Oleh : FATIMAH FITRIANA, S.Hut
Kemiskinan masih menjadi persoalan kronis di Indonesia, termasuk di Kalimantan Selatan, meskipun negeri ini dikenal sebagai negara yang kaya sumber daya alam dan memiliki mayoritas penduduk muslim. Ironisnya, di tengah kelimpahan potensi zakat yang mencapai Rp28 triliun sebagaimana diungkap Baznas Kalsel, angka kemiskinan tetap tinggi. Ini menunjukkan ada yang tidak beres dalam tata kelola zakat dan sistem ekonomi secara keseluruhan.
Persoalan utamanya adalah sistem sekuler yang diterapkan saat ini, yang memisahkan urusan agama dari kebijakan politik. Zakat yang seharusnya menjadi instrumen strategis dalam sistem ekonomi Islam, justru diposisikan hanya sebagai ibadah mahdhoh dan bentuk kedermawanan sukarela. Akibatnya, pengelolaan zakat bersifat parsial, tidak terintegrasi dengan sistem fiskal negara, dan tidak mampu menjawab problem struktural kemiskinan.
Padahal, dalam sistem Islam yang kaffah dalam negara khilafah, zakat bukan sekadar amalan individu, tetapi merupakan bagian dari sistem ekonomi negara yang wajib dikelola secara terpusat oleh institusi resmi. Dalam konteks ini, negara yang dipimpin oleh Khalifah, memiliki otoritas untuk menarik dan mengelola zakat sebagai salah satu sumber tetap dalam Baitul Mal untuk menjamin kesejahteraan rakyat.
Sejarah mencatat, ketika sistem Islam diterapkan secara utuh, seperti pada masa Khalifah Umar bin Abdul Aziz, zakat mampu menghapus kemiskinan hingga sulit ditemukan mustahik (penerima zakat). Ini bukan sekadar romantisme sejarah, melainkan bukti konkret efektivitas sistem ekonomi Islam ketika dijalankan secara menyeluruh dan terintegrasi.
Sistem khilafah juga mengatur distribusi zakat secara langsung kepada delapan golongan penerima (asnaf) sebagaimana disebutkan dalam QS. At-Taubah: 60. Pendistribusiannya tidak berhenti pada pemberian bantuan konsumtif. Tetapi, negara memiliki tanggung jawab untuk memastikan agar penerima zakat mampu keluar dari status mustahiq menjadi muzakki. Contohnya, fakir miskin tidak hanya diberi uang tunai, melainkan juga modal usaha, lahan, atau alat produksi agar bisa mandiri secara ekonomi.
Negara melarang riba, memastikan distribusi kepemilikan yang adil, mengelola sumber daya alam untuk kemaslahatan umum, serta menghapuskan monopoli dan spekulasi. Kombinasi kebijakan inilah yang menciptakan ekosistem ekonomi berkeadilan, sehingga kemiskinan dapat ditekan secara struktural, bukan hanya simbolik.
Setiap pemasukan dan pengeluaran yang masuk ke baitul mal, dicatat secara terbuka dan diawasi oleh lembaga penghisab keuangan negara (diwan al-hisbah). Dengan mekanisme ini, korupsi, kebocoran dana, atau penyelewengan zakat dapat diminimalkan. Transparansi ini juga memperkuat kepercayaan masyarakat terhadap negara dan sistem zakat itu sendiri.
Sudah saatnya umat Islam mengevaluasi sistem ekonomi yang diterapkan saat ini. Jika benar ingin zakat berperan optimal dalam menyejahterakan umat dan menghapus kemiskinan, maka solusinya bukan sekadar memperkuat lembaga zakat, tetapi menegakkan sistem Islam secara menyeluruh — sebuah sistem yang menjadikan zakat sebagai instrumen resmi negara dan jaminan keadilan ekonomi bagi seluruh rakyat.











