Oleh : Ahmad Barjie B
Pemerhati Sosial Keagamaan
Almarhum Dr Tawang Alun, mantan Direktur LP3ES dan Dosen Fakultas Ekonomi UI tahun 1980/90-an bercerita. Ketika studi di AS, suatu hari bersama keluarga ia rekreasi ke pantai Florida. Dalam perjalanan pulang, mobilnya berhenti karena kehabisan bensin. Hari menjelang senja, mobil lewat mulai jarang dan pom bensin masih jauh.
Meski rata-rata memacu kecepatannya, namun hampir setiap pengendara yang lewat berhenti dan menghampirinya, sambil menawarkan jasa, can I help you? (apa yang bisa saya bantu?). Bahkan ada yang mau mencarikan bensin puluhan kilometer tanpa dikasih uang. Ternyata penjaga pom bensin bersedia menunggu hingga malam. Tawang Alun membayar sendiri sambil menyerahkan jerigen yang dibawa orang yang menolongnya. Rupanya beli bensin di sana bisa diutang dan ada rasa saling percaya yang tinggi.
Lain lagi pengalaman istrinya yang ikut bersamanya tinggal di AS. Para tetangga yang tahu Tawang Alun studi sementara istrinya tidak bekerja, rela membuang waktu berminggu-minggu, keluar masuk kantor dan perusahaan untuk mencarikan pekerjaan sampai ketemu. Dengan begitu istri Tawang Alun bisa bekerja, sehingga ekonomi keluarganya yang sebelumnya pas-pasan karena hanya bersumber dari beasiswa, dapat ditingkatkan. Pertolongan itu diberikan tanpa embel apa-apa, karena di antara mereka, kenal dekat pun tidak. Sebatas tahu saja mereka rela menolong tanpa pamrih, karena ada rasa peduli.
Cerita ini sempat saya catat sewaktu menjadi mahasiswa peserta Pelatihan Kepemimpinan Pemuda Nasional selama tiga bulan di UI Salemba dan Depok Jakarta 1987-1988 era Rektor Prof Dr Sujudi (alm), mantan Menteri Kesehatan era Orde Baru. Bukan maksud melebihkan kepedulian warga AS, karena saya sendiri belum pernah ke sana. Intinya, jika kepedulian tertanam, maka di mana, kapan, kepada siapa dan agama apa saja pertolongan bisa saling diberikan. Kepedulian memberi kesan mendalam dan senantiasa terekam dalam memori. Tidak terkikis panas dan hujan. Orang Minang bilang: Indak lapuak dek hujan indak lakang dek paneh. Kepedulian begini jauh melampaui ruang dan waktu. Budi baik akan selalu dikenang sampai mati.
Di masyarakat kita kepedulian serupa juga ditemui, karena kita dikenal ramah-tamah, suka bergotong-royong dan membantu antarsesama. Tetapi harus pula diakui, kadar empati di hati masyarakat cenderung mengalami kemerosotan signifikan. Kepedulian terhadap orang-orang sakit dan hidup susah belum merata. Masih banyak warga menderita oleh kemiskinan, penyakit, ketiadaan biaya sekolah, tidak memiliki pekerjaan, hingga fustrasi dan bingung menyikapi hidup.
Jangankan orang lain, keluarga sendiri pun sering tidak diacuhkan. Ketika ada orang kena musibah hanya berucap kasian, cuek, bahkan ada yang bilang “hapus”, artinya biarin saja. Sikap ini tentu kontras dengan ajaran agama yang menekankan pentingnya kepedulian tulus dan universal.
Kini bermunculan orang-orang kaya baru dan punya kemampuan menolong, dengan hartanya, ilmu dan keahliannya, kedudukan maupun posisinya. Ini strategis, karena ada potensi menolong dan ada yang memerlukan pertolongan. Kepedulian baru berarti jika ada pemberi dan penerima. Agama memperingatkan, ada masanya nanti orang ingin bederma dan menolong berjalan ke sana ke mari, namun usahanya sia-sia, karena tidak ada lagi manusia yang mau ditolong, semuanya kaya, semuanya sehat dan mapan. Sebelum masa itu tiba, sekaranglah waktunya.
