Oleh : Ahmad Barjie B
Penulis naskah buku “Dari Banjar Menatap Dunia”
Dulu di masa proses integrasi dan selama bergabung dengan Indonesia, hampir tiap hari ada berita dari Timor Timur. Ada berita perang dan ada berita pembangunan. Begitu juga ketika proses jajak pendapat yang berakhir dengan lepasnya Timor Timur dari Indonesia karena mayoritas rakyatnya memilih merdeka dengan nama baru yaitu Timor Leste, beritanya masih banyak. Kini pemberitaan tentang Timor Leste sudah jarang, meskipun masih ada.
Belum lama ini (26 Oktober 2025), dalam Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) ASEAN di Kuala Lumpur Malaysia, Timor Leste secara resmi dinyatakan sah masuk dan menjadi anggota negara-negara ASEAN. PM Timor Leste Xanana Gusmao menangis bahagia menerima momentum tersebut, begitu pula Presiden Timor Leste Jose Ramos Horta menyatakan rasa bahagianya.
Keinginan untuk masuk ASEAN sudah lama diimpikan oleh Timor Leste. Sejak 2011, mereka telah menanti 11 tahun lamanya untuk menjadi anggota sah ASEAN. Dan mereka berharap banyak kepada Indonesia untuk memperjuangkan, karena Indonesia dalam lima tahun terakhir ini menjadi Ketua ASEAN. Keanggotaan dalam ASEAN tentu saja menguntungkan secara diplomatik dan ekonomi bagi Timor Leste, khususnya dalam hubungannya dengan negara-negara di kawasan Asia Tenggara.
Menarik dipertanyakan, mengapa Indonesia begitu banyak membantu Timor Timur dulu dan begitu mudah menerima Timor Leste setelah lepas. Mengapa Indonesia tidak membiarkan saja Timor Leste berusaha sendiri, atau membiarkan dalam keterpurukan. Bukankah para pemimpin Timor Timur menolak integrasi dan sekian lamanya menganggap Indonesia “menjajah” negeri mereka. Anggapan Indonesia sebagai “penjajah Timor Timur” konon tertulis dalam salah satu ruang di Gedung PBB. Melalui berbagai peperangan, mereka juga membunuh banyak tentara Indonesia.
Mengapa Indonesia tidak meniru sikap Belanda, yang tidak mau mengakui Proklamasi Kemerdekaan Indonesia 17 Agustus 1945, dan baru mengakui melalui Pengakuan Kedaulatan pada 27 Desember 1949 sesudah Konferensi Meja Mundur. Bahkan sesudah itu pun hubungan Indonesia tetap tegang, sampai-sampai Presiden Soekarno tidak mau datang ke Belanda sampai wafatnya 1970. Hubungan Indonesia – Belanda baru mencair di masa Soeharto dan para presiden sesudahnya.
Operasi Seroja
Indonesia dulu memasukkan Timor Timur sebagai salah satu provinsinya tidak terlepas dari konstelasi politik global. Setelah ditinggalkan Portugis yang menjajah Timor Timor hampir lima abad, di sana terjadi perang saudara antarfaksi yang berbeda ideologi dan haluan politik. Ada kekhawatiran Partai Komunis di Timor Timur akan menguat dan bergabung dengan sekutunya Cina atau Uni Soviet. Maka negara-negara Barat yang dipimpin AS mendorong dan merestui Indonesia memasukkan negeri kecil ini ke dalam wilayahnya.
Ternyata proses integrasi tidak berjalan mulus dan harus berdarah-darah. Walaupun Indonesia banyak sekali mengorbankan sumber daya ekonomi untuk membangun Timur Timor, tetap saja tidak diakui dan disyukuri. Indonesia terpaksa melakukan pendekatan militer dalam apa yang disebut Operasi Seroja. Dalam Operasi Seroja di Timor-Timur, terutama masa-masa awal integrasi (1975-1976) banyak tentara yang tewas, termasuk yang dikirim dari Kalimantan Selatan. Sebab, di samping organisasi UDT (Uniao Democratica Timorense) dan Apodeti (Associacao Popular Democtica Timorense) yang ingin berintegrasi dengan Indonesia, ternyata kelompok lain seperti Fretilin (Frente Revolucionaria de Timor Leste Independente) menolak berintegrasi dengan Indonesia. Mereka ingin merdeka, sehingga proses integrasi sangat berdarah-darah dan menewaskan banyak tentara kita.
