Oleh : Nor Hasanah, S.Ag, M.I.Kom.
Pustakawan UIN Antasari Banjarmasin
Pada November 2025, kita kembali memperingati detik-detik bersejarah yang mengukir semangat kepahlawanan dalam dna bangsa Indonesia: Pertempuran 10 November 1945 di Surabaya. Teriakan Bung Tomo yang membakar semangat, dan pengorbanan para arek-arek Suroboyo yang gagah berani, adalah narasi heroik yang tak terbantahkan. Mereka berperang dengan senjata seadanya melawan pasukan kolonial yang jauh lebih modern.
Kini, delapan puluh tahun setelah kemerdekaan, kita dihadapkan pada sebuah realitas baru. Medan perang telah bergeser. Jika dahulu musuh tampak jelas dalam wujud seragam dan senjata, kini musuh itu tak kasat mata, menyusup melalui gawai yang kita pegang setiap hari. Kita sedang berada dalam Pertempuran 10 November di Era Digital, sebagai sebuah perang untuk mempertahankan kedaulatan narasi, kebenaran, dan akal sehat bangsa.
Medan Pertempuran Baru
Pertempuran Surabaya 1945 terjadi di jalanan, di gedung-gedung, dan di jembatan. Medan tempurnya fisik dan teritorial. Hari ini, pertempuran itu berlangsung di linimasa media sosial, di grup percakapan WhatsApp, dan di kolom komentar berita online. Senjata yang digunakan bukan lagi mitraliur dan tank, melainkan hoaks, disinformasi, dan ujaran kebencian yang diproduksi secara massal dan disebarkan dengan kecepatan cahaya.
Tujuannya sama: menjajah pikiran dan memecah belah persatuan. Jika dulu penjajah ingin menguasai tanah dan sumber daya, kini penjajah digital bertujuan menghegemoni kesadaran, merusak nalar publik, dan melumpuhkan ketahanan bangsa dari dalam. Serangan ini tidak kalah berbahayanya. Sebuah hoaks tentang pangan bisa memicu kepanikan massa. Sebuah narasi kebencian atas dasar SARA dapat mengikis rasa toleransi yang telah dibangun puluhan tahun. Inilah perang asimetris yang kita hadapi.
Pejuang di Garis Depan
Lalu, siapa para pejuang di garis depan pertempuran digital ini? Mereka adalah para pustakawan, arsiparis, akademisi, jurnalis, dan pegiat literasi digital. Mereka adalah penerus semangat Bung Tomo yang berteriak lantang, tetapi kali ini dengan data dan fakta. Mereka adalah para arek-arek Suroboyo masa kini, yang dengan “bambu runcing” berupa keterampilan verifikasi dan nalar kritis, bertarung melawan gelombang informasi palsu.
Perpustakaan dan pusat arsip telah bertransformasi menjadi “benteng informasi”. Layaknya gedung-gedung yang dipertahankan mati-matian di Surabaya, perpustakaan kini adalah benteng yang menjaga kedaulatan pengetahuan. Di dalamnya, para pustakawan tidak lagi hanya menjadi penjaga buku fisik, tetapi menjadi komandan yang memetakan medan informasi. Mereka melatih masyarakat untuk menjadi “tentara” yang cerdas—mampu membedakan antara teman dan lawan (informasi valid vs. hoaks), mengetahui taktik musuh (pola penyebaran disinformasi), dan menggunakan “senjata” yang tepat (alat fact-checking, database jurnal, dan sumber primer).
Strategi Perang
Strategi perang di era digital berbeda. Kita tidak bisa hanya mengandalkan kekuatan fisik. Dua strategi utama yang harus diperkuat adalah pertama, Literasi Digital sebagai Senjata Dasar, dimana setiap warga negara perlu dilatih untuk menjadi prajurit yang melek informasi. Program literasi digital adalah program wajib militer masa kini. Masyarakat harus diajarkan cara menelusuri informasi seperti seorang detektif: memeriksa sumber, melacak keaslian gambar, dan memahami konteks. Ini adalah modal dasar untuk membentuk ketahanan informasi di level individu. Kedua, Pengarsipan Digital sebagai Benteng Sejarah: Salah satu taktik perang informasi adalah menghapus atau memutarbalikkan sejarah. Oleh karena itu, mengarsipkan bukti-bukti sejarah, dokumen negara, dan kearifan lokal dalam format digital adalah sebuah tindakan patriotik. Ini adalah upaya untuk mengamankan memori kolektif bangsa dari upaya pemalsuan. Arsip digital yang terawat dengan baik adalah amunisi yang tak ternilai harganya untuk melawan revisionisme s
ejarah.
Bergabung di Barisan
Peringatan Hari Pahlawan 2025 harus menjadi momentum untuk menyadari bahwa perang belum usai. Hanya bentuknya yang berubah. Semangat gotong royong yang menjadi kunci kekuatan di medan pertempuran 1945, harus kembali dihidupkan di ruang digital.
Kita semua dipanggil untuk turun ke medan ini. Mulailah dengan langkah sederhana dengan menjadi Prajurit yang Kritis. Sebelum membagikan informasi, berhenti sejenak dan tanya, “Apakah ini benar? Sumbernya dari mana?”
Kemudian Jadilah Penyambung Suara Kebenaran. Ikuti dan sebarkan akun-akun media sosial yang kredibel dan bergerak dalam verifikasi fakta. Teruslah Dukung Benteng Informasi dengan memanfaatkan dan mendukung seluruh program-program yang diadakan oleh perpustakaan dan komunitas literasi di sekitar Anda.
Pada akhirnya, semangat 10 November adalah tentang keberanian mempertahankan kebenaran dan kedaulatan hingga tetes darah penghabisan. Hari ini, darah itu mungkin bukan darah fisik, tetapi darah yang sama berharganya adalah nilai-nilai integritas, akal sehat, dan kebenaran bangsa.
Mari kita jawab panggilan sejarah ini. Mari kita hadapi Pertempuran 10 November di Era Digital dengan sama gagah beraninya seperti para pendahulu kita. Waktu itu, mereka berjuang untuk kemerdekaan tanah air. Kini, kita berjuang untuk kemerdekaan pikiran. Merdeka!










