Penulis:
Dr. Rico, S.Pd., M.I.Kom
Dosen Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UNISKA MAB Banjarmasin
Dr. Didi Susanto, S.Sos., M.I.Kom., M.Pd
Dosen Magister Administrasi Pendidikan Fakultas Pascasarjana UNISKA MAB Banjarmasin
Wakil Rektor 3 UNISKA MAB Banjarmasin
Sanjaya, M.Pd
Dosen Bimbingan Konseling Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan UNISKA MAB Banjarmasin Kabag Minat Bakat Kemahasiswaan UNISKA MAB Banjarmasin
Hari Pahlawan selalu menjadi momen ketika bangsa ini melihat kembali cermin sejarahnya. Bukan sekadar mengenang pertempuran 10 November 1945 di Surabaya, tetapi memahami energi sosial yang menyatukan rakyat dalam keberanian kolektif. Para pemuda, masyarakat biasa, ulama, perempuan, hingga anak-anak kala itu tidak sedang membela dirinya sendiri mereka membela “kita.” Semangat itu lahir dari kesadaran sosial bahwa hidup bersama hanya bisa dijaga melalui keberanian bersama. Pada titik ini, Hari Pahlawan bukan hanya tentang perang, melainkan tentang nilai kemanusiaan yang memampukan bangsa ini bertahan.
Dalam perspektif sosial, peristiwa 10 November mengajarkan bahwa kekuatan terbesar Indonesia bukan pada senjata, tetapi pada solidaritas. Emile Durkheim menyebut solidaritas sebagai inti dari “kesadaran kolektif,” sebuah kesadaran bahwa individu tidak dapat hidup terpisah dari komunitasnya. Kesadaran inilah yang membuat masyarakat Surabaya, meski berbeda suku dan latar belakang, tetap bersatu menghadapi kekuatan yang jauh lebih besar. Hari Pahlawan menegaskan bahwa masyarakat Indonesia berdiri bukan hanya karena sejarah yang sama, tetapi karena keberanian bersama untuk melanjutkan hidup sebagai satu komunitas. Solidaritas itu pula yang harus terus hidup dalam kehidupan sosial kita hari ini, terutama ketika tantangan modern membuat masyarakat semakin individualistik dan terpolarisasi.
Tantangan generasi masa kini memang jauh berbeda. Jika dahulu bangsa ini menghadapi kolonialisme, kini masyarakat menghadapi krisis kepercayaan, banjir informasi, kekacauan digital, dan melemahnya empati sosial. Namun, di balik itu semua, nilai-nilai kepahlawanan tetap relevan: keberanian mengoreksi diri, kesediaan membantu, dan kemampuan menjaga keutuhan sosial di tengah perbedaan. Spirit itulah yang hilang jika Hari Pahlawan hanya diperingati sebagai seremonial tanpa refleksi mendalam.
Secara budaya, perlawanan masyarakat Surabaya merupakan contoh bagaimana kearifan lokal menjadi kekuatan nasional. Semangat “arek-arek Suroboyo” mencerminkan karakter budaya yang spontan, tegas, dan berani mengambil risiko demi harga diri kolektif. Tetapi budaya di daerah lain pun turut memberi warna: nilai gotong royong dari Jawa, jiwa pejuang dari Aceh, solidaritas Bugis-Makassar, dan ketahanan masyarakat Kalimantan yang kukuh menjaga tanahnya. Masing-masing komunitas budaya menyumbang energi kepahlawanan yang membuat Indonesia mampu bertahan sebagai bangsa yang plural. Dari sini kita belajar bahwa budaya bukan sekadar tradisi, tetapi kekuatan moral yang mampu mempersatukan masyarakat.
Dalam dunia yang semakin modern dan serba digital, nilai budaya ini sering kali dianggap tidak relevan. Namun jika dicermati, justru nilai gotong royong, tenggang rasa, dan kepedulian adalah pelindung utama masyarakat dari efek buruk teknologi misinformasi, perpecahan digital, dan kompetisi tidak sehat. Hari Pahlawan menjadi kesempatan bagi bangsa ini untuk kembali mengingat bahwa kekuatan budaya kita adalah modal sosial yang tidak dimiliki bangsa lain. Ketika masyarakat semakin sibuk mengejar pencapaian pribadi, nilai budaya dapat menjadi jangkar moral untuk kembali mengingat bahwa yang membuat kita kokoh adalah kebersamaan.
