Oleh : Khanza Haliza
Aktivis Mahasiswa
Beberapa waktu terakhir masyarakat dihebohkan dengan berita yang sempat viral di media sosial. Mengenai tindakan seorang kepala sekolah yang menampar siswanya karena ketahuan merokok di lingkungan sekolah. Peristiwa ini terjadi di SMAN 1 Cimarga, kabupaten Lebak, Banten. Kepala sekolah bernama Dini Fitri diketahui menegur seorang siswa bernama Indra yang merokok di belakang sekolah. Saat ditegur, siswa itu malah berbohong dan tidak mengakui perbuatannya. Akhirnya, karena kepala sekolah emosi dan ingin memberikan pelajaran kepada siswanya, kepala sekolah tersebut spontan menampar sang siswa. Kasus ini pun sempat mencuat hingga ke kepolisian, tapi berkahir dengan damai. (Sumber: Detik.com, 18 Oktober 2025).
Ketentuan larangan merokok di sekolah telah dijelaskan secara tegas dalam Permendikbud Nomor 4 Tahun 2015 yang menetapkan bahwa sekolah merupakan kawasan bebas rokok. Selain itu, UU No 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan juga memperkuat aturan tersebut dengan memberikan ancaman sanksi berupa denda hingga Rp50 juta bagi siapapun yang melanggarnya. Larangan ini berlaku bagi semua orang yang berada di lingkungan sekolah, baik kepala sekolah, guru, siswa, maupun pengunjung.
Menurut laporan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), sekitar 15 juta remaja berusia 13–15 tahun di dunia menggunakan rokok elektrik atau vape. WHO juga menyebutkan bahwa remaja sembilan kali lebih mungkin menggunakan vape dibanding orang dewasa. (Sumber: Inforemaja.id, 2025). Angka ini menunjukkan betapa parahnya masalah perilaku di kalangan remaja saat ini. Kebiasaan seperti merokok bukan lagi dianggap perbuatan buruk, tetapi seolah menjadi simbol kebebasan dan kedewasaan.
Jika ditelusuri lebih jauh, perilaku menyimpang seperti merokok, berbohong, atau bahkan menggunakan vape sudah menjadi hal yang biasa di kalangan remaja. Fenomena ini menunjukkan bagaimana siswa merasa punya kebebasan untuk bertindak di luar batas etika, sementara guru berada di posisi sulit, di satu sisi harus menegakkan aturan dan kedisiplinan, disisi lain takut dianggap melanggar hak asasi siswa. Sehingga banyak guru yang memilih bersikap pasif dan menghindari tindakan tegas terhadap kelakuan siswa, karena takut konsekuensi yang bisa mengancam posisi dan reputasi mereka.
Selain itu, masalah yang dihadapi sekarang bukan hanya karena siswa tidak tahu mana yang benar, tapi karena mereka tidak punya teladan yang kuat. Di sekolah, guru dibatasi. Di rumah, orang tua sibuk. Di media, panutan mereka adalah influencer dan artis yang memamerkan gaya hidup bebas. Akhirnya, remaja tumbuh tanpa arah moral. Mereka menganggap rokok dan vape sebagai simbol keren, padahal itu hanyalah bentuk pelarian dari kebingungan hidup.
Dari beberapa hal tersebut, tampak jelas bahwa permasalahan yang terjadi tidak hanya bersumber dari perilaku individu siswa maupun guru, tetapi juga dari akar yang mendalam, yaitu sistem pendidikan itu sendiri. Fenomena krisis moral siswa, hilangnya wibawa guru, hingga ketidaktegasan lembaga pendidikan menunjukkan adanya ketidakseimbangan dalam ranah “mendidik” siswa. Hal ini menjadi bukti bahwa sistem pendidikan yang berjalan saat ini tidak ideal untuk diterapkan. Pendidikan yang seharusnya menjadi sarana pembentukan akhlak, karakter, dan kedisiplinan justru bergeser menjadi proses formal yang hanya menekankan aspek pengetahuan semata.
