BANJARMASIN, Kalimantanpost.com – Gonjang-ganjing di tubuh PT PAM Bandarmasih belum juga reda. Sejak awal 2025, perusahaan air minum milik Pemko Banjarmasin ini seperti tak pernah lepas dari manuver politik, pencopotan pejabat, hingga bongkar total manajemen. Di tengah semua itu, Pakar Politik dan Kebijakan Publik, Dr Muhammad Uhaib As’ad M.Si, menilai PAM Bandarmasih kian menjelma menjadi “instrumen patronase politik” di era Wali Kota baru, H Muhammad Yamin HR.
Kisruh ini tak berdiri di ruang hampa. Pada 24 September 2022, Wali Kota saat itu, H Ibnu Sina, melantik tiga dewan komisaris: Totok Agus Daryanto (Komisaris Utama), Dr Ifrani, dan Karlina sebagai Komisaris Independen. Mereka dipilih pemegang saham untuk mengawasi kinerja perusahaan dan mendorong peningkatan pelayanan pasca penyesuaian tarif.
Namun, komposisi itu hanya bertahan tak sampai tiga tahun. Melalui RUPS pada 28 April 2025, tiga komisaris tersebut dicopot bersamaan. Dua di antaranya memilih menempuh upaya banding dan hingga awal Juli 2025 prosesnya masih bergulir, sebagaimana diberitakan sejumlah media lokal. Pergantian cepat di level pengawas ini sejak awal memunculkan tafsir politik: orang-orang “era Ibnu” mulai dibereskan.
Tak lama berselang, giliran pucuk manajemen ikut berubah. Direktur Utama Muhammad Ahdiat – yang baru menjabat periode 2023–2028 – resmi mengajukan pengunduran diri. Wali Kota Yamin membenarkan surat mundur itu diterima pada 17 Mei 2025 dan disetujui pada 12 Juni 2025, dengan alasan utama kondisi keluarga. Secara formal, alasan itu sah dan normatif. Namun, di mata publik, pengunduran diri di tengah jalan setelah komisaris-komisaris sebelumnya dicopot menambah daftar tanda tanya: apakah ini murni soal keluarga, atau bagian dari perombakan politik yang lebih besar?
Puncaknya terjadi pada awal November. Melalui RUPS Luar Biasa pada 5–6 November 2025, seluruh jajaran direksi PAM Bandarmasih – dari Direktur Utama hingga direktur lainnya – diberhentikan serentak. Komisaris Utama Edy Wibowo menyebut keputusan itu sebagai bentuk “penyegaran manajemen” setelah evaluasi menyeluruh terhadap kinerja, terutama terkait gangguan distribusi air bersih dan tingginya kebocoran air yang tak kunjung tertangani. Sekretaris Umum PAM Bandarmasih, Zulbadi, kemudian ditunjuk sebagai Plh Direktur Utama sambil menunggu lelang jabatan direksi baru.
Di atas kertas, alasan resmi komisaris memang tampak teknokratis: pelayanan belum optimal, kebocoran tinggi, dan keluhan pelanggan terus berulang. Data sebelumnya menunjukkan tingkat kehilangan air (non-revenue water) di PAM Bandarmasih masih berada di kisaran 20 persen, sehingga manajemen menyiapkan program peremajaan perpipaan untuk menekan kebocoran ini. Perusahaan juga menangani sekitar 170–180 ribu pelanggan dengan porsi besar pelanggan golongan sosial yang masih disubsidi.
Namun, bagi Dr Uhaib, rangkaian pencopotan beruntun itu tidak bisa dibaca sekadar sebagai “penyegaran manajemen”. Ia melihat pola yang jauh lebih politis: pembersihan orang-orang lama dan penempatan figur-figur yang dekat dengan kekuasaan baru.
“Saya akan memberikan komentar mengenai kebijakan Wali Kota M. Yamin bersih-bersih di perusahaan daerah PT PAM Bandarmasih. Pertanyaannya, apakah ini lompatan kinerja atau justru lompatan patronase melalui kebijakan penggantian orang-orang yang notabene dianggap ‘ternakan’ wali kota sebelumnya, Ibnu Sina, lalu diganti dengan orang-orang Yamin?” ujar Uhaib.