Outlet sumbangan di media massa, kotak-kotak amal, peminta sumbangan dan pertolongan langsung, BAZIS dll yang berisi ajakan menolong fakir miskin, anak yatim, orang sakit dan cacat, beasiswa, bencana alam dan sebagainya, hakikatnya menawarkan cahaya surga. Sepanjang serius dan bukan bohong-bohongan tidak sepantasnya ditolak dan dilecehkan. Karena itu di saat lapang atau sempit, kaya atau miskin, berkedudukan atau tidak, semua dianjurkan berbuat baik sesuai kemampuan.
H Uti Kunsen yang dulu sering menulis di media massa daerah ini, memberikan cerita religi teladan yang menggugah kepedulian. Di antaranya, suatu kali ada sahabat yang dikenal rajin beribadah, oleh Nabi dinyatakan kuburnya sempit. Ternyata orang itu hanya rajin ibadah, sedangkan muamalahnya kepada sesama manusia, keluarga dan masyarakat tidak begitu baik. Artinya orang itu memang rajin beribadah, tapi karena engkin barajut, enggan menolong orang padahal ia mampu, akhirnya hidupnya celaka.
Ada juga ulama dan juru dakwah kedudukannya di akhirat tidak mulia, karena sewaktu di dunia dia hanya menyuruh orang berwakaf dan bersedekah, sementara dia sendiri pelit, dia hanya suka menerima pemberian orang, tapi giliran memberi dia terlalu berhitung. Dia lupa bahwa rezekinya juga berasal dari orang.
Ada perempuan rajin shalat dan puasa, juga dimasukkan ke neraka karena mengurung kucing tanpa diberi makan hingga mati. Ada pelacur diampuni dosanya lalu masuk surga karena menolong anjing kehausan.
Seorang murid Abu Yazid Bustami puluhan tahun tidak pernah merasakan lezatnya ibadah, karena melulu menjalin hubungan dengan Allah, sementara hubungan dengan manusia tidak diperhatikan. Begitu ia belajar mempedulikan dan menolong manusia, barulah ia beroleh kelezatan ibadahnya.
Nikmat yang diberikan Allah berbanding lurus dengan keharusan peduli kepada sesama. Bahkan istilah terima kasih, artinya setelah kita menerima dari orang, seyogyanya sebagian dikasihkan lagi kepada orang yang membutuhkan. Jangan hanya ditumpuk untuk kepentingan sendiri.
Dalam kisah-kisah Alquran, terkenal Qarun yang kaya raya dan menjadi konglomerat di zaman Nabi Musa. Mulanya ia taat beragama, tapi setelah kaya ia lupa. Jangankan memberi orang, menagih orang berutang pun ia lakukan dengan penuh kekejaman. Dia juga mempraktikkan rente yang memberatkan. Para bodyguard dan dept collector-nya tidak segan main pukul dan rampas harta orang yang terlambat bayar utang padanya. Ia juga menolak berzakat, karena merasa kekayaannya adalah murni hasil usaha dan kepintarannya berusaha, bukan rezeki dari Allah. Akhirnya Qarun ditenggelamkan oleh Allah saw ke dasar bumi bersama harta kekayaannya.
Ada juga seorang saleh diberi kelebihan, setiap berjalan di gurun panas selalu ada awan tebal melindungi. Suatu kali di terik mentari, ada pelaku maksiat ingin ikut bernaung. Tetapi ia enggan, dengan alasan orang maksiat tidak berhak ikut bersamanya. Baru saja orang saleh menolak menolong, seketika itu mukjizatnya hilang. Jangankan menolong orang, ia sendiri tidak bisa lagi menolong dirinya. Memang Allah sangat membenci orang yang hidupnya hanya untuk dirinya sendiri.
Mumpung kita masih hidup dan telah banyak diberi Allah rezeki, kedudukan, kekayaan dan kemapanan kinilah saatnya kita meningkatkan kepedulian dan semangat berbagi. Tak pernah terdengar orang dermawan jadi bangkrut, karena kedermawanan mengundang berkah dan datangnya rezeki baru. Rezeki dari Allah tak pernah habis. Wallahu A’lam.