Dari sudut pandang filsafat, Hari Pahlawan memberi ruang refleksi tentang makna keberanian dan tanggung jawab. Friedrich Nietzsche menyatakan bahwa manusia ideal adalah mereka yang berani “menciptakan nilai baru” dan tidak takut menghadapi penderitaan demi tujuan moral yang lebih tinggi. Itulah yang dilakukan para pahlawan: mereka tidak menunggu situasi menjadi aman baru bertindak. Mereka bergerak karena sadar bahwa nilai yang diperjuangkan lebih besar dari ketakutan pribadi. Dalam konteks pendidikan dan masyarakat modern, gagasan Nietzsche ini relevan karena generasi hari ini juga dihadapkan pada tantangan yang menuntut keberanian moral kejujuran dalam akademik, integritas dalam pekerjaan, hingga keberanian menyuarakan kebenaran di ruang publik.
Sementara itu, Søren Kierkegaard berbicara tentang keberanian sebagai tindakan yang muncul meski takut. Menurutnya, manusia yang otentik adalah mereka yang tetap melangkah ketika tidak ada jaminan bahwa pilihannya akan berhasil. Semangat itu juga terlihat pada para pahlawan, dan semangat itu pula yang dibutuhkan mahasiswa, dosen, dan pendidik untuk menghadapi ketidakpastian zaman. Pendidikan bukan ruang yang steril dari ketakutan, tetapi ruang untuk belajar membangun keberanian. Generasi hari ini tidak lagi dituntut berperang, namun dituntut untuk punya kejujuran, kreativitas, dan keteguhan nilai di tengah dunia yang penuh kompromi.
Dalam perspektif pendidikan, pemikiran Ki Hajar Dewantara menempatkan pendidikan sebagai proses memerdekakan manusia lahir dan batin. Beliau menekankan bahwa pendidikan harus membentuk manusia yang mampu bertindak secara bermoral, bukan sekadar pandai secara akademik. Semangat ini sangat nyambung dengan makna Hari Pahlawan: kemerdekaan tidak mungkin dipertahankan tanpa manusia yang merdeka dalam berpikir. Hari Pahlawan mengingatkan bahwa pendidikan bukan hanya untuk “mengerti,” tetapi untuk “berbuat” dan “memberi dampak.”
Paulo Freire melanjutkan gagasan ini dengan menyatakan bahwa pendidikan adalah praktik pembebasan, bukan hanya transfer pengetahuan. Dalam pandangannya, masyarakat hanya dapat bergerak maju jika pendidikan mampu membangun kesadaran kritis terhadap realitas sosial. Semangat pembebasan ini yang dulu menggerakkan para pahlawan, dan kini harus menggerakkan dunia pendidikan di tengah tantangan digital, ketimpangan sosial, dan perubahan budaya.
Karena itu, makna Hari Pahlawan bagi generasi masa kini bukan lagi tentang peperangan, tetapi tentang bagaimana kita memahami tanggung jawab moral sebagai bagian dari komunitas yang lebih besar. Hari Pahlawan mengajak bangsa ini untuk kembali memaknai keberanian bukan sebagai aksi ekstrem, tetapi sebagai komitmen pada nilai-nilai sosial yang berdampak. Keberanian untuk jujur, berbuat baik, memimpin perubahan, dan menolak ketidakadilan adalah bentuk kepahlawanan modern yang relevan bagi masyarakat, dunia pendidikan, dan seluruh elemen bangsa.
Spirit Hari Pahlawan menegaskan bahwa bangsa ini tumbuh karena keberanian bersama untuk memperbaiki diri. Dan spirit inilah yang nantinya menjadi landasan ketika kita berbicara tentang transformasi pendidikan, termasuk perubahan paradigma menuju “Kampus Berdampak.” Sebab pahlawan tidak lahir dari ruang kosong mereka lahir dari nilai sosial, budaya, dan pendidikan yang kuat. Dengan memahami akar ini, kita dapat melangkah ke bagian berikutnya: bagaimana nilai kepahlawanan diterjemahkan dalam dunia pendidikan modern yang menuntut kampus tidak hanya mengajar, tetapi memberi manfaat nyata.