Akar masalahnya adalah sistem pendidikan yang tidak berlandaskan dengan sistem pendidikan Islam. Sistem pendidikan yang diterapkan saat ini adalah sistem pendidikan sekuler, yakni sistem pendidikan yang memisahkan nilai agama dari kehidupan. Sehingga, pendidikan kehilangan ruh spiritual dan moral yang seharusnya menjadi fondasi utama dalam membentuk kepribadian peserta didik.
Sistem sekuler yang diterapkan di negeri ini sebenarnya membawa nilai liberalisme. Dalam sistem ini, individu dianggap bebas melakukan apa saja selama tidak mengganggu orang lain. Tapi definisi “mengganggu” di sini banyak disalah artikan. Akibatnya, merokok di sekolah, berbicara kasar pada guru, atau berperilaku tidak sopan dianggap bukan masalah besar karena disebut “hak individu”. Padahal, dalam Islam, setiap perbuatan manusia diatur oleh syariat. Tidak ada istilah kebebasan tanpa batas. Semua hal diukur berdasarkan apakah itu diridhai oleh Allah atau tidak. Inilah yang membedakan sistem Islam dengan sistem sekuler.
Selain itu, dalam sistem sekuler, pendidikan hanya dianggap sebagai alat untuk mencari pekerjaan, bukan untuk membentuk karakter. Sekolah lebih sibuk mengejar nilai, akreditasi, dan prestasi akademik, tapi lupa menanamkan akhlak dan moral. Nilai-nilai seperti hormat kepada guru, kejujuran, dan sopan santun dianggap hal kecil yang tidak penting. Padahal, dalam pandangan Islam, pendidikan yang baik bukan hanya sekedar mencerdaskan otak, tapi juga menumbuhkan iman dan akhlak.
Pendidikan dalam sistem Islam adalah sarana untuk membentuk manusia agar tunduk kepada Allah. Guru dipandang sebagai sosok yang menuntun jalan menuju ketaatan. Karena itu, murid diajarkan adab sejak awal. Adab bukan sekadar etika sosial, tapi mencerminankan nilai ke imanan. Dalam Islam, pendidikan juga tidak memisahkan antara ilmu dunia dan ilmu agama. Keduanya berjalan seimbang. Siswa diajarkan untuk memahami dunia, tapi juga diarahkan agar tetap sadar bahwa semua pengetahuan berasal dari Allah. Inilah yang membuat generasi Islam di masa lalu memiliki adab tinggi dan semangat belajar luar biasa. Karena itu, dalam sistem Islam, pendidikan tidak pernah sekadar mengejar nilai atau gelar, tapi selalu diarahkan untuk mencari ridha Allah.
Dalam sistem Islam, guru memiliki kehormatan yang tinggi. Mereka dilindungi oleh hukum, dan masyarakat pun diajarkan untuk menghormati mereka. Tidak ada istilah guru takut menegur murid, karena pendidikan diatur dengan prinsip amar makruf nahi mungkar. Artinya, setiap kesalahan harus diluruskan dengan cara yang baik. Rasulullah saw. bersabda, “Barang siapa di antara kalian melihat kemungkaran, maka ubahlah dengan tangan; jika tidak mampu, maka dengan lisan; dan jika tidak mampu juga, maka dengan hati, dan itu adalah selemah-lemahnya iman.” (HR Muslim). Dari hadis ini, jelas bahwa menegur kesalahan adalah bagian dari iman, bukan bentuk kekerasan.
Masalah moral seperti di masa sekarang bisa diatasi dengan membangun kesadaran iman sejak kecil. Anak-anak harus dibiasakan memahami konsep halal dan haram, paham tentang tanggung jawab, dan tahu bahwa setiap perbuatan akan dimintai pertanggungjawaban di hadapan Allah. Allah berfirman dalam QS Az-Zalzalah ayat 7–8: “Barang siapa mengerjakan kebaikan seberat zarrah pun, niscaya dia akan melihat (balasannya). Dan barang siapa mengerjakan kejahatan seberat zarrah pun, niscaya dia akan melihat (balasannya).” Jika kesadaran ini tertanam sejak dini, maka remaja tidak akan berani melakukan hal-hal buruk meskipun tidak ada yang melihat.
