Oleh : Ade Hermawan
Dosen FISIP Uniska MAB
Dalam pengertian ideal, politisi adalah negarawan yang berintegritas dan mendedikasikan dirinya untuk melayani kepentingan publik di atas kepentingan pribadi, kelompok, atau partai. Politisi ideal mengabdi pada kemakmuran dan kesejahteraan masyarakat, membuat keputusan yang berorientasi pada masa depan jangka panjang (visioner), dan menjunjung tinggi etika dan moralitas dalam pelaksanaan tugas. Keberadaan politisi ideal bukan hanya pencari kekuasaan, melainkan pemimpin yang mampu menginspirasi dan mengarahkan masyarakat menuju cita-cita bersama.
Politisi adalah seseorang yang terlibat dalam politik. Dari sudut pandang fungsional, politisi adalah individu yang aktif berpartisipasi dalam pembentukan, implementasi, dan pengelolaan kebijakan publik atau pemerintahan. Politisi adalah anggota yang terpilih atau ditunjuk secara resmi untuk menduduki jabatan publik di dalam sistem politik suatu negara seperti anggota parlemen (DPR, DPD, DPRD), Presiden, Wakil Presiden, Menteri, Gubernur, Bupati/Walikota, hingga pejabat partai politik tingkat atas. Kebanyakan politisi profesional adalah anggota atau diusung oleh partai politik. Partai politik berfungsi sebagai wadah untuk merekrut, melatih, dan memajukan karier politik seseorang.
Politisi adalah Seseorang yang tujuan utamanya adalah merebut dan mempertahankan kekuasaan. Fokus utama mereka bergeser dari merumuskan kebijakan publik yang transformatif menjadi memenangkan kontestasi berikutnya. Kebijakan atau narasi sering kali dikemas secara dangkal dan emosional untuk memancing suara, bukan berdasarkan analisis mendalam dan keberlanjutan. Rekrutmen politik sering kali mengutamakan kedekatan kekerabatan atau kekuatan finansial, mempersempit peluang bagi figur-figur berintegritas tanpa modal politik besar.
Sedangkan Negarawan adalah Seseorang yang fokus utamanya adalah generasi berikutnya (bagaimana cara mewariskan bangsa yang lebih baik). Harapan akan munculnya negarawan sejati, pemimpin yang berintegritas, visioner, dan sepenuhnya mengabdi pada kepentingan rakyat amatlah tinggi. Namun, perjalanan waktu memperlihatkan pergeseran fokus. Banyak politisi saat ini lebih menyerupai manajer elektoral ketimbang ideolog pembangunan.
Potret politisi kita menunjukkan bahwa yang fasih berbicara tentang aspirasi rakyat di mimbar, namun ketika berada di ruang fraksi dan komisi, keputusan yang diambil tidak jarang mencerminkan kepentingan partai atau pemodal di belakangnya. Politisi yang berani vokal dan kritis sering terisolasi, sementara yang pandai membangun lobi dan kompromi cenderung lebih mulus kariernya. Kekuasaan legislasi pun berpotensi tereduksi menjadi bargaining chip politik untuk tawar-menawar jabatan atau proyek.
Wakil Rakyat Bukan Petugas Partai
Politisi berdiri sebagai jembatan antara pemerintah dan rakyat. Mereka adalah suara rakyat di ruang kekuasaan. Sumpah jabatan mereka adalah kepada Negara dan Konstitusi, bukan kepada partai politik.
Dalam sistem demokrasi, politisi yang menduduki jabatan legislatif (seperti anggota DPR, DPRD) atau eksekutif (seperti presiden, kepala daerah) memiliki dua peran identitas yang sering kali tarik-menarik dan bertentangan, yaitu sebagai wakil rakyat dan sebagai petugas partai.
Secara ideal dan konstitusional, peran utama mereka adalah sebagai wakil rakyat (representatif), namun, realitas politik di Indonesia sering kali menempatkan mereka dalam peran yang lebih dominan sebagai petugas partai (mandatari).
Sebagai wakil rakyat, tugas utama seorang politisi adalah merepresentasikan dan memperjuangkan kepentingan, aspirasi, dan kebutuhan konstituen (masyarakat di daerah pemilihannya) dan rakyat secara keseluruhan. Wakil rakyat mengutamakan kesejahteraan, keadilan, dan kemajuan seluruh masyarakat, bahkan jika itu bertentangan dengan kepentingan sempit partainya. Bertanggung jawab langsung kepada masyarakat yang memilihnya. Keputusan dan tindakan mereka harus transparan dan dapat dipertanggungjawabkan kepada publik. Mampu mengambil keputusan berdasarkan hati nurani, data, dan analisis terhadap masalah publik, bukan sekadar mengikuti instruksi buta dari pimpinan partai. Membuat undang-undang, menyusun anggaran, dan mengawasi jalannya pemerintahan dengan tujuan untuk kebaikan bersama.