Perubahan besar dalam dunia pendidikan tidak pernah terjadi secara tiba-tiba. Ia selalu lahir dari pergulatan zaman dan kebutuhan sosial. Ketika Indonesia memperkenalkan konsep Merdeka Belajar, dunia pendidikan bergerak menuju kebebasan berpikir, fleksibilitas pembelajaran, dan pengakuan terhadap keragaman cara belajar. Namun perkembangan sosial yang semakin dinamis, kompleksnya kebutuhan masyarakat, serta tuntutan dunia industri membuat arah pendidikan harus melangkah lebih jauh. Inilah yang melahirkan jargon baru: “Kampus Berdampak.” Paradigma ini menegaskan bahwa pendidikan tinggi tidak cukup hanya membebaskan proses belajar, tetapi harus memastikan bahwa setiap proses tersebut menghasilkan perubahan nyata bagi masyarakat, dunia kerja, dan lingkungan sosial di sekitarnya.
Perubahan dari “merdeka belajar” menuju “kampus berdampak” bukan sekadar perpindahan slogan, tetapi transformasi filosofis dalam memahami peran kampus di era modern. Pendidikan tinggi tidak lagi cukup menjadi ruang akademik yang penuh teori, tetapi harus menjadi pusat inovasi, laboratorium sosial, dan penggerak perubahan. Mahasiswa tidak lagi sekadar menjadi pencari nilai, tetapi agen sosial yang dipersiapkan untuk memecahkan persoalan nyata. Dosen tidak lagi cukup sebagai pemberi materi, tetapi sebagai fasilitator transformasi pengetahuan. Kampus tidak bisa hanya menjadi bangunan megah, tetapi harus menjadi tempat lahirnya solusi yang langsung dirasakan masyarakat.
Pandangan ini selaras dengan pemikiran filsuf pendidikan John Dewey, yang mengatakan bahwa pendidikan adalah proses hidup, bukan persiapan untuk hidup. Dalam kacamata Dewey, pembelajaran hanya bermakna jika berhubungan dengan pengalaman nyata. Dengan kata lain, kampus seharusnya menjadi ruang di mana teori bertemu praktik, gagasan bertemu realitas, dan kreativitas bertemu masalah-masalah sosial. Model “kampus berdampak” sejalan dengan gagasan ini: menghubungkan pembelajaran dengan kebutuhan masyarakat dan memungkinkan mahasiswa berkontribusi secara konkrit. Ketika mahasiswa terlibat langsung dalam proyek pengabdian, riset terapan, atau kegiatan sosial, mereka tidak hanya memahami ilmu; mereka mempraktikkannya dan mengubah realitas.
Sementara itu, pemikiran Paulo Freire memberikan landasan kritis bagi paradigma baru ini. Freire menekankan bahwa pendidikan harus membangun kesadaran kritis agar seseorang mampu membaca realitas dan bertindak untuk memperbaikinya. Dalam konteks kampus berdampak, mahasiswa tidak cukup hanya belajar teori komunikasi, bisnis, teknologi, kesehatan, atau ilmu sosial; mereka harus mampu menganalisis masalah-masalah di komunitasnya dan menghasilkan tindakan yang relevan. Pendidikan yang membebaskan selalu menuntut keberanian untuk menghadapi ketidakadilan, ketimpangan, atau tantangan sosial yang dialami masyarakat. Kampus berdampak hadir sebagai ruang untuk itu: ruang pembentukan kemampuan analisis, aksi sosial, keberanian moral, dan kepekaan terhadap keadaan sekitar.
Di sisi lain, Jürgen Habermas menegaskan pentingnya tindakan komunikatif dan ruang publik kritis. Pendidikan tidak hanya mencetak tenaga kerja, tetapi mencetak warga negara yang mampu berkomunikasi secara rasional, berdialog, dan mencari solusi melalui kesalingpahaman. Kampus berdampak idealnya menyediakan ruang dimana dialog kritis, riset berbasis problem, kolaborasi antar-disiplin, dan diskusi etik bisa berkembang. Mahasiswa dilatih bukan hanya untuk pintar, tetapi untuk peduli; bukan hanya untuk mahir, tetapi untuk bertanggung jawab; bukan hanya untuk mampu bekerja, tetapi untuk mampu memimpin perubahan sosial di wilayah tempat mereka hidup.
