Oleh : Nailah, ST
Pemerhati Sosial Politik
Pada 26 Oktober 2025, Al-Fasher, ibu kota negara bagian Darfour Utara daerah barat Sudan, menjadi saksi pembantaian 2.227 rakyat sipil tidak berdosa dan pengusiran 393 ribu warganya oleh Pasukan Dukungan Cepat (RSF). Pasukan yang dikomandoi Jenderal Mohamed Hamdan Dagalo ini berhasil memukul mundur tentara Sudan dan merebut ibu kota setelah pengepungan selama lebih 18 bulan.
Krisis Sudan sebetulnya sudah berlangsung lama dan bukan murni konflik etnis tapi ada keterlibatan negara adidaya (AS) dan Inggeris yang melibatkan negara2 bonekanya (zionis dan UEA) terkait rebutan pengaruh politik (proyek timur tengah baru AS) demi kepentingan perampokan SDA yg melimpah ruah.
Sejatinya, AS-lah yang memulai perang di Sudan. AS menggerakkan para agen dan alatnya di Sudan untuk mendukung pihak-pihak tertentu dan menjaga agar bara perang tetap menyala selama dua setengah tahun sehingga mengusir semua pihak dan memegang kendali penuh atas isu ini.
Sejarah kolonial Sudan
Latar belakang sejarah kolonialisme Sudan penting untuk dipahami, termasuk sejarah pemerintahan di wilayah Sudan itu sendiri. Inggris menjajah Sudan pada 1899.
Pasukan Inggris-Mesir mampu sepenuhnya membangun eksistensi dan pengaruh mereka di koloni Sudan. Secara teori, Mesir berbagi peran pemerintahan, tetapi dalam praktiknya, struktur Kondominium memastikan kendali penuh Inggris atas Sudan.
Para gubernur dan inspektur biasanya adalah perwira Inggris, meskipun secara teknis bertugas di Angkatan Darat Mesir, dan tokoh-tokoh kunci dalam pemerintahan dan pegawai negeri sipil selalu lulusan universitas dan sekolah militer Inggris. Hal ini pada akhirnya menjadi mekanisme yang digunakan Inggris untuk mengendalikan Sudan hingga pembentukan negara Sudan yang berdaulat dan merdeka pada 1 Januari 1956.
Petualangan Amerika di Sudan sejak perusahaan minyak Amerika, Chevron, yang menemukan cadangan minyak di Distrik Bentiu, Sungai Nil HuHul. Amerika yang ingin turut membangun pengaruh ekonomi dan politik, baik di Sudan sendiri, maupun di kawasan Timur Tengah melalui pengaruh politiknya di Sudan.
Tentu saja keterlibatan AS dalam konflik Sudan ini dilatarbelakangi oleh pertimbangan kepentingan nasional, seperti potensi AS sebagai salah satu penerima minyak bumi terbesar dari Sudan Selatan, serta kepentingan regional yang lebih luas.
Intervensi AS selalu dilakukan dengan dalih mendukung transisi demokrasi di Sudan dan berupaya membangun pemerintahan sipil sebagai simbol keberhasilan demokratisasi. Setidaknya ada dua peperangan besar sebelum terjadinya pemisahan Sudan Selatan pada 2011, yaitu Perang Sudan Pertama (1955–1972), yakni upaya pemberontakan Sudan Selatan atas kontrol Utara, serta Perang Sudan Kedua (1983–2005) yang antara lain dipicu pemberlakuan syariat Islam di seluruh negeri oleh pemerintahan Utara.
Target Pelemahan Barat
Sejak tampil sebagai pemimpin kapitalisme global, AS tentu tidak ingin membiarkan Inggris menjadi saingan. Berbagai upaya dilakukan untuk menyingkirkan pengaruh politik Inggris dan anteknya, termasuk di wilayah Sudan. Motifnya sangat jelas, yakni penguasaan sumber daya alam dan merealisasikan mimpinya membangun hegemoni politik di bawah tagline Proyek Timur Tengah Baru dengan menjadikan negara hoaks Zion*s Israel sebagai jangkar. Apalagi AS melihat bahwa dari rahim krisis Sudan telah lahir faksi-faksi Islam yang menyuarakan penerapan syariat Islam,
Terbaru, AS berupaya mengikat negara-negara tersebut dengan perjanjian Abraham Accord yang intinya menormalisasi hubungan mereka dengan Zion*s Israel mengikuti Mesir dan Yordania. Negara yang sudah berhasil diikat adalah Uni Emirat Arab (UEA) dan Bahrain. Sementara itu, Sudan sendiri sudah masuk dalam Perjanjian Abraham pada Januari 2021. Namun, ketidakstabilan di Sudan telah menunda keputusan negara tersebut untuk menandatangani perjanjian bilateral penuh untuk menormalisasi hubungan secara resmi dengan Israel.
