Oleh : Ahmad Syawqi
Pustakawan UIN Antasari Banjarmasin
Setiap 10 November, kita mengenang gelora heroik arek-arek Suroboyo yang dengan gagah berani mempertahankan harga diri bangsa. Bambu runcing dan teriakan “Merdeka!” menjadi simbol perlawanan atas penjajahan fisik. Kini, di era yang berbeda, kita menghadapi sebuah “medan pertempuran” baru yang tak kasat mata, namun dampaknya tak kalah menghancurkan: banjir informasi dan salah informasi di ruang digital.
Jika dahulu pahlawan berdiri di barisan depan dengan senjata di tangan, maka pahlawan masa kini adalah mereka yang berdiri di garda terdepan melawan pandemi hoaks, misinformasi, dan disinformasi. Mereka adalah Pahlawan Literasi di Zaman Viral.
Dari Medan Perang ke Medan Informasi
Pertempuran 10 November 1945 adalah perlawanan fisik untuk mempertahankan kedaulatan teritorial. Sementara itu, pertarungan di ruang digital hari ini adalah perang narasi dan kebenaran untuk mempertahankan kedaulatan intelektual dan kebebasan berpikir rasional. Ancaman yang kita hadapi bukanlah peluru, tetapi konten yang dirancang untuk memanipulasi, memecah belah, dan membodohi.
Sebuah video pendek yang sensasional dapat menyebar lebih cepat dari berita verifikasi faktual. Sebuah narasi kebencian yang dikemas apik mampu menggerus rasa persatuan yang telah dibangun puluhan tahun. Dalam kondisi inilah, kemampuan untuk menyaring, memahami, dan menggunakan informasi secara bijak atau yang kita kenal sebagai literasi digital menjadi “bambu runcing” yang baru. Dan siapa yang paling terlatih untuk memegang senjata ini? Mereka adalah para pustakawan dan pegiat literasi.
Navigator di Samudra Digital
Citra pustakawan yang duduk diam di balik tumpukan buku telah usang. Paradigma itu harus bergeser. Pustakawan masa kini adalah navigator di tengah samudra data yang tak bertepi. Mereka adalah kurator yang menyaring informasi berkualitas dari sampah digital. Mereka adalah dokter yang mendiagnosis dan menyembuhkan “penyakit” informasi yang menjangkit masyarakat.
Perpustakaan pun telah bertransformasi. Dari gudang buku menjadi pusat komunitas dan pengetahuan yang hidup. Perpustakaan modern tidak lagi sekadar meminjamkan buku, tetapi menjadi rumah bagi workshop literasi digital, pelatihan verifikasi fakta, dan diskusi kritis menangkal hoaks. Di tangan pustakawan yang melek teknologi, sumber-sumber online yang kredibel diajarkan, alat-alat fact-checking diperkenalkan, dan etika bermedia sosial digaungkan.
Bayangkan seorang ibu rumah tangga yang kebingungan membedakan informasi kesehatan palsu di grup WhatsApp. Atau seorang pelajar yang terjebak dalam echo chamber algoritma media sosial. Di sinilah pahlawan literasi ini beraksi. Mereka dengan sabar membimbing, mengajarkan cara melacak sumber, memverifikasi gambar, dan mengenali bias dalam sebuah informasi. Ini adalah pekerjaan heroik di tingkat akar rumput, membangun ketahanan masyarakat dari dalam.
Viral vs Valid
Tantangan terbesar pahlawan literasi hari ini adalah melawan daya pikat “viralitas”. Konten yang viral seringkali mengandalkan emosi, sensasi, dan kesederhanaan pesan yang kadang mengabaikan kedalaman dan kebenaran. Sementara itu, nilai-nilai literasi seperti ketelitian, kehati-hatian, dan penalaran membutuhkan waktu dan proses yang lebih lambat.
Tugas pahlawan literasi adalah tidak mengejar viral, tetapi mengejar valid. Mereka tidak sekadar membagikan informasi, tetapi membangun kredibilitas. Mereka berjuang untuk mengajak publik berpikir perlahan dalam dunia yang menuntut kecepatan. Ini adalah pertarungan yang tidak seimbang, tetapi bukan berarti mustahil dimenangkan.
Kisah-kisah sukses mulai bermunculan. Banyak perpustakaan daerah yang aktif mengelola media sosial untuk membagikan info grafis penangkalan hoaks. Pustakawan menjadi narasumber dalam diskusi komunitas tentang pentingnya sumber primer. Ada juga pegiat literasi yang membuat konten kreatif di platform seperti TikTok dan Instagram untuk mengedukasi generasi muda dengan bahasa yang mudah dicerna. Mereka adalah “influencer” sejati yang menggunakan pengaruhnya untuk mencerdaskan bangsa.
Merawat Kedaulatan Informasi
Menjadi pahlawan literasi bukanlah tugas pustakawan dan pegiat saja. Semangat Hari Pahlawan mengajarkan kita tentang gotong royong. Di era digital, setiap kita memiliki tanggung jawab untuk menjadi pahlawan literasi bagi diri sendiri dan lingkungan terdekat.
Kita bisa memulainya dengan langkah sederhana: berhenti sejenak sebelum membagikan informasi, mengecek sumber, dan bertanya “apakah ini benar?”. Dukunglah inisiatif perpustakaan di sekitar Anda. Ikuti workshop literasi digital. Jadilah bagian dari gerakan untuk memutus mata rantai penyebaran hoaks.
Pada akhirnya, semangat 10 November mengajarkan kita bahwa harga diri sebuah bangsa harus diperjuangkan. Jika dulu harga diri itu diinjak-injak oleh penjajah fisik, hari ini harga diri intelektual kita sedang diuji oleh arus informasi yang menyesatkan. Pahlawan literasi dengan senjata pengetahuan, ketelitian, dan dedikasinya adalah penerus semangat Bung Tomo di medan yang baru.
Mari kita dukung dan jadilah bagian dari barisan pahlawan ini. Karena di zaman di mana segala hal bisa menjadi viral, kebenaranlah yang patut kita viralkan. Dan keberanian untuk membela kebenaran itulah warisan abadi dari para pahlawan yang kita peringati hari ini. Selamat Hari Pahlawan. Terima kasih kepada para pahlawan literasi di zaman viral.