Kehadiran konsep kampus berdampak menjawab berbagai persoalan mendesak di dunia pendidikan. Banyak kampus selama ini dinilai terlalu akademis, terlalu jauh dari realitas masyarakat, dan terlalu birokratis dalam pengabdian. Padahal salah satu inti dari pendidikan tinggi adalah memberikan manfaat. Ketika mahasiswa tidak mampu beradaptasi dengan dunia kerja, ketika kampus tidak punya kontribusi signifikan pada penyelesaian masalah lokal, atau ketika riset hanya berhenti di rak perpustakaan tanpa aplikasi nyata, maka pendidikan kehilangan ruhnya. Kampus berdampak hadir sebagai koreksi terhadap kondisi ini: kampus yang benar-benar hadir di tengah masyarakat, menjawab persoalan, dan mempercepat kemajuan daerah.
Kampus berdampak juga menuntut transformasi cara belajar generasi muda. Mahasiswa hari ini hidup di era digital, era di mana kemampuan berpikir kritis, soft skills, literasi digital, dan sensitivitas sosial sangat dibutuhkan. Mereka bukan hanya bersaing di pasar kerja lokal, tetapi di arena global. Karena itu, kampus harus membekali mereka dengan pengalaman nyata: magang, projek sosial, riset lapangan, inovasi digital, dan kolaborasi lintas sektor. Pendidikan menjadi jembatan yang menghubungkan generasi muda dengan dunia nyata. Dan melalui jembatan itu, kampus menciptakan dampak yang dapat dirasakan bukan hanya oleh mahasiswa, tetapi juga masyarakat.
Tentu transformasi ini juga menuntut perubahan pada dosen dan lembaga. Dosen tidak lagi cukup memberi ceramah; mereka harus memfasilitasi pengalaman belajar yang relevan dan bermakna. Mereka harus menjadi mentor, pendamping intelektual, dan pemantik kreativitas. Kampus harus mengelola riset secara strategis, bukan hanya demi akreditasi atau publikasi, tetapi demi menyelesaikan persoalan daerah seperti kemiskinan, literasi digital rendah, masalah ekologi, dan dinamika sosial budaya. Kampus harus memperkuat kolaborasi dengan pemerintah daerah, dunia industri, UMKM, lembaga sosial, dan komunitas lokal. Semakin dekat kampus dengan masyarakat, semakin kuat dampaknya.
Konsep kampus berdampak juga menegaskan bahwa kepahlawanan modern tidak diukur dari keberanian di medan perang, tetapi dari keberanian memberi manfaat nyata. Mahasiswa yang jujur, dosen yang ikhlas, peneliti yang berdedikasi, atau tenaga kependidikan yang bekerja dengan integritas semua adalah pahlawan. Di tengah era digital yang penuh distraksi, perjuangan terbesar adalah menjaga nilai moral dan berkontribusi pada masalah nyata. Seorang mahasiswa yang memilih untuk riset yang relevan, seorang dosen yang memilih untuk terjun dalam pengabdian, atau sebuah kampus yang memutuskan untuk hadir bagi masyarakat adalah bentuk kepahlawanan yang tidak kalah penting dibanding sejarah 10 November.
Pada akhirnya, kampus berdampak bukan hanya kebijakan baru, tetapi panggilan moral bagi dunia pendidikan. Setiap institusi pendidikan harus bertanya: Siapa yang kita layani? Apa manfaat kampus bagi masyarakat? Apakah mahasiswa kita benar-benar siap menghadapi realitas? Di titik ini, spirit Hari Pahlawan menemukan bentuk modernnya: keberanian untuk bertindak, memajukan masyarakat, dan menjaga nilai kemanusiaan melalui pendidikan. Dan inilah yang akan menjadi jembatan menuju pembahasan berikutnya: bagaimana UNISKA MAB Banjarmasin memaknai dan menerjemahkan paradigma ini dalam identitas, visi-misi, dan kiprah akademiknya sebagai kampus besar di Kalimantan.
