Kalimantan Post - Aspirasi Nusantara
Baca Koran
Space Iklan
Space Iklan
Iklan Utama
Opini

Tragedi Mojokerto dan Normalisasi Kohabitasi: Saatnya Kembali pada Islam

×

Tragedi Mojokerto dan Normalisasi Kohabitasi: Saatnya Kembali pada Islam

Sebarkan artikel ini

Oleh : Sala Nawari
Pemerhati Pendidikan

Kasus mutilasi seorang wanita muda di Mojokerto baru-baru ini mengguncang hati masyarakat. Polisi menemukan potongan tubuh korban berserakan di berbagai lokasi, sementara ratusan potongan lain disimpan di kamar kos pelaku di Surabaya. Dari hasil penyelidikan, pelaku yang merupakan pacar korban tega menghabisi nyawa kekasihnya hanya karena kesal tidak dibukakan pintu dan merasa terbebani oleh tuntutan ekonomi.

Kalimantan Post

Tragedi ini memang kejam. Namun, jika dicermati lebih dalam, ia bukan sekadar kasus kriminal individual. Ia mencerminkan problem gaya hidup yang kian dinormalisasi: kohabitasi (living together atau kumpul kebo).

Fenomena Kohabitasi

Kohabitasi kini dipandang lumrah oleh sebagian generasi muda. Alasannya beragam, ingin saling mengenal lebih jauh sebelum menikah, mencari kenyamanan emosional, hingga alasan praktis seperti efisiensi biaya hidup. Media, budaya populer, hingga ruang digital ikut mendorong normalisasi gaya hidup ini.

Namun, kohabitasi bukan tanpa risiko. Ia membuka pintu pada ketidakjelasan komitmen, eksploitasi emosional maupun ekonomi, kekerasan dalam hubungan, hingga tragedi sebagaimana kasus Mojokerto. Lebih dari itu, kohabitasi merupakan wujud dari pergaulan bebas yang jelas dilarang dalam Islam.

Akar Masalah: Sekularisme

Normalisasi kohabitasi tidak bisa dilepaskan dari paham sekularisme, yakni ide yang memisahkan agama dari kehidupan. Agama dianggap cukup mengatur urusan ritual, sementara hubungan sosial, ekonomi, hukum, dan budaya ditentukan oleh akal manusia.

Dalam kerangka sekularisme, hubungan laki-laki dan perempuan adalah ranah pribadi. Pacaran, zina, dan kohabitasi dianggap sah selama dilakukan suka sama suka. Hukum sekuler pun tidak mengategorikan hal itu sebagai tindak pidana, kecuali jika menimbulkan korban fisik atau materi. Negara bersikap netral terhadap pergaulan bebas.

Padahal, netralitas ini sesungguhnya mendukung suburnya perzinaan. Masyarakat dibiarkan permisif, bahkan sebagian menganggap pergaulan bebas sebagai bagian dari modernitas. Inilah wajah nyata masyarakat sekuler-liberal, yang meminggirkan nilai halal-haram dan menyerahkan segalanya pada kebebasan individu.

Baca Juga :  HUKUMAN BAGI PELANGGAR HUKUM

Islam Mengatur Pergaulan

Berbeda dengan sekularisme, Islam mengatur relasi laki-laki dan perempuan dengan jelas dan penuh hikmah. Tujuan hidup dalam Islam adalah beribadah kepada Allah (QS. Adz-Dzariyat [51]: 56). Karena itu, hubungan antarindividu diarahkan agar sesuai tujuan penciptaan.

Allah SWTy menegaskan, “Dan janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji dan suatu jalan yang buruk.” (QS. Al-Isra’ [17]: 32)

Ayat ini melarang bukan hanya zina, tetapi juga segala jalan yang mengarah ke sana, termasuk pacaran, khalwat, dan kohabitasi.

Islam membolehkan interaksi laki-laki dan perempuan sebatas kebutuhan syar’i, seperti pendidikan, perdagangan, atau pelayanan publik, tetapi tetap dalam batas aturan. Adapun hubungan intim hanya sah melalui akad nikah, yang menjadi sumber keberkahan, ketenangan, dan tanggung jawab bersama.

Sistem Sosial Islam

Islam membangun sistem sosial yang kokoh melalui tiga lapisan:

  1. Individu bertakwa. Ketakwaan adalah benteng pertama. Dengan akidah yang kokoh, seseorang sadar setiap tindakannya akan dimintai pertanggungjawaban di hadapan Allah. Ia tidak mudah terjerumus ke dalam pacaran, zina, atau kekerasan.
  2. Masyarakat yang peduli. Islam mewajibkan amar makruf nahi mungkar. Masyarakat berperan aktif mencegah pergaulan bebas, bukan menormalisasi. Rasulullah SAW bersabda, “Barang siapa di antara kalian melihat kemungkaran, hendaklah ia mengubahnya dengan tangannya. Jika tidak mampu, maka dengan lisannya. Jika tidak mampu, maka dengan hatinya, dan itu selemah-lemah iman.” (HR. Muslim).
  3. Negara penegak syariat. Negara berperan vital membentuk rakyat berkepribadian Islam melalui: a. Sistem pendidikan berbasis akidah Islam, yang menanamkan visi hidup sebagai ibadah; b. Aturan pergaulan Islam, yang menjaga interaksi tetap dalam batas syar’I; c. Sistem sanksi Islam, yang menindak pelaku jarimah (pelanggaran syariat) seperti zina, khalwat, dan pembunuhan.
Baca Juga :  Panci sebagai Bahasa Perlawanan

Dengan tiga lapisan ini, sistem Islam mampu menjaga masyarakat dari kerusakan moral dan tragedi kriminal.

Bukti Keberhasilan Islam

Sejarah mencatat bahwa di masa peradaban Islam, fenomena kohabitasi dan pergaulan bebas tidak dinormalisasi. Negara menegakkan hukum tegas, masyarakat menjalankan amar makruf nahi mungkar, dan generasi dibina melalui pendidikan Islam.

Kasus kriminal yang lahir dari hubungan gelap sangat jarang terjadi. Sanksi hudud terhadap zina berfungsi sebagai pencegah (jawazir) sekaligus penebus dosa (jawabir). Hukum ditegakkan bukan untuk menakut-nakuti, tetapi untuk menjaga kesucian masyarakat dan melindungi generasi.

Sekularisme telah gagal menjaga generasi. Hanya Islam yang mampu memberi perlindungan hakiki. Dengan sistem sosial Islam, individu terbentuk bertakwa, masyarakat aktif mencegah kemungkaran, dan negara menegakkan hukum Allah secara tegas.

Karena itu, sudah saatnya kita kembali kepada Islam secara kaffah. Hanya dengan penerapan syariat Allah dalam seluruh aspek kehidupan, generasi muda akan terlindungi, masyarakat terjaga, dan tragedi serupa tidak lagi berulang.

Iklan
Iklan