Kalimantan Post - Aspirasi Nusantara
Baca Koran
Space Iklan
Space Iklan
Iklan Utama
Opini

Sudan Membara: Eksploitasi SDA dan Hegemoni Barat di Negeri Muslim

×

Sudan Membara: Eksploitasi SDA dan Hegemoni Barat di Negeri Muslim

Sebarkan artikel ini

Oleh : Sala Nawari
Pemerhati Sosial Kemasyarakat

Sudan kembali menjadi sorotan dunia internasional. Konflik bersenjata yang tak kunjung padam telah memaksa jutaan warga sipil mengungsi, disertai rentetan pembunuhan brutal, penyerangan fasilitas kesehatan, hingga pemerkosaan sebagai senjata perang. Situasi ini memperlihatkan salah satu krisis kemanusiaan terpanjang dan paling memilukan di dunia modern—ironisnya terjadi di sebuah negara yang sangat kaya, baik sejarah maupun sumber daya alamnya.

Kalimantan Post

Sudan adalah negara terbesar ketiga di Afrika dengan mayoritas penduduk Muslim. Negeri ini memiliki lebih banyak piramida dibanding Mesir dan aliran Sungai Nil yang lebih panjang. Sudan juga tercatat sebagai produsen emas terbesar di dunia Arab. Namun seluruh kekayaan strategis ini berbanding terbalik dengan penderitaan panjang warganya. Selama puluhan tahun, Sudan seperti “terkutuk” dalam siklus konflik, kemiskinan, dan ketidakstabilan.

Padahal, akar masalah utamanya bukan semata konflik etnis atau perebutan kekuasaan internal. Ada kepentingan besar yang turut berkelindan: hegemoni politik dan ekonomi negara adidaya yang memandang Sudan sebagai ladang eksploitasi yang amat menggiurkan.

Kepentingan Geopolitik

Sudan terletak di jalur strategis antara Afrika Utara, Timur Tengah, dan Laut Merah—jalur perdagangan internasional yang dilewati 10% logistik global. Posisi ini menjadikan Sudan target perebutan pengaruh kekuatan global, terutama Amerika Serikat dan Inggris, serta sekutu-sekutu regionalnya seperti UEA dan Israel.

Dalam berbagai analisis geopolitik, konflik di Sudan bukanlah insiden yang berdiri sendiri. Ada konstruksi geopolitik yang lebih luas bernama proyek “Timur Tengah Baru”—agenda yang bertujuan merapikan ulang peta politik kawasan agar sejalan dengan kepentingan ekonomi dan keamanan negara-negara adidaya. Sudan memainkan peran penting dalam proyek tersebut, sehingga akses atas pemerintahannya dan kontrol terhadap SDA menjadi taruhannya.

Emas Sudan, cadangan minyak, serta keunggulan lahan pertanian subur sepanjang Sungai Nil telah lama dibidik perusahaan-perusahaan asing. Bahkan, beberapa laporan menunjukkan keterlibatan langsung perusahaan pertahanan dan pertambangan internasional dalam pendanaan kelompok bersenjata untuk memperkuat akses mereka terhadap tambang emas di Darfur dan wilayah lainnya.

Baca Juga :  Masjidi Al Aqsho Terancam Runtuh Akibat Penggalian Terowongan

Dengan demikian, Sudan bukan sekadar korban konflik internal. Negeri ini sedang menjadi arena perebutan hegemoni global yang menggunakan instrumen politik lokal sebagai pion.

Netral atau Berpihak?

Konflik Sudan juga memperlihatkan kenyataan pahit tentang bagaimana hukum dan lembaga internasional bergerak dalam logika kepentingan negara-negara besar. PBB dan organisasi internasional lain sering kali hadir dengan retorika kemanusiaan, tetapi intervensi yang dilakukan tidak menyentuh akar persoalan. Bahkan, embargo, tekanan diplomatik, serta penunjukan mediator sering bersifat selektif dan penuh standar ganda.