UNISKA MAB Banjarmasin berdiri sebagai salah satu perguruan tinggi swasta terbesar di Kalimantan Selatan, bukan hanya dalam jumlah mahasiswa, tetapi juga dalam pengaruh sosialnya. Kampus yang menyandang nama besar Syekh Muhammad Arsyad Al-Banjari ini telah menjadi pusat pendidikan bagi ribuan generasi muda dari berbagai kabupaten, budaya, dan latar sosial. Di tengah perubahan arah pendidikan nasional menuju paradigma “Kampus Berdampak,” posisi strategis UNISKA menjadi semakin signifikan. Kampus sebesar ini bukan hanya institusi akademik; ia adalah ruang peradaban, tempat nilai, ilmu, dan identitas masyarakat Kalimantan dirawat dan ditumbuhkan. Karena itu, pertanyaan mendasar bagi UNISKA hari ini bukan lagi “berapa banyak mahasiswa yang kita miliki,” tetapi “seberapa besar dampak yang bisa kita hasilkan bagi masyarakat, daerah, dan peradaban.”
Visi dan misi UNISKA MAB sejalan dengan arah baru pendidikan tinggi: membentuk sumber daya manusia yang islami, unggul, profesional, dan berkontribusi bagi masyarakat. Nilai keislaman yang diusung kampus tidak hanya berhenti pada ritual atau moralitas individual, tetapi pada prinsip kemuliaan hidup, keadilan sosial, integritas, dan kebermanfaatan. Di sinilah konsep kampus berdampak menemukan konteks lokalnya. UNISKA mengemban amanah ganda: sebagai institusi pendidikan modern dan sebagai institusi yang membawa nilai-nilai keislaman yang harus diwujudkan dalam bentuk nyata—bukan hanya diajarkan dalam ruang kelas.
Spirit Hari Pahlawan memberikan kerangka moral yang kuat bagi UNISKA dalam menjalankan misinya. Seperti para pejuang yang mengorbankan tenaga dan pikiran untuk melindungi bangsa, kampus juga berperan sebagai benteng terakhir peradaban. Para pahlawan dahulu menghadapi ancaman penjajahan, sedangkan kampus hari ini menghadapi ancaman pengikisan nilai, ketimpangan digital, rendahnya literasi masyarakat, dan tantangan globalisasi. Namun esensi perjuangannya tetap sama: keberanian untuk mengambil peran. Kampus yang berdampak adalah kampus yang berani masuk ke ruang-ruang ketidakpastian sosial, bukan hanya bersandar pada reputasi akademik, melainkan pada kontribusi konkret yang dirasakan masyarakat.
Pada aspek sosial dan budaya, UNISKA memiliki kekuatan yang unik. Mahasiswa kampus ini datang dari berbagai latar budaya: Banjar, Dayak, Jawa, Bugis, Madura, Sunda, hingga berbagai kelompok urban yang kini membanjiri Kota Banjarmasin dan Banjarbaru. Keberagaman ini merupakan potensi besar dalam membangun ruang dialog, toleransi, dan sensitivitas budaya—komponen utama dalam menjadi kampus berdampak. Ketika mahasiswa belajar di lingkungan yang heterogen, mereka akan lebih siap menghadapi dunia kerja yang juga penuh dinamika. Dengan memperkuat budaya akademik yang kolaboratif, inklusif, dan humanis, UNISKA dapat melahirkan lulusan yang tidak hanya cerdas secara kognitif, tetapi juga matang secara sosial dan etis.
Di sisi pendidikan, tantangan terbesar kampus modern bukan sekadar menyediakan kurikulum yang relevan, tetapi menciptakan pengalaman belajar yang transformatif. UNISKA memiliki kesempatan besar untuk menerjemahkan konsep kampus berdampak menjadi kebijakan internal yang konkret: mendorong riset terapan untuk masalah lokal Kalimantan Selatan, menguatkan kegiatan pengabdian masyarakat yang benar-benar menyelesaikan persoalan, memperkuat kerja sama dengan pemerintah daerah dan industri, serta memastikan mahasiswa mendapatkan pengalaman lapangan yang relevan dengan kebutuhan dunia kerja dan kebutuhan masyarakat. Dengan orientasi ini, kampus bukan hanya mencetak lulusan, tetapi mencetak agen perubahan.
