Oleh : Yani Hidayah
Pemerhati Kebijakan Publik
Pada pekan awal Oktober 2025, Menteri keuangan Purbaya Yudhi Sadewa mengejutkan publik dengan mengungkapkan data terbaru dana simpanan Pemda di perbankan. Menurut Purbaya, per kuartal tiga tahun 2025, total dana Pemda yang mengendap di bank mencapai Rp234 triliun. Beliau menekankan bahwa realisasi Anggaran Belanja dan Pendapatan Daerah (APBD) hingga September 2025 masih sangat lambat, hanya mencapai Rp712,8 triliun atau setara 51,3% dari total pagu anggaran sebesar Rp1.389 triliun.
Angka ini memicu kecurigaan bahwa lambatnya penyerapan anggaran bukan semata karena ketidakmampuan, melainkan ada indikasi kesengajaan untuk menempatkan dana tersebut ke deposito. Kecurigaan ini mengemuka karena uang ini yang seharusnya berputar menggerakkan perekonomian daerah justru diam di bank demi mendapatkan bunga. Kecurigaan tersebut berkisar pada adanya potensi kickback atau imbalan pribadi Oleh karena itu, Menkeu Purbaya menegaskan terkait pengendapan dana Rp234 triliun tersebut akan dilakukan proses investigasi oleh BPK. Ini menjadi pertanyaan besar tentang prioritas dan akuntabilitas pengelolaan keuangan daerah.
Memang secara hukum di Indonesia, penempatan dana APBD dalam bentuk investasi jangka pendek seperti deposito sebenarnya diatur dan diperbolehkan. Ini tertuang dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah dan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. Tujuannya adalah untuk manajemen kas dan optimalisasi pendapatan daerah dari uang yang sementara belum digunakan, sepanjang tidak mengganggu likuiditas keuangan daerah, tugas daerah dan kualitas pelayanan publik. Pendapatan bunga atas deposito dianggarkan dalam kelompok Pendapatan Asli daerah pada Jenis Lain-lain Pendapatan Asli Daerah yang sah.
Bagi Pemda, pengendapan dana di perbankan memang menjadi pilihan untuk menambah pendapatan asli daerah selain sumber pendapatan lain seperti pajak dan retribusi. Hal ini seperti yang disampaikan oleh Gubernur Kalsel, menurutnya Total kas daerah Pemprov Kalsel yang tersimpan di Bank Kalsel adalah sekitar Rp4,7 triliun, yang sebagian besarnya yakni Rp3,9 triliun ditempatkan dalam bentuk deposito. Beliau menjelaskan bahwa “dana ini bukan diendapkan, melainkan dijadikan deposito untuk menambah kas daerah. Ini adalah strategi yang kami pilih karena memberikan keuntungan yang signifikan bagi daerah.”. Raup Rp21 miliar perbulan untuk kas daerah. Keputusan menempatkan dana dalam bentuk deposito dinilai Muhidin sebagai langkah cerdas dalam meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD) dari sektor non pajak.
Sumber masalah
Jika mencermati, perihal pengendapan dana di bank yang terus berulang, serta jika tidak ada riba (bunga) tentu tidak akan dilakukan ini menjadi bukti pengelolaan anggaran yang kacau. Politik anggaran yang kacau atau salah kaprah ini hanya sebagian kecil gambaran sistem ekonomi kapitalistik yang membuka peluang adanya model penyelewengan yang saat ini diributkan.
Sistem kapitalis telah menjadikan posisi penguasa dihadapan rakyat hanya sebatas regulator dan fasilitator. Penguasa hanya berorientasi pada mencari pendapatan yang sumbernya terbatas dan bagaimana menghabiskan anggaran diakhir tahun yang seringkali terkesan dipaksakan. Negara tidak mengurusi (riayah) kemaslahatan rakyat hingga tertunaikan secara tuntas. Hal ini mereduksi tanggung jawab penguasa untuk mengurus urusan rakyat.
Kita lihat dari sisi pendapatan, sistem kapitalisme dengan sistem ribawinya ini membuat pola berpikir untuk mencari sumber pendapatan menjadi sempit dan lemah. Sumber pendapatan utama negara hanya berputar di pajak, utang dan termasuk bunga ribawi. Negara seolah-olah “mati gaya” untuk memperoleh sumber dana demi membiayai pelayanan publik. Padahal berbagai kekayaan alam yang terbentang dari Sabang sampai Merauke telah Allah Ta’ala anugerahkan untuk dikelola dengan baik sehingga mewujudkan kemaslahatan rakyat.
Menurut Mahfud MD dalam dialog Interaktif Cawapres tanggal 6 Desember 2023 lalu, jika sumber daya alam dikelola dengan baik tanpa korupsi, orang Indonesia itu akan mendapatkan uang minimal Rp20 juta setiap bulan secara cuma-cuma. Namun sistem kapitalisme memandang bahwa pengelolaan sumber daya itu siapapun boleh memiliki termasuk korporasi atau individu ataupun swasta. Selama dia memiliki modal (uang), dia boleh untuk mengelola kepemilikan umum tadi, dan tentunya kalau itu menghasilkan dan menguntungkan maka hasil dan keuntungannya itu lari ke kantong-kantong individu atau swasta tadi.
