Kalimantan Post - Aspirasi Nusantara
Baca Koran
Space Iklan
Space Iklan
Iklan Utama
Opini

Lahir sebagai Warga Digital: Siapkah

×

Lahir sebagai Warga Digital: Siapkah

Sebarkan artikel ini

(Refleksi Hari Anak Sedunia 2025)

Oleh : Nor Hasanah, S.Ag, M.I.Kom.
Pustakawan UIN Antasari Banjarmasin

Generasi anak hari ini bukan sekadar pengguna teknologi, mereka lahir sebagai warga digital. Sejak usia balita, mereka sudah bersentuhan dengan gawai, mengakses internet, menonton konten video, dan berinteraksi dengan kecerdasan buatan (AI) tanpa benar-benar memahami konsekuensinya. Dunia digital bukan lagi sekadar ruang tambahan, tetapi ruang hidup kedua setelah dunia fisik.

Kalimantan Post

Hari Anak Sedunia 20 November 2025 yang mengusung tema “My Day, My Rights” menjadi momen penting untuk bertanya: siapkah anak-anak kita menjalani hidup sebagai warga digital? Atau sebaliknya, kitalah yang belum siap mengantarkan mereka menghadapi dunia baru ini?

Pertanyaan ini jauh lebih penting daripada sekadar kekhawatiran tentang “kecanduan gadget”. Menjadi warga digital berarti memiliki identitas, hak, kewajiban, risiko, dan relasi sosial di ruang digital. Dunia itu dapat membentuk cara berpikir, bersikap, dan bahkan menentukan masa depan anak.

Berbeda dengan generasi sebelumnya, anak-anak sekarang tumbuh dalam tiga lapisan realitas yaitu realitas fisik: sekolah, rumah, teman sebaya; realitas digital: media sosial, gim daring, YouTube, rekomendasi algoritmik; dan realitas berbasis AI: chatbot, filter wajah, aplikasi pembelajaran, asisten virtual.

Mereka beradaptasi dengan cepat, tetapi kecepatan pemahaman tidak selalu sebanding dengan kedalaman pemahaman. Anak mungkin mahir menggeser layar, tetapi belum tentu paham tentang privasi, manipulasi algoritma, atau konsekuensi sosial dari jejak digital yang mereka tinggalkan.

Sering kali orang dewasa menganggap kemampuan teknis sebagai tanda kematangan digital. Padahal, ini adalah kesalahan besar. Mahir menggunakan bukan berarti mampu mengambil keputusan yang aman, apalagi etis.

Risiko Warga Digital Cilik

Sejak bayi, jejak digital mereka sudah terbentuk melalui unggahan keluarga: foto ulang tahun, video lucu, hingga momen-momen pribadi. Ketika dewasa nanti, mereka mungkin harus menanggung warisan data yang tidak pernah mereka pilih. Anak punya hak atas privasi, tetapi realitas digital mencabut hak itu bahkan sebelum mereka belajar membaca.

Platform digital tidak dirancang untuk anak, ia dirancang untuk mempertahankan perhatian. Algoritma bekerja mempelajari emosi, menyodorkan konten yang semakin ekstrem atau sensasional. Anak-anak dapat terpapar kekerasan, perundungan, seksualisasi halus, atau gaya hidup yang tidak realistis.

Baca Juga :  Anggota TNI/ POLRI Duduki Jabatan Sipil, Kembali Ke Barak atau Pensiun

Generasi ini menghadapi tantangan baru seperti kecemasan akibat perbandingan sosial, ketergantungan pada pengakuan (likes, views), kehilangan fokus, tekanan untuk tampil sempurna melalui filter AI.

Ketika dunia digital menjadi cermin, anak mudah terjebak dalam identitas yang rapuh. Anak adalah kelompok paling rentan terhadap perundungan digital, predator daring, penipuan, eksploitasi data, persuasi algoritmik.

AI dapat mengaburkan batas antara manusia dan mesin. Anak yang belum matang secara kognitif rentan percaya sepenuhnya pada jawaban chatbot seolah-olah itu kebenaran final.

