Oleh : Ahmad Syawqi
Pustakawan UIN Antasari Banjarmasin
Di momen Hari Anak Sedunia 20 November 2025, kita kembali diingatkan bahwa anak bukan hanya penerima perkembangan teknologi, tetapi juga pihak yang paling rentan terhadap dampaknya. Tema global “My Day, My Rights” seharusnya menjadi landasan bahwa anak memiliki hak untuk dilindungi, didengar, dan dibimbing dalam setiap aspek kehidupannya—termasuk kehidupan digital. Namun kenyataannya, di tengah ledakan platform digital, algoritma, dan arus konten tanpa henti, suara anak semakin sulit terdengar. Mereka hadir di dunia digital, tetapi tidak selalu hadir dalam kebijakan, pengawasan, dan ekosistem yang melibatkan mereka.
Kita hidup pada zaman ketika anak lebih banyak berinteraksi dengan layar daripada dengan lingkungan sosial mereka. Mereka belajar, bermain, bersosialisasi, bahkan mengembangkan jati diri dalam ruang-ruang digital yang didominasi oleh kepentingan industri teknologi. Di balik aplikasi yang tampak ramah anak, terdapat algoritma yang mengatur apa yang mereka lihat, konsumsi, dan percayai—sering kali tanpa mereka sadari. Ketika ruang itu menjadi terlalu bising, terlalu cepat, dan terlalu padat, suara anak pun tenggelam.
Anak sebagai “Target Pasar”
Selama beberapa tahun terakhir, industri teknologi besar menjadikan anak sebagai segmen pasar strategis. Aplikasi video pendek, gim daring, platform belajar digital, hingga chatbot AI untuk anak, seluruhnya berlomba memperebutkan perhatian mereka. Ini bukan sekadar kompetisi konten, tetapi kompetisi “waktu layar” yang amat berharga. Semakin lama anak menatap layar, semakin besar data yang dikumpulkan tentang mereka, semakin presisi pula iklan atau konten yang diarahkan kepada mereka.
Di sinilah suara anak mulai hilang. Anak tidak lagi dilihat sebagai manusia yang tumbuh dan berkembang, tetapi sebagai aset data yang bisa dikomodifikasi. Mereka tidak bisa memilih apa yang ingin dilihat; algoritma-lah yang memilihkan. Mereka tidak menentukan kapan harus berhenti; notifikasi-lah yang mengingatkan untuk kembali. Bahkan preferensi mereka perlahan dibentuk oleh apa yang dianggap relevan oleh sistem, bukan oleh keinginan mereka sendiri.
Dalam konteks ini, anak bukan sekadar pengguna, tetapi objek. Hak mereka untuk menyatakan pendapat, memilih, atau menyusun ruang digitalnya sendiri tergerus oleh desain aplikasi yang tidak berpihak pada perkembangan mereka.
Risiko Daring
Saat ini anak-anak juga menghadapi sejumlah risiko yang membuat dunia digital jauh dari kata aman. Pertama, paparan konten berbahaya. Banyak platform belum mampu memfilter konten kekerasan, seksual, dan hoaks yang kerap menyelinap ke ruang anak. Peringatan “child-friendly” tidak selalu menjamin keselamatan.
Kedua, perundungan siber (cyberbullying) yang semakin meningkat. Identitas digital sering membuat anak merasa jauh lebih sensitif, lebih cepat tertekan, dan lebih rentan terhadap komentar negatif karena ruang daring tidak mengenal jam istirahat.
Ketiga, pencurian dan penyalahgunaan data anak, yang sering terjadi tanpa sepengetahuan orang tua. Data biometrik, rekaman suara, preferensi belajar, hingga lokasi perangkat adalah informasi yang sangat bernilai bagi perusahaan teknologi.
Keempat, kecanduan digital yang kini menjadi fenomena global. Keasyikan dalam dunia virtual membuat banyak anak kehilangan ritme tidur, terganggu dalam belajar, dan menurun kesehatan mentalnya.
