dapat tertangani dengan baik dan benar.
Poinnya menyangkut berbagai sumber daya yang dikerahkan, seperti Sumber Daya Manusia (SDM), anggaran, obat-obatan maupun sarana prasarana yang digunakan, dengan didukung mekanisme transparansi dan akuntabilitas yang jelas.
“Pedoman penanganan insiden antara lain bicara mengenai siapa melakukan apa, terhadap siapa, dimana dan dengan cara yang bagaimana, pada saat kondisi krisis yang membutukan tindakan medis segera, tanpa diskriminasi.
Juga simulasi secara berkala terhadap penerapan pedoman tersebut, melibatkan RS, puskesmas dan sekolah”, tegas Hadi Rahman.
Ketiga, penguatan koordinasi dan kerjasama antara perwakilan BGN (Badan Gizi Nasional) di daerah dan SPPG dengan Pemda serta pihak terkait lainnya. Misalnya, di Pemda dengan Dinas Pendidikan (Disdik) terkait pendataan penerima manfaat dan edukasi program MBG ke sekolah.
Kemudian Dinkes untuk edukasi makanan sehat serta kerjasama dengan faskes untuk penanganan insiden keracunan, serta Dinas Pangan untuk penyediaan bahan pangan lokal.
Juga BKKBN (Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional) untuk pendataan dan penyaluran MBG ke golongan Ibu Hamil, Ibu Menyusui dan Balita. Selain itu, dengan Kementerian Agama untuk pendataan penerima manfaat bagi peserta didik di madrasah.
“Ini hal penting, MBG tidak bisa dikerjakan sendiri, melibatkan banyak pihak, sehingga wajib menjalin koordinasi dan kerjasama yang baik”, tekan Hadi Rahman.
Terakhir, Ombudsman Kalsel meminta agar proses penyelidikan peristiwa keracunan MBG di Kabupaten Banjar kemaren dapat segera dituntaskan oleh pihak kepolisian.
“Kami berharap agar hasil penyelidikan disampaikan kepada publik secara transparan, sehingga ada upaya perbaikan serta menjadi pembelajaran supaya tidak terulang di kemudian hari”, pungkas Hadi Rahman.(nau/KPO-1)