Istilah “petugas partai” merujuk pada politisi yang memosisikan diri sebagai pelaksana kebijakan dan keputusan yang telah digariskan oleh elit atau pimpinan internal partai politik yang menaunginya. Prioritas utamanya adalah menjaga citra, stabilitas, dan agenda kekuasaan partainya, seringkali dengan mengorbankan kepentingan rakyat atau daerah pemilihannya. Ketika ada kebijakan penting (misalnya voting di parlemen), mereka diwajibkan untuk memilih sesuai arahan partai, bahkan jika hati nurani atau kepentingan konstituennya menuntut sebaliknya.
Adanya mekanisme recall (penarikan kembali) anggota parlemen oleh partai membuat politisi lebih takut kehilangan jabatan karena melanggar perintah partai, daripada kehilangan dukungan rakyat karena tidak mewakili aspirasi mereka. Politik menjadi arena transaksional internal partai, di mana keputusan diambil oleh segelintir elit partai, dan wakil rakyat hanya menjadi alat untuk melegitimasi keputusan tersebut. Politisi bertindak sebagai robot politik yang menjalankan skrip yang ditulis oleh pimpinan partai. Ini mencederai prinsip demokrasi representatif karena kedaulatan rakyat digantikan oleh kedaulatan partai.
Memang tidak dapat dimungkiri bahwa partai politik adalah kendaraan utama dalam demokrasi modern, dan peran politisi sebagai anggota partai adalah sah. Partai berfungsi untuk mengorganisasi ideologi dan memobilisasi dukungan. Namun, konflik muncul ketika peran petugas partai menenggelamkan peran wakil rakyat. Ketika loyalitas kepada pimpinan partai melebihi loyalitas kepada konstitusi dan rakyat, maka terjadi degradasi fungsi parlemen.
Idealnya, Partai adalah alat yang mengantar politisi ke kursi kekuasaan. Rakyat adalah pemberi mandat tertinggi. Dan Setelah terpilih, politisi harus menggunakan platform dan struktur partai untuk memperjuangkan kepentingan rakyat, bukan hanya agenda partai.
Visi Versus Janji Populis
Ciri utama seorang negarawan adalah visi jangka panjang dan keberanian untuk membuat keputusan yang tidak populer hari ini demi kebaikan kolektif di masa depan. Negarawan sejati bersedia menanggung risiko elektoral. Namun, yang sering kita saksikan adalah politisi yang terjebak dalam siklus populisme. Mereka rela mengorbankan kebijakan yang fundamental (misalnya, reformasi birokrasi yang menyakitkan atau kebijakan fiskal yang ketat) demi janji-janji manis yang mudah dicerna publik, hanya untuk memastikan kursi mereka aman di periode berikutnya.
Integritas versus Politik Transaksional
Integritas adalah mata uang Negarawan. Ia berarti ketidakberpihakan, kejujuran, dan penolakan terhadap kepentingan pribadi dan kroni. Negarawan menggunakan kekuasaan sebagai amanah, bukan sebagai kendaraan untuk memperkaya diri atau kelompok. Sayangnya, potret politik kita sering dinodai oleh politik transaksional, di mana Kebijakan dibuat bukan berdasarkan kajian akademis dan kebutuhan rakyat, melainkan berdasarkan kompromi atau jatah antar-koalisi politik. Kasus korupsi yang tak berujung, penggunaan jabatan untuk melanggengkan dinasti politik, dan praktik kolusi menunjukkan bahwa banyak yang melihat kekuasaan sebagai proyek bisnis, bukan tanggung jawab moral. Kekuatan lobi dan uang seringkali lebih menentukan nasib sebuah undang-undang atau jabatan penting ketimbang kualitas dan kapasitas individunya.
Menuju Negarawan
Apakah kita harus pesimistis? Tentu tidak. Potret suram ini harus menjadi cambuk bagi semua pihak. Kita harus meyakini bahwa benih-benih negarawan itu ada, mungkin tersembunyi di balik keriuhan politik. Politisi harus memiliki Keberanian Moral. Keberanian untuk mengatakan tidak pada kepentingan boss atau donatur, dan ya pada kebenaran dan kepentingan rakyat, meskipun itu berarti mengakhiri karier politiknya.
Negarawan bukanlah gelar yang dianugerahkan oleh partai, melainkan gelar yang disematkan oleh sejarah. Jika politisi kita terus bersembunyi di balik janji-janji populis, takut mengambil keputusan sulit, dan mementingkan kekayaan pribadi, mereka akan selamanya hanya menjadi politisi, sosok yang lewat dan mudah dilupakan, dan bukan Negarawan, sosok yang abadi dalam ingatan bangsa.
Rakyat harus menjadi Pemilih yang Cerdas. Kita harus berhenti terbuai oleh pencitraan sesaat. Tuntutan kita bukan hanya tentang bantuan sosial, tetapi tentang keadilan sistemik, perbaikan institusi, dan visi pembangunan yang berkelanjutan. Kita harus memilih rekam jejak, bukan sekadar popularitas.












