Kalimantan Post - Aspirasi Nusantara
Baca Koran
Space Iklan
Space Iklan
Iklan Utama
Kalsel

Dasakan Warga Tiga Desa Pegunungan Meratus

×

Dasakan Warga Tiga Desa Pegunungan Meratus

Sebarkan artikel ini
Meratus
Pegunungan Meratus. (net/wikipedia)

Barabai, KP- Warga tiga desa di Pegunungan Meratus Kabupaten Hulu Sungai Tengah (HST), mendesak pemerintah untuk segera meninjau ulang tapal batas Kabupaten Hulu Sungai Tengah dan Kotabaru.

“Kita sebelumnya sudah mendampingi warga Desa Juhu, Aing Bantai, Batu Perahu hingga Mangga Jaya, Kecamatan Barang Alai Timur (BAT) untuk mempertanyakan terkait kesepakatan tapal batas yang merugikan masyarakat kami ini,” kata Kepala Adat Kecamatan BAT Junaidi di Barabai, Jumat (31/10).

Kalimantan Post

Junaidi mengatakan, kesepakatan batas pada Juni 2021 lalu yang dipimpin PJ Gubernur Kalsel Syafrizal ZA diikuti Bupati HST H Aulia Oktafiandi dan Sekda Kotabaru H Said Akhmad membuat kecewa masyarakat.

Pasalnya, dari 34 ribu hektare (ha) yang jadi sengketa di wilayah kawasan hutan lindung di kaki Pegunungan Meratus, pertemuan itu menyepakati 11 ribu ha masuk ke wilayah Kabupaten HST sedangkan 23 ribu ha masuk Kabupaten Kotabaru.

“Jelas pembagian ini tidak adil, tidak ada pelibatan masyarakat dan tanpa dasar yang jelas hingga merambah wilayah adat (tanah ulayat).

Ini sangat merugikan masyarakat kami dan menghambat pembangunan,” kata Junaidi.

Pasca kesepakatan yang merugikan itu, pihaknya sejak 2021 lalu juga telah berupaya melakukan audiensi, bersurat ke pemerintah kabupaten, provinsi hingga ke Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) untuk meminta meninjau ulang kesepakatan batas tersebut.

“Sampai saat ini masih belum ada kejelasan.

Kami siap membawa tokoh-tokoh adat jika memang nantinya ada yang ingin memastikan tapal batas yang sebenarnya,” ujarnya.

Junaidi khawatir, masyarakat yang bermukim di wilayah tapal batas tersebut dikemudian hari terjadi konflik lahan, kearifan lokal masyarakat adat hingga kelangsungan pendidikan dan akses masyarakat jadi terancam.

“Kita juga mendesak pemerintah untuk segera membahas dan mengerahkan peraturan daerah terkait masyarakat hukum adat, karena selama belasan tahun kami ajukan masih belum ada titik terang,” lanjutnya.

Baca Juga :  Ketua DPRD Banjarmasin Jadikan Sumpah Pemuda sebagai Api Persatuan dan Gerak Membangun Kota

Sebelumnya, Rusli warga Desa Mangga Jaya juga membeberkan keputusan pembagian batas tersebut dinilainya timpang dan tidak sesuai dengan apa yang sudah ditinjau bersama pada 14 tahun lalu.

Rusli mengaku, pada tahun 2007 lalu pernah memandu menunjukkan kepada tim tapal batas perihal titik-titik batas antara dua kabupaten tersebut, sesuai dengan kondisi alam yang ada diwilayah tersebut seperti sungai, batas gunung, dan titik potensi lain yang merupakan daerah bagian dari Pegunungan Meratus.

“Waktu turun awal melibatkan masyarakat setempat, sedangkan yang di Kotabaru orang-orang yang disewa dan tidak tau tempat lokasi wilayah tersebut,” kata Rusli.

Hingga tahun 2021 itu baru diambil keputusan dengan pembagian yang sangat timpang, yang paling mengecewakan dalam putusan itu tidak ada melibatkan masyarakat yang tinggal di daerah batas tersebut.

“Seolah-olah yang diputuskan ini tidak ada kehidupan disana, tidak ada pelibatan masyarakat.

Padahal, di daerah perbatasan tersebut ada beberapa anak desa yang hidup berdampingan mengelola hutan dan segala jenis sumber daya alam yang ada disana agar tetap lestari,” ujarnya.

Sementara itu, Kepala Bagian Tata Pemerintahan Sekretariat Daerah HST Sahri Ramadhan menyatakan, Pemerintah Kabupaten (Pemkab) bersama DPRD HST telah menindaklanjuti permasalahan tersebut.

“Sudah kita tindaklanjuti dan masih berproses. Sesuai arahan pak Bupati HST Samsul Rizal kita bersurat ke Gubernur Kalsel untuk meminta peninjauan ulang batas wilayah tersebut,” jelasnya. (ant/K-2)

Iklan
Iklan