Selain itu, Islam juga memandang bahwa guru bukan hanya pengajar tapi juga pembimbing spiritual. Seorang guru tidak boleh hanya mengajar ilmu, tapi harus menjadi teladan dalam akhlak. Sebaliknya, murid juga wajib menghormati guru karena melalui gurulah ilmu disampaikan. Dalam Islam, menghina guru termasuk dosa besar karena itu sama saja dengan merendahkan ilmu. Allah berfirman dalam QS Al-Mujadilah ayat 11: “Allah akan meninggikan derajat orang-orang yang beriman dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan di antara kamu beberapa derajat.” Ayat ini menjadi bukti bahwa ilmu dan orang yang mengajarkannya memiliki kedudukan tinggi di sisi Allah.
Islam memandang bahwa negara juga memiliki tanggung jawab besar dalam mendidik rakyatnya. Dalam sistem negara Islam, pendidikan bukan hanya tanggung jawab guru dan sekolah, tetapi juga tanggung jawab negara. Negara harus memastikan bahwa kurikulum pendidikan dibangun berdasarkan akidah Islam. Tujuannya bukan sekadar mencetak tenaga kerja, tapi membentuk manusia yang beriman dan bertakwa.
Negara Islam juga memastikan bahwa generasi muda tidak kehilangan arah. Mereka di didik untuk sadar bahwa hidup bukan hanya untuk mencari kebahagiaan dunia, tapi juga untuk beribadah kepada Allah. Allah berfirman dalam QS Adz-Dzariyat ayat 56: “Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku.” Inilah tujuan hidup yang harus ditanamkan sejak kecil. Maka, pendidikan Islam tidak hanya menyiapkan anak menjadi warga negara, tapi menjadi hamba Allah yang bertanggung jawab di dunia dan akhirat.
Maka, solusi terbaik bukan hanya menasihati guru atau siswa, tapi mengembalikan sistem kehidupan kepada Islam secara menyeluruh. Hanya dengan Islam, pendidikan bisa menjadi cahaya peradaban lagi. Dalam sejarah, sistem Islam pernah melahirkan generasi terbaik seperti para sahabat dan ulama besar. Mereka bukan hanya cerdas secara ilmu, tapi juga berakhlak tinggi. Mereka menghormati guru, mencintai ilmu, dan menjadikan kehidupan dunia sebagai ladang amal untuk akhirat. Itulah generasi yang seharusnya kita cita-citakan lahir kembali.
Jika negara berlandaskan Islam, maka guru tidak akan takut menegakkan kebenaran. Siswa akan tumbuh dalam lingkungan yang mendidik, bukan menjerumuskan. Orang tua, masyarakat, dan negara akan saling bahu-membahu membina generasi yang beriman. Tidak akan ada lagi siswa yang berani melawan guru atau merokok di sekolah, karena mereka sadar bahwa hidup bukan untuk melawan aturan, tapi untuk menjalankan amanah Allah. Dan guru pun tidak perlu menampar murid, karena cukup dengan nasihat lembut dan wibawa keimanan, murid akan tunduk dengan hormat.
Islam mengajarkan bahwa pendidikan adalah amanah besar. Rasulullah SAW bersabda, “Setiap kalian adalah pemimpin, dan setiap pemimpin akan dimintai pertanggungjawaban atas yang dipimpinnya.” (HR Bukhari dan Muslim). Maka guru adalah pemimpin bagi muridnya, orang tua pemimpin bagi anaknya, dan negara pemimpin bagi rakyatnya. Jika semua memahami amanah ini dengan iman, maka pendidikan akan menjadi ladang pahala, bukan sumber masalah. Hanya dengan sistem Islam yang kaffah, amanah itu bisa dijalankan secara menyeluruh dalam seluruh aspek kehidupan.











