Oleh: Ernawati, S.Pd
Guru dan Pemerhati Kebijakan Publik
Provinsi Kalimantan Selatan (Kalsel) kembali menjadi sorotan. Realisasi investasi hingga triwulan III tahun 2025 menembus Rp92 triliun, dan seperti biasa, sektor pertambangan—terutama batu bara—masih menjadi magnet utama. Dari luar, ini tampak sebagai kabar menggembirakan: investasi deras, lapangan kerja terbuka, dan Pendapatan Asli Daerah (PAD) meningkat.
Namun di balik angka-angka indah itu, tersimpan persoalan besar: ketergantungan ekonomi terhadap tambang yang semakin mengkhawatirkan.
Batu bara telah lama menjadi tulang punggung ekonomi Kalsel. Investor datang silih berganti, proyek infrastruktur tumbuh, dan geliat ekonomi terasa hidup. Namun, siapa pun yang mau jujur harus mengakui: tambang telah menorehkan luka ekologis dan sosial yang dalam.
Lubang-lubang bekas tambang dibiarkan menganga, air sungai menghitam, lahan pertanian rusak, dan masyarakat sekitar kehilangan sumber air bersih. Ketika harga batu bara naik, keuntungan besar dinikmati korporasi; tetapi ketika harga turun, rakyat dan lingkungan yang menanggung akibatnya.
Dalam paradigma pembangunan sekuler yang berlaku sekarang, investasi dianggap sebagai mesin pertumbuhan. Selama modal masuk dan angka Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) naik, daerah dianggap berhasil. Karena itu, pemerintah daerah berlomba menarik investor tambang dengan dalih pembangunan.
Namun sistem ini hanya melihat keberhasilan dari sisi angka ekonomi, bukan dari kesejahteraan rakyat atau kelestarian lingkungan. Negara hanya berperan sebagai regulator dan penerima royalti kecil, sementara keuntungan besar dikuasai korporasi. Eksploitasi sumber daya dibiarkan atas nama pertumbuhan, tanpa mempertimbangkan dampak jangka panjang.
Paradigma sekuler menempatkan alam sebagai komoditas pasar, bukan amanah publik. Akibatnya, kekayaan alam diprivatisasi, sementara kerusakannya disosialisasikan.
Ketergantungan ekonomi pada tambang membuat daerah kehilangan kemandirian. Begitu cadangan menipis atau harga batu bara turun, ekonomi langsung lesu. Masyarakat yang semula diharapkan sejahtera justru terjebak dalam lingkaran ketimpangan: sebagian kecil menikmati hasil tambang, sementara sebagian besar merasakan dampak sosial dan ekologisnya.
Di banyak daerah tambang, petani kehilangan lahan, nelayan kehilangan sumber air, dan generasi muda kehilangan harapan. Sektor lain seperti pertanian, perikanan, dan industri kecil tertinggal jauh karena seluruh perhatian dan modal tersedot ke tambang.
Islam memiliki pandangan yang sangat berbeda dalam memandang kekayaan alam. Dalam sistem Islam, tambang termasuk kategori milik umum (milkiyah ‘ammah) yang tidak boleh dimiliki individu atau korporasi. Rasulullah ? bersabda, “Kaum Muslim berserikat dalam tiga hal: air, padang rumput, dan api (energi).” (HR. Abu Dawud dan Ibnu Majah)
Artinya, sumber daya strategis seperti batu bara, minyak, dan gas tidak boleh diserahkan pada swasta atau asing. Negara bertugas mengelola langsung sebagai amanah dari umat, sementara hasilnya dikembalikan sepenuhnya untuk kepentingan rakyat.
Dalam sistem Khilafah Islamiyah, keuntungan dari tambang masuk ke Baitul Mal (kas negara) dan digunakan untuk membiayai kebutuhan publik: pendidikan, kesehatan, jaminan sosial, dan pembangunan infrastruktur tanpa utang. Dengan begitu, kekayaan alam menjadi sumber keberkahan, bukan sumber malapetaka.
Islam juga menekankan prinsip keadilan ekologis: tidak boleh ada kerusakan lingkungan dalam proses produksi. Jika aktivitas tambang menimbulkan bahaya bagi manusia atau alam, negara wajib menghentikannya dan menuntut pertanggungjawaban pelaku. Prinsip ini sejalan dengan kaidah syariat “la dharar wa la dhir?r”—tidak boleh menimbulkan bahaya bagi diri sendiri maupun orang lain.
Kalsel tidak bisa terus-menerus menggantungkan masa depan pada batu bara. Cadangan sumber daya itu terbatas, sementara dampak kerusakannya semakin meluas. Dibutuhkan keberanian politik untuk mengubah arah pembangunan—dari ekonomi ekstraktif menuju ekonomi produktif dan berkelanjutan.
Islam menawarkan paradigma alternatif yang adil dan beradab. Ia menempatkan kekayaan alam sebagai amanah publik, bukan komoditas kapital. Negara dalam sistem Islam tidak tunduk pada kepentingan korporasi, melainkan bertanggung jawab langsung kepada rakyat dan kepada Allah.
Jika sistem ini diterapkan, potensi tambang di Kalsel tidak lagi menjadi sumber ketimpangan dan kerusakan, melainkan sarana untuk membangun kesejahteraan sejati bagi seluruh rakyat.
Hari ini, tambang masih menjadi primadona investasi di Kalsel. Tetapi “primadona” ini adalah yang penuh luka yang menguntungkan sebagian kecil, tapi meninggalkan jejak penderitaan bagi banyak orang.
Sudah saatnya kita mengubah cara pandang. Kekayaan alam bukanlah milik segelintir pemodal, melainkan amanah Allah untuk dikelola secara adil dan bertanggung jawab. Hanya dengan sistem yang berpijak pada wahyu, bukan pada nafsu kapital, potensi tambang Kalsel dapat menjadi berkah, bukan bencana.











