BANJARMASIN Kalimantan Post. com – Kelangkaan BBM yang kembali terjadi pada sejumlah daerah di Indonesia, termasuk Provinsi Kalimantan Selatan (Kalsel) bukan semata soal keterlambatan suplai atau peningkatan konsumsi, namun ada bebarapa masalah, bakan pula bisa saja kemungkinan terjadinya mafia migas.
“Pemerintah harus segera mereformasi tata kelola distribusi untuk mengatasi kelangkaan Bahan Bakar Minyak (BBM) yang terjadi, terlebih daerah Kalsel,” kata pengamat kebijakan publik Subhan Syarief ST MT.
“Kalau diamati secara cermat maka ini sejatinya merupakan gejala dari persoalan struktural yang lebih dalam,” ujar Subhan Syarief, Pendiri Batang Banyu, Kamis (20/11/2025).
Sisi lain, jelas Subhan Syarief, jika ditinjau dari perspektif tata kelola migas, pola kelangkaan yang terjadi serentak, disertai antrean panjang dan disparitas stok antar wilayah, mengindikasikan adanya market disruption anomaly.
“Yakni, situasi ketika distribusi tidak sepenuhnya dikendalikan oleh negara, tetapi terpengaruh oleh kepentingan kelompok tertentu,” ujarnya.
Bahkan ketika ditanya soal mafia migas menguasai jalur distribusi ia sebut kalau ini, ruang bagi mafia migas memang terbuka.
“Terutama dalam fase distribusi, dari kepemilikan armada tanker, depo, hingga SPBU dan sistem kuota. Pola penyimpangan seperti penimbunan, switching, dan pengalihan alokasi bukan terjadi secara insidental, melainkan menunjukkan karakter coordinated supply manipulation,” bebernya.
Di sinilah, tandas Subhan, mafia migas bekerja bukan sebagai pelaku ilegal di pinggir sistem, tetapi sebagai aktor ekonomi yang memanfaatkan celah tata kelola dan regulasi.
Ditanya ancaman mafia migas terhadap pemerintahan Presiden Prabowo, menurut Subhan hal itu bisa saja terjadi dan berpotensi adanya serangan balik.
Jaringan ini memiliki akses logistik, finansial, dan bahkan kedekatan politik yang kuat dengan para penguasa sehingga mampu menekan pemerintah melalui kelangkaan atau kegaduhan distribusi.
Pertamina pun menjadi sasaran strategis karena merupakan wajah negara dalam pengelolaan energi.
Diketahui masyarakat Kalsel saat ini menghadapi sulitnya mendapatkan BBM terutama jenis Pertamax.
Meningkatnya permintaan Pertamax dipicu fenomena banyaknya kendaraan bermotor khususnya roda dua yang mengalami kerusakan mesin diduga akibat penggunaan Pertalite dan masyarakat yang ingin beralih ke Pertamax justru menghadapi masalah baru yakni kelangkaan Pertamax di SPBU.
Subhan mendorong pembentukan Satgas Pengawasan Energi Daerah berbasis multi lembaga. Menurutnya, yang dibutuhkan adalah reformasi tata kelola, peningkatan dan perkuatan digitalisasi distribusi berbasis QR Code, pengembangan model tracking, dashboard stok publik, audit digital terhadap depo dan SPBU.
“Semua langkah ini diperlukan pembentukan Satgas berbasis multi lembaga seperti Polda, Kejaksaan, ESDM, BPH Migas, dan juga melibatkan publik yang independen,” jelas peraih gelar Doktor Hukum Konstruksi Universitas Islam Sultan Agung (Unissula) Semarang ini.
“Situasi ketika distribusi tidak sepenuhnya dikendalikan oleh negara, tetapi terpengaruh oleh kepentingan kelompok tertentu,” ungkapnya.
“Di sinilah mafia migas bekerja bukan sebagai pelaku ilegal di pinggir sistem, tetapi sebagai aktor ekonomi yang memanfaatkan celah tata kelola dan regulasi,” beber Subhan.
Sekali lagi ia menduga adanya kasus kelangkaan BBM di sejumlah daerah merupakan serangan balik dari para mafia migas ke pemerintah.
Terlebih pemerintah sudah menyentuh kepentingan besar seperti menetapkan pemain besar seperti Riza Chalid sebagai tersangka dan Daftar Pencarian Orang (DPO).
Jaringan ini memiliki akses logistik, finansial, dan bahkan kedekatan politik yang kuat dengan para penguasa sehingga mampu menekan pemerintah melalui kelangkaan atau kegaduhan distribusi. */KPO-2)