Peluang Besar Warga Digital

Di sisi lain, menjadi warga digital memberi anak akses ke peluang yang tak dimiliki generasi manapun sebelumnya. Pertama, Akses Informasi Tanpa Batas. Anak bisa belajar apa saja: dari matematika, astronomi, hingga seni digital. Mereka dapat berkolaborasi dengan teman sebaya dari negara lain, memperluas wawasan, dan membangun imajinasi baru.

Kedua, Ruang Berkreasi yang Kaya. Dengan bantuan AI, mereka bisa membuat ilustrasi, menulis cerita, mencipta musik, mendesain animasi, dan membuat proyek digital, serta kreativitas berkembang tanpa batas alat.

Ketiga, Pendidikan yang Lebih Personal. AI memungkinkan pembelajaran adaptif: anak yang cepat dapat melaju lebih jauh; anak yang tertinggal dibantu secara individual. Anak berkebutuhan khusus juga mendapat manfaat melalui teknologi pengenalan emosi dan terapi digital yang terpersonalisasi.

Keempat, Kesiapan Menghadapi Masa Depan Kerja. Dunia kerja mendatang menuntut literasi digital sebagai kemampuan dasar. Anak yang sejak kecil terbiasa dengan teknologi akan lebih siap bersaing secara global.

Solusi Membangun Kesiapan Digital Anak

Upaya membangun generasi yang cerdas digital tentunya harus dimulai dari dari lembaga pendidikan terkecil yaitu keluarga sebagai fondasinya. Orang tua harus menjadi “mentor digital”, bukan penjaga gerbang yang hanya melarang.

Yang perlu dilakukan adalah membuat aturan gawai berbasis kesepakatan, bukan ancaman, mendampingi konsumsi konten, bukan sekadar mengawasi, membiasakan anak berbicara tentang apa yang mereka temui di internet, dan bangun keterbukaan komunikasi adalah penangkal terbaik bagi risiko digital.

Baca Juga :  Expo Religi : Merawat Alam dan Keragaman

Disamping keluarga, sekolah juga dapat dijadikan sebagai Ruang Aman Digital. Generasi digital memerlukan guru yang bukan hanya melek teknologi, tetapi juga melek nilai. Sekolah perlu memperbarui pendekatannya dengan memasukkan literasi digital dan etika teknologi dalam kurikulum, melatih guru untuk memanfaatkan AI secara etis, menyediakan kegiatan non-digital yang menyeimbangkan tumbuh kembang anak, membentuk budaya belajar yang kritis terhadap teknologi. Generasi digital memerlukan guru yang bukan hanya melek teknologi, tetapi juga melek nilai.

Negara juga harus menghadirkan regulasi yang tegas dan mendalam memberikan perlindungan data anak harus bersifat ketat, audit algoritma wajib dilakukan pada platform anak, pelarangan iklan bertarget untuk anak, sistem pelaporan cyberbullying yang mudah diakses, sanksi bagi platform yang lalai terhadap keselamatan anak.

Bagi perusahaan digital perlu menerapkan prinsip child-first design, privacy by default, transparansi dalam pengumpulan dan pemrosesan data, pengetatan kontrol terhadap konten dan interaksi. Anak bukan angka statistik; mereka adalah individu dengan hak yang melekat.

Masa Depan Digital

Generasi anak hari ini tidak pernah memilih untuk lahir sebagai warga digital—situasi itu diberikan oleh zaman. Tugas kita bukan melarang mereka memasuki dunia digital, tetapi membekali mereka dengan kemampuan, perlindungan, dan nilai-nilai yang membuat mereka mampu hidup dengan sehat di dalamnya.

Jika ekosistem digital aman, inklusif, dan manusiawi, anak-anak kita tidak hanya siap menjadi warga digital, mereka akan tumbuh menjadi pemimpin digital yang beretika dan bertanggung jawab.

Hari Anak Sedunia 2025 menjadi pengingat: hak anak tidak berhenti di dunia fisik; ia harus diperluas ke dunia digital. Karena dunia digital adalah rumah kedua mereka. Dan seperti rumah pertama, ia harus aman, sehat, dan penuh kasih.

Iklan
Iklan