Peran Prodi Ilmu Komunikasi UNISKA secara khusus menjadi sangat strategis. Di era informasi, krisis terbesar masyarakat bukan kurangnya data, tetapi kurangnya kemampuan memilah, memahami, dan mengelola informasi. Hoaks, polarisasi, ujaran kebencian, dan banjir konten menjadi tantangan utama. Mahasiswa komunikasi harus dipersiapkan bukan hanya sebagai profesional media, tetapi sebagai pemanik perubahan sosial, penjaga etika publik, dan aktor yang mampu menjembatani perbedaan. Spirit kepahlawanan modern muncul dalam keberanian menjaga integritas informasi, keberanian menyuarakan kebenaran, dan kemampuan membangun komunikasi yang menyejukkan saat konflik meluas.
Selain itu, UNISKA dapat memanfaatkan potensi digital untuk memperluas dampaknya. Kegiatan riset dapat dipublikasikan dalam format populer agar lebih mudah dipahami masyarakat. Program pengabdian masyarakat bisa dikemas dalam bentuk kampanye edukasi digital yang kreatif. Kolaborasi dengan industri kreatif dan pemerintah daerah juga dapat membuka ruang inovasi komunikasi yang lebih besar. Ketika kampus mulai muncul sebagai sumber informasi terpercaya, ruang publik digital di Kalimantan akan lebih sehat dan produktif. Inilah bentuk kontribusi nyata yang dapat dihasilkan dari sinergi ilmu komunikasi dengan visi kampus berdampak.
Namun menjadi kampus berdampak bukan tanpa tantangan. Banyak kampus besar tumbang karena terlalu fokus pada administrasi dan lupa pada esensi pendidikan. Ada kampus yang sibuk dengan akreditasi tetapi lupa bahwa masyarakat tidak bertanya “berapa nilai akreditasinya,” melainkan “apa manfaat kampus ini bagi hidup kami.” UNISKA harus menghindari jebakan itu. Kampus berdampak berarti kampus yang berani merefleksikan dirinya—berani mengakui kekurangan, berani berbenah, dan berani mengutamakan kebermanfaatan daripada pencitraan. Di sinilah semangat kepahlawanan diterjemahkan dalam konteks lembaga: keberanian mengambil keputusan strategis demi kemajuan generasi muda.
Dalam perspektif filsafat, kampus berdampak dapat dilihat sebagai bentuk tanggung jawab moral, seperti yang dijelaskan oleh Emmanuel Levinas bahwa “tanggung jawab adalah esensi kemanusiaan.” Kampus yang berdampak tidak hanya bertanya tentang dirinya, tetapi tentang “yang lain”—masyarakat, daerah, dan generasi yang akan datang. Dengan menempatkan tanggung jawab sebagai inti dari pendidikan, UNISKA akan menjadi institusi yang tidak hanya besar dalam jumlah mahasiswa, tetapi besar dalam kontribusi moral dan sosialnya.
Menutup refleksi ini, spirit Hari Pahlawan menjadi energi yang dapat membimbing UNISKA MAB dalam menyongsong masa depan. Kepahlawanan modern bukan lagi tentang mengangkat senjata, tetapi tentang keberanian menghasilkan perubahan, keberanian memberi manfaat, dan keberanian menjaga integritas di tengah derasnya arus globalisasi. UNISKA sebagai kampus besar di Kalimantan memiliki kapasitas untuk menjadi cahaya bagi masyarakat, menjadi pelopor inovasi, dan menjadi ruang yang melahirkan generasi yang tidak hanya cerdas, tetapi juga berdampak.
Jika para pahlawan dahulu mengorbankan hidup demi kemerdekaan, maka kampus hari ini berjuang melalui ilmu, karakter, dan aksi sosial. Dengan pendidikan yang berorientasi pada dampak, UNISKA MAB bukan hanya melahirkan lulusan, tetapi melahirkan pahlawan masa kini mereka yang berani memperbaiki dunia, mulai dari lingkungan terdekatnya.
“Jika kita ingin melihat masa depan yang lebih baik, maka kitalah yang harus menciptakannya.” (Rico, Susanto, Sanjaya 2025)