Kita tidak bisa berharap anak menavigasi kompleksitas digital ini sendirian. Mereka membutuhkan orang dewasa yang hadir, bukan hanya secara fisik, tetapi juga secara digital.
Suara Anak dalam Kebijakan Publik
Jika melihat regulasi di banyak negara, termasuk Indonesia, perlindungan terhadap anak dalam ruang digital masih didominasi perspektif orang dewasa. Kebijakan dibuat “untuk anak”, tetapi jarang “bersama anak”. Padahal, anak adalah pengguna utama teknologi digital yang perlu didengar dan dibimbing serta mereka memiliki pengalaman langsung yang sering berbeda dari asumsi pembuat kebijakan.
Anak jarang dilibatkan dalam penyusunan pedoman keamanan digital di sekolah. Mereka jarang dimintai pandangan tentang tata kelola platform yang mereka gunakan setiap hari. Bahkan dalam forum keluarga, suara anak sering kalah oleh narasi “orang tua yang lebih tahu”.
Jika suara anak tidak dilibatkan dalam proses yang menyangkut hidup mereka, bagaimana kita bisa mengatakan bahwa teknologi digital dirancang untuk kebaikan mereka?
Persoalan anak dalam dunia digital bukan hanya soal keamanan, tetapi soal representasi. Untuk membuat ruang digital lebih aman dan manusiawi bagi anak, ada beberapa langkah strategis yang perlu dilakukan yaitu terkait Literasi Digital Keluarga, Bukan Sekadar Anak. Banyak program literasi digital terfokus pada anak, padahal aktor utama yang memutuskan akses teknologi justru orang tua. Keluarga perlu diberikan pemahaman tentang risiko algoritma, keamanan data, dan teknik pendampingan digital yang efektif.
Kemudian Pemerintah dan institusi pendidikan perlu membuat mekanisme konsultasi anak untuk setiap rancangan kebijakan publik yang melibatkan anak yang menyangkut penggunaan teknologi digital di sekolah atau lingkungan publik. Partisipasi anak bukan sekadar simbolik; mereka harus dilibatkan dalam desain, implementasi, dan evaluasi.
Di sekolah juga harus menjadi tempat pertama yang mempromosikan keamanan digital. Kurikulum harus mencakup etika teknologi, pemikiran kritis, dan keseimbangan antara dunia nyata dan dunia digital. Guru perlu mendapat pelatihan tentang pendampingan digital anak.
Melalui organisasi masyarakat, perpustakaan, komunitas literasi, dan lembaga keagamaan dapat menjadi ruang bersama bagi pendampingan digital anak. Suara anak lebih mudah didengar dalam komunitas kecil yang memberi ruang aman bagi mereka untuk menyampaikan pengalaman dan kebutuhan digitalnya.
Pada akhirnya, dunia digital bukanlah wilayah abu-abu bagi anak. Mereka hadir di dalamnya untuk bisa belajar, bermain, mencipta, dan bermimpi. Mereka bukan korban yang harus dilindungi semata, tetapi manusia muda yang harus diberi ruang untuk berbicara, menentukan pilihan, dan membangun identitas digital yang sehat.
Jika kita ingin suara anak muncul kembali, kita harus menata ulang relasi antara anak, teknologi, orang tua, sekolah, dan negara. Suara anak tidak boleh tenggelam hanya karena dunia digital terlalu bising. Justru kita perlu menciptakan ruang yang cukup tenang agar suara itu terdengar jernih.
Hari Anak Sedunia 2025 menjadi pengingat penting bahwa anak tidak boleh sekadar hadir di ruang digital sebagai angka statistik atau “pengguna aktif”. Mereka harus hadir sebagai manusia yang hak-haknya diakui, aspirasinya dihargai, dan masa depannya dilindungi. Karena pada akhirnya, dunia digital bukan hanya untuk kita tetapi terutama untuk mereka yang akan mewarisinya.










