Oleh : Haritsa
Pemerhati Generasi dan Kemasyarakatan
Merek Air Minum Dalam Kemasan (AMDK) Aqua mendapat sorotan publiik setelah sidak yang dilakukan Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi. Dari sidak terkuak fakta bahwa air yang dijual bukan dari air pegunungan sebagaimana yang diiklankan, tapi air bawah tanah dalam yang disedot dari kedalaman lebih dari 100 meter atau yang disebut lapisan aquifer (kabar24.bisnis.com, 27/10/2025).
Perusahaan Aqua mengklarifikasi bahwa pihaknya tidak menggunakan air dari sumur bor biasa. Aqua menyatakan bahwa air yang digunakan berasal dari akuifer dalam yang merupakan bagian dari sistem hidrogeologi pegunungan. Mereka juga menyatakan memiliki 19 titik mata air pegunungan yang tersebar di seluruh Indonesia untuk produksi air dalam kemasan perusahaan mereka. Terlepas dari klarifikasi, publik masih melihat ketidaksamaan antara air tanah dalam dengan air yang bersumber dari mata air pegunungan. Dengan kata lain ada ketidakjujuran yang mengelabui konsumen.
Lebih dari itu, fakta perusahaan AMDK seperti aqua membuka mata publik tentang kapitalisasi air atau penguasaan sumber daya air oleh para kapitalis demi bisnis mereka. Banyak mata air di berbagai daerah dikuasai oleh perusahaan air minum. Mereka mampu mengeksploitasi air dengan kekuatan modal mereka dan mendulang keuntungan besar dari bisnis air sehat yang menjadi kebutuhan dasar masyarakat.
Air menjadi emas baru dengan perputaran uang sekitar Rp30 triliun setiap tahun. Keuntungan besar tersebut didapat dengan mudah seperti istilah gubernur; ‘gratis tinggal dikemas’. Memang demikian air adalah barang gratis yang ditemukan di alam yang perlu sedikit proses lalu dikemas dan dipasarkan. Wajar bisnis AMDK begitu menggiurkan dan diburu para pemodal (kapitalis).
Namun keuntungan di pihak kapitalis di satu sisi sedangkan masyarakat dirugikan. Penyedotan air dalam tanah oleh perusahaan berdampak pada matinya mata air-mata air atau sumur warga. Wilayah sekitar pabrik yang mensuplai air bersih justru kekurangan air apalagi jika musim kemarau tiba.
Lebih dari itu eksploitasi air secara besar-besaran di suatu daerah berdampak buruk pada ekologi. Ada resiko pencemaran dari aktivitas produksi perusahaan. Pengambilan air pada akuifer dalam secara massif dalam jangka panjang juga menimbulkan penurunan muka air tanah dan potensi amblesan tanah atau penurunan tanah. Penurunan tanah telah terjadi pada kota Jakarta akibat massifnya penggunaan air tanah. Penurunan permukaan tanah akan menimbulkan dampak turunan seperti masuknya air laut atau pasang rob yang menggenangi daratan.
Selain itu, secara ekonomi, air bersih dan sehat menjadi barang mahal yang menguras penghasilan masyarakat karena produksinya perlu biaya produksi dari penyedotan, pengangkutan serta pemasaran. Bahkan ada ungkapan bahwa rakyat Indonesia miskin karena air minum dalam kemasan. Tanpa sadar mereka merogoh uang banyak demi air bersih. Apalagi ditambah manipulasi perusahaan pada produk demi keuntungan bisnisnya seperti iklan yang tidak sesuai dengan fakta.
Meskipum UU Nomor 7 tahun 2004 sudah dibatalkan Mahkamah Konstitusi, namun komersialisasi dan kapitalisasi sumber daya air (SDA) tetap berlanjut. Regulasi atau peraturan terkait batas penggunaan SDA dalam sistem saat ini seolah membenarkan dan mendukung penguasaan air oleh para kapitalis. Dewan Sumber Daya Air Nasional (DSDAN) dan Direktorat Jenderal Sumber Daya Air di bawah kementerian PUPR (Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat) belum mampu menghentikan kapitalisasi air.
Demikian konsekuensi sistem sekuler kapitalisme dimana hukum buatan manusia memberi jalan penguasaan sumber daya alam seperti air pada para kapitalis.
Berbeda dengan sistem Islam atau Islam kaffah. Sumber daya air adalah sumber daya alam yang masuk dalam kategori fasilitas umum yang menjadi kebutuhan pokok masyarakat (marafiq jamaah) dan barang milik publik (milkiyah al-‘ammah). Karenanya individu, komunitas maupun korporasi tidak boleh memonopoli manfaat air dalam bisnis profit oriented yang menghalangi masyarakat luas dari akses terhadap air.
Pengelolaan harus diserahkan kepada negara secara profesional dan bebas korupsi. Seluruhnya hasilnya dikembalikan kepada publik. Ini sebagaimana sabda Nabi SAW, “Kaum Muslim berserikat dalam tiga hal: air, padang rumput dan api”. (HR Abu Dawud dan Ahmad).
Hukum umum syariat tentang air sebagai fasilitas jamaah dan kepemilikan umum diimplementasikan dengan hukum-hukum cabang atau rincian-rinciannya. Pengelolaan SDA dilakukan oleh negara untuk kemaslahatan masyarakat luas. Negara tidak boleh menyerahkan urusannya kepada swasta (privatisasi) karena akan menghilangkan kewajiban pengelolaan oleh negara atau penguasaan aset milik umum oleh negara baik sebagian atau keseluruhan; baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang.
Negara harus melakukan upaya semaksimal mungkin agar tidak ada satupun wilayah dalam teritorial nya yang penduduknya kesulitan untuk memperoleh air.
Negara juga akan memperketat regulasi terkait pengelolaan SDA sehingga tidak memicu penyalahgunaan dan kerusakan alam. Sumber daya alam yang memberikan air seperti hutan dan semua perairan seperti danau dan sungai ataupun waduk harus dikelola dan dilestarikan untuk keberlanjutan manfaat bagi manusia.
Untuk mewujudkan syariat Islam sebagai solusi, maka rakyat di negeri ini harus meninggalkan sistem politik demokrasi yang senafas dengan sistem ekonomi kapitalisme dimana penguasa ada untuk melayani para kapitalis. Sebagai gantinya umat harus menerapkan sistem politik Islam, yaitu Khilafah yang akan menerapkan Islam secara kaffah termasuk sistem ekonomi Islam. Penerapan Islam selama 14 abad terbukti telah mewujudkan kesejahteraan bagi muslim dan non muslim. Wallahu alam bis shawab.