Uhaib menyoroti bagaimana “orang-orang Ibnu” yang sebelumnya mengisi jajaran komisaris dan direksi nyaris hilang tanpa jejak, sementara publik membaca bahwa figur-figur baru di perusahaan ini banyak yang berelasi dekat secara politik maupun personal dengan Wali Kota yang sekarang. Menurutnya, di sinilah relasi kuasa mulai kentara: perusahaan daerah dijadikan ladang penempatan loyalis.
Ia kemudian menarik paralel dengan dinamika di rumah sakit daerah dan BUMD lain – di mana, menurut dia, juga terjadi praktik serupa “ternak jabatan”, meski dalam tulisan ini fokusnya tetap pada PAM Bandarmasih. “Baik Ibnu Sina maupun Yamin sama-sama menggunakan pola patronase bisnis dan patronase politik. Ini yang dalam teori ekonomi-politik disebut sebagai bentuk relasi kuasa: menggunakan kewenangan formal untuk ‘memelihara’ orang-orang tertentu di instansi strategis,” tegasnya.
Uhaib menilai, jika dibiarkan, pola seperti ini akan menggeser fungsi perusahaan daerah dari aset publik menjadi alat konsolidasi kekuasaan. Padahal, dalam kerangka good corporate governance, ada tiga pilar kunci yang justru harus dikedepankan: transparansi, akuntabilitas, dan partisipasi publik.
“Teori good corporate governance itu menekankan keterbukaan informasi, mekanisme pertanggungjawaban yang jelas, serta ruang partisipasi pemangku kepentingan. Bukan menempatkan orang berdasarkan kedekatan politik atau keluarga. Jangan menjadikan PT PAM Bandarmasih sekadar peralatan membangun patronase bisnis dan patronase politik,” ujar Uhaib.
Ia mengingatkan bahwa perusahaan air minum adalah jantung layanan dasar kota. Dengan tingkat kebocoran air yang masih tinggi, jaringan pipa berusia puluhan tahun, dan masih seringnya gangguan distribusi di beberapa wilayah pinggiran, seharusnya fokus utama pemegang saham dan komisaris adalah memperkuat investasi jaringan, efisiensi operasional, dan inovasi pelayanan – bukan sibuk bongkar pasang jabatan demi memuaskan lingkaran kekuasaan.
“Ini saya mengkritik kebijakan seperti ini dan itu juga kritik dari publik. Saya sebagai pengamat politik paham betul bagaimana posisi jabatan dan kekuasaan dipakai untuk peternakan politik dan peternakan bisnis di lembaga-lembaga daerah. Selama itu bertentangan dengan keyakinan akademik saya, akan saya kritik, siapapun penguasanya,” kata Uhaib.
Lebih jauh ia mengingatkan, Indonesia adalah negara demokrasi, bukan negara keluarga. Karena itu, standar etik yang harus dijadikan acuan bukanlah loyalitas sempit, tetapi fairness dan kepatutan. Penunjukan komisaris dan direksi di BUMD idealnya melalui proses seleksi terbuka, kriteria profesional yang jelas, serta diumumkan secara transparan kepada publik – termasuk rekam jejak dan potensi konflik kepentingan kandidat.
Uhaib menutup kritiknya dengan seruan agar PT PAM Bandarmasih dikembalikan ke rel yang benar: sebagai aset strategis daerah untuk meningkatkan kesejahteraan warga Banjarmasin, memperkuat Pendapatan Asli Daerah, dan menjamin hak masyarakat atas air bersih, bukan menjadi “ternak politik” bagi siapapun yang sedang berkuasa di Balai Kota.
“Ini negara demokrasi, bukan family state. Transparansi, akuntabilitas, dan fairness harus menjadi parameter etis untuk memajukan daerah. Kalau BUMD terus dijadikan alat patronase, yang dirugikan bukan hanya perusahaan, tapi juga warga yang setiap hari menunggu air mengalir di kran rumahnya,” pungkasnya. (sfr/KPO-3)