Adapun dari sisi belanja, pola bahwa anggaran seringkali tidak sesuai kebutuhan rakyat menjadi perkara yang juga lumrah. Proyek-proyek kadang di genjot diakhir tahun yang secara kualitas jadi rendah karena dikejar oleh waktu harus selesai sebelum per 31 Desember. Atau jika diperkirakan tidak bisa selesai, akhirnya dijadikan sebagai dana yang disimpan menjadi SiLPA yang kemudian di masukkan digiro atau didepositokan.
Mengapa demikian? Dalam konteks anggaran, sistem kapitalisme membuat penguasa sudah merasa menjalankan tugasnya ketika mereka membuat rancangan program berikut anggarannya, kemudian merealisasikan program itu ke masyarakat hingga anggaran terserap habis. Ketika program terlaksana dan anggaran terserap 100%, seolah-olah pemerintah telah berhasil.
Penguasa tidak memastikan, mengawasi, dan mengevaluasi apakah programnya efektif menyelesaikan problem publik. Seringkali, program pemerintah tidak nyambung dengan masalah dan kebutuhan Masyarakat. Contoh nyata atas hal ini adalah program MBG untuk mengatasi stunting, sungguh jauh panggang dari api. Namun, program ini jalan terus meski mengalami “hujan” kritikan.
Inilah kapitalisme yang melegalkan perampokan kekayaan alam sebuah negara oleh para kapital sehingga rakyat hanya gigit jari melihat tambang mereka dikeruk, sedangkan layanan publik yang mereka rasakan begitu buruk. Ini diperparah oleh praktik korupsi yang berurat berakar dalam pemerintahan. Penerapan sistem demokrasi yang berbiaya tinggi membuat korupsi tumbuh subur sehingga menggerogoti keuangan negara. Alhasil, pengurusan kemaslahatan rakyat makin minimalis.
APBN Islam
Islam sebagai ideologi yang shahih tentu berbeda dengan sistem kapitalisme. Islam memposisikan penguasa negara sebagai raa’in (pengurus urusan rakyat). Ini sebagaimana sabda Rasulullah SAW, “Imam/khalifah itu laksana penggembala dan hanya ialah yang bertanggung jawab terhadap gembalaannya.” (HR Bukhari dan Muslim).
Berdasarkan predikat raa’in ini, penguasa (khalifah) memiliki tanggung jawab dunia akhirat untuk mewujudkan kemaslahatan rakyat dengan mencukupi kebutuhan-kebutuhan mereka. Dalam konteks anggaran, penguasa wajib memastikan dua hal, yaitu pemasukan yang cukup dan pembelanjaan yang amanah sesuai syariat Islam. Hal ini tercakup dalam pengelolaan APBN sesuai syariat.
Pertama, sumber pemasukan. Dalam konteks khilafah, yang menjadi sumber pemasukan adalah zakat, kharja, jizyah, fai, ghanimah, kepemilikan umum yang ini jumlahnya sangat-sangat besar. Sumber pemasukan ini semuanya halal bukan dari sumber yang haram seperti bunga yang merupakan riba.
Kedua, tujuan APBN. Tujuan APBN dalam khilafah digunakan sebesar-besarnya untuk kesejahteraan rakyat dan tentunya menjadi catatan adalah harus sesuai dengan syariat. Artinya APBN yang diambil atau sumber-sumber pendapatan tadi itu betul-betul dioptimalkan dibelanjakan digunakan untuk kepentingan rakyat. Dengan patokan harus sesuai dengan syariat.
Ketiga, pengelolaan sumber daya alam. Dalam konteks APBN khilafah, maka segala macam yang menjadi kepemilikan umum betul-betul dikelola oleh negara, tentunya untuk kepentingan rakyat.
Keempat, berkaitan dengan pendidikan dan kesehatan. Berbicara dalam konteks APBN khilafah maka pendidikan, kesehatan, keamanan itu menjadi tanggung jawab negara, dari mana itu biayanya yakni dari APBN, negara betul-betul memperoleh dana itu dari sumber-sumber yang halal, yang sesuai dengan syariah, kemudian didistribusikan untuk pendidikan, kesehatan, infrastruktur termasuk keamanan.
Kelima, sistem pajak. “Dalam konteks APBN khilafah pajak itu sesuatu yang sangat dihindari, kebijakan yang paling akhir diambil oleh negara, ketika negara sudah mentok tidak ada lagi sumber pemasukan, sementara dia (negara) dihadapkan dengan pengeluaran atau pendanaan yang sangat mendesak, dan itu pun sekali lagi hanya berlaku bagi muslim yang kaya, kemudian itu sifatnya tentatif atau temporal, jadi pajak itu bukan menjadi sesuatu yang menjadi pemasukan utama,” urainya.
Oleh karena itu, Khilafah akan melakukan pengelolaan APBN secara efisien (sesuai kebutuhan, tidak boros dan tidak pelit) sesuai dengan syariat Islam. Tidak ada orientasi bahwa anggaran harus di habiskan apalagi dihabiskannya pada perkara yang tidak ada hubungannya dengan kebutuhan rakyat. Wallahualam bissawab.