Situasi politik Sudan memang sangat pelik, namun di balik itu semua, sesungguhnya ada alasan lain yang berkelindan dalam konflik, yakni perebutan kendali atas sumber-sumber emas dan sumber daya lain di berbagai wilayah Sudan.
Oleh sebab itu sebagaimana skenario pemisahan Sudah Selatan dari utara, target konflik ini adalah memecah lagi wilayah Sudan yang tersisa dengan garis timur dan barat sehingga wilayah Darfour (Sudan bagian barat) terpisah dari Karthoum (Sudan Utara). Dengan cara ini tentu akan makin lemahlah persatuan umat Islam, makin mudah pula penjajahan, serta makin mudah mengalienasi potensi Islam yang masih kuat di Sudan.
Narasi menyesatkan
Sebagaimana Gaza, rakyat Sudan tengah mengalami penderitaan luar biasa. Mereka menjerit meminta tolong kepada kita saudara muslimnya. Mereka nyaris putus asa berharap pada para penguasa muslim dunia yang hanya peduli pada kursi kekuasaannya.
Selama ini, dunia termasuk umat Islam, telah dibodoh-bodohi dengan propaganda krisis Sudan sebagai konflik etnis atau perang saudara. Alhasil, mereka begitu tega membiarkan rakyat Sudan menderita dalam jangka waktu yang sangat lama. Hal ini adalah akibat bercokolnya nasionalisme yang dicekokkan penjajah pada mereka. Hingga solidaritas seagama pun nyaris hilang tidak bersisa. Padahal, faktanya krisis Sudan adalah skenario licik negara adidaya yang melibatkan negara-negara boneka dan antek lainnya. Targetnya adalah perebutan pengaruh politik yang ujung-ujungnya demi merampok sumber daya alam di Sudan yang begitu melimpah ruah.
Bahkan bukan hanya di Sudan. Hal yang sama sesungguhnya juga terjadi di wilayah lainnya, terutama di negeri-negeri muslim Afrika. Inilah potret umat Islam di bawah cengkeraman kepemimpinan sistem sekuler kapitalisme global. Mereka menjadi korban kerakusan negara-negara adidaya, dan dipecah belah atas nama negara bangsa dengan para penguasa bonekanya. Lalu mereka pun dijauhkan dari identitas Islam yang sejatinya menjadi kunci kemuliaan dan kebangkitan mereka. Bahkan mereka dicekoki narasi menyesatkan bahwa Islam adalah sumber penderitaan dan keterpecahbelahan.
Apa yang harus dilakukan?
Kepada rakyat Sudan, jika kalian bertawakal kepada Allah, mohonlah pertolongan-Nya, dan lakukanlah hal-hal berikut, pertama, tolaklah setiap agen pengkhianat yang telah mengambil alih dengan membentuk pemerintahan paralel maupun dengan kelalaian menyerahkan Al-Fasher agar Pasukan Dukungan Cepat dapat menguasai seluruh wilayah Darfur.
Kedua, ia meminta agar orang-orang tulus yang ada dalam kekuasaan agar menangkap para agen dan pengkhianat. Ketiga, kerahkan seluruh energi media, mimbar-mimbar masjid, dan lainnya untuk mengungkap rencana Amerika dan mobilisasi rakyat untuk menentangnya.
Mengajak orang-orang yang tulus, para pemimpin suku, pemimpin klan, pemikir, pembuat opini, pemimpin, politisi, pengacara, dan semua tokoh terkemuka, untuk membentuk penghalang yang tidak tertembus dalam menjaga kesatuan Sudan.
Bagi kita kaum muslim di luar negeri Sudan, kita pun harus melakukan upaya membantu mereka, caranya dengan membangun kesadaran di tengah umat, baik tentang kesempurnaan Islam mulai dari konsep keimanannya dan hukum-hukumnya, serta tentang bagaimana hukum-hukum itu bisa diterapkan dan menyolusi berbagai persoalan kehidupan hingga
Kesempurnaan Islam dengan kepemimpinan umum harus ditegakkan di tengah umat. Dakwah ini tentu tidak bisa dilakukan sendirian, melainkan harus berjamaah sebagaimana yang juga Rasulullah ? contohkan. Jamaah ini harus dipastikan hanya berkhidmat demi Islam, yang anggota-anggotanya diikat hanya oleh pemikiran Islam, serta bergerak secara politik di seluruh negeri untuk mempersatukan umat Islam. InsyaAllah dngan tegaknya Islam kaffah,bersama khilafah kita akan dapat segera meberikan solusi bagi Sudan dan seluruh kaum Muslim yang telah lama menanti pertolongan.