Menurut Mayor Inf Purn H Riyadi (sekarang Wakil Ketua Persatuan Purnawirawan Angkatan Darat Kalsel) yang pernah ditugaskan ke sana, Fretilin inilah yang melakukan perlawanan gigih terhadap TNI dan pemerintah, sehingga banyak anggota TNI yang tewas, luka atau cacat. Persenjataan mereka juga modern, mungkin karena bantuan pihak asing. Pembaca yang sudah berusia tentu ingat nama Lobatu, Xanana Gusmao, Ramos Horta dan sebagainya. Akhirnya melalui jajak pendapat di zaman Presiden Habibie (1999), mereka berhasil memisahkan diri menjadi negara merdeka Timor Leste sekarang. Yang mendorong jajak pendapat dan mendukung kemenangan kelompok pro-kemerdekaan, ternyata pihak Barat juga, plus Australia. Sedangkan rakyat yang memilih opsi tetap bersama Indonesia kalah suara. Indonesia seolah-olah diakali dan dikadali.
Sekian lamanya lepasnya Timor Timur menjadi kontroversi di dalam negeri. Banyak yang kecewa mengapa Timur Timur yang sudah berintegrasi, mengorbankan banyak tentara dan sumber daya dibiarkan lepas. Tapi itulah politik dan perjalanan suatu bangsa. Mereka yang ikut berperan dalam Operasi serja itu sekarang dikenal sebagai Veteran Pembela Seroja, yaitu warga negara yang melakukan perjuangan Seroja dalam kurun waktu tanggal 21 Mei 1975 sampai 17 Juli 1976, dalam kesatuan bersenjata.
Terus Membantu
Indonesia telah lama membantu Timor Leste, pascamerdeka sampai sekarang. Janji bantuan asing yang mendukung Timor Leste merdeka, ternyata tidak kunjung tiba dan tidak sim salabim. Bayangan Timor Leste akan cepat sejahtera dangan cadangan minyaknya, tidak semudah membalik telapak tangan. Bahkan menurut informasinya, kehidupan sosial ekonomi Timor Leste lebih sulit sekarang dibanding waktu gabung dengan Indonesia. Barang-barang kebutuhan pokok umumnya masih didatangkan dari Indonesia, dan mata uang rupiah sebagian masih berlaku di sana. Sebagai saudara terdekat, Indonesia lah yang banyak membantu. Karena kalau Timor Leste rawan sosial eonomi, apalagi rawan politik, Indonesia lebih rugi lagi.
Dalam konteks ini Indonesia boleh dikatakan sebagai orang yang sangat baik hati, dan sama sekali tidak menaruh dendam atau membalas perlakuan orang. Keuntungan di segi ekonomi mungkin tidak ada, tapi keuntungan lain mungkin ada saja. Indonesia berkepentingan akan kestabilan Timor Leste dalam konteks politik global, khususnya di kawasan Asia Tenggara. Karena itu Timor Leste juga dirangkul ke dalam ASEAN. Indonesia tidak ingin Timor Leste mencari sandarannya sendiri dari kekuatan global negara-negara besar, karena itu juga akan mengancam kedaulatan dan teritorial Indonesia.
Jadi, sebagai negara besar, Indonesia membantu negara lain, tidak harus mengkalkulasi untung rugi. Sama juga Indonesia membantu Palestina, dan negara lainnya. Walaupun kita juga memiliki banyak masalah dalam negeri, tapi kepedulian terhadap nasib bangsa dan negara lain tidak di kesampingkan. Wallahu A’lam.