Kondisi ini menegaskan bahwa aturan internasional bukanlah arena netral. Ia dibangun dan dikendalikan dalam kerangka menjaga dominasi politik, ekonomi, dan militer negara-negara adidaya. Ketidakadilan struktural ini menjadi salah satu faktor yang membuat negeri-negeri Muslim seperti Sudan sulit bangkit dari keterpurukan.

Selama arsitektur global masih didesain untuk melanggengkan ketergantungan, maka sumber daya alam Sudan akan terus mengalir keluar, sementara rakyatnya tetap terjebak dalam kemiskinan dan konflik.

Potret Keterpecahan Islam

Sudan hanyalah satu dari sekian banyak negeri Muslim yang kaya sumber daya tetapi terus dilanda konflik dan intervensi asing. Irak, Suriah, Libya, Yaman, hingga Palestina mengalami pola serupa: sumber daya alam melimpah, posisi geografis strategis, namun menjadi objek perebutan kepentingan global.

Masalah utamanya adalah keterpecahan politik dunia Islam. Tiap negara berjalan sendiri, bahkan tak jarang terjebak dalam rivalitas sesama bangsa Muslim yang dimanfaatkan pihak luar. Akibatnya, umat Islam tidak memiliki kekuatan kolektif untuk melawan eksploitasi dan dominasi negara adidaya.

Selama negeri-negeri Muslim tetap terpisah dalam sistem negara bangsa warisan kolonialis, mereka akan terus berada dalam posisi lemah dalam percaturan internasional. Inilah yang tampak jelas dalam tragedi berkepanjangan di Sudan.

Baca Juga :  Sudan Menanti Pertolongan

Membangun Kesadaran Umat

Krisis Sudan harus menjadi momentum untuk meningkatkan kesadaran politik umat Islam. Umat perlu melihat persoalan global bukan hanya sebagai konflik antar kelompok bersenjata atau kegagalan pemerintah lokal, tetapi sebagai bagian dari perang peradaban antara ideologi global—yang satu mengejar dominasi dan eksploitasi, dan yang lain menawarkan keadilan dan kemaslahatan universal.

Islam sebagai ideologi memiliki sistem politik yang lengkap untuk mengatur hubungan antarnegara, mengelola kekayaan alam, serta menjamin keamanan dan kesejahteraan seluruh warganya. Khilafah dalam sejarah telah memainkan peran strategis dalam menjaga stabilitas kawasan dan mencegah intervensi asing di negeri-negeri Muslim.

Kesadaran ini harus tumbuh sebagai motivasi iman, bukan sekadar romantisme sejarah. Umat membutuhkan persatuan politik yang solid untuk menghentikan siklus penderitaan seperti yang terjadi di Sudan. Tanpa payung politik yang kuat, kekayaan umat akan terus dirampas dan darah kaum muslimin akan terus tertumpah.

Harapan untuk Sudan

Situasi Sudan merupakan potret ketidakadilan global yang dialami umat Islam hari ini. Negeri yang Allah karuniakan kekayaan melimpah justru menjadi medan derita akibat perebutan kepentingan asing dan lemahnya posisi politik dunia Islam.

Sudan membutuhkan solusi mendasar—bukan sekadar gencatan senjata atau pergantian aktor kekuasaan, tetapi transformasi sistemik yang mampu memutus ketergantungan pada hegemoni negara adidaya. Kesadaran kolektif umat Islam tentang pentingnya persatuan dan penerapan sistem Islam adalah kunci yang tidak boleh lagi diabaikan.

Saatnya umat tidak hanya menjadi penonton tragedi, tetapi bangkit sebagai pelaku utama perubahan. Sudan menyerukan kepada kita semua bahwa persatuan umat dalam naungan kepemimpinan yang berpihak kepada Islam dan kaum Muslimin bukan hanya idealisme, tetapi sebuah kebutuhan sejarah yang mendesak—agar rahmat Allah kembali menaungi bumi dan bangsa-bangsa Muslim terbebas dari tirani penjajahan modern.

Iklan
Iklan