Oleh : Ade Hermawan
Dosen FISIP Uniska MAB
Pada akhir tahun ini, kita menyaksikan sebuah ironi yang terus berulang, seolah menjadi ritual tahunan yang mematikan. Musim hujan tiba, dan bencana banjir serta tanah longsorpun datang menyertai. Jeritan pilu warga yang kehilangan harta benda, atau bahkan nyawa, kini seolah menjadi lagu latar dari pembangunan dan eksploitasi alam yang tak terkendali. Kita tidak lagi bisa menyalahkan alam, kita harus menunjuk jari pada kerakusan yang menghancurkan pondasi ekologis negeri ini.
Bencana ekologis ini adalah hasil dari tiga kehancuran yang dilakukan secara sistematis. Pertama, Hutan Dibabat. Hutan, paru-paru dan spons alami bumi, telah dihancurkan atas nama industri dan perkebunan monokultur. Pohon adalah penahan air hujan dan pengikat tanah terbaik. Ketika benteng alami ini roboh, air hujan langsung menghantam permukaan tanah tanpa hambatan, memicu erosi masif dan mempercepat laju air menuju dataran rendah. Data menunjukkan, korelasi antara penurunan tutupan hutan dan peningkatan frekuensi serta intensitas banjir di banyak daerah adalah fakta yang tak terbantahkan. Kedua, Bumi Dikeruk. Aktivitas pertambangan, baik legal maupun ilegal, telah mengubah lanskap menjadi kawah-kawah raksasa yang tidak hanya meninggalkan jejak lubang mematikan, tetapi juga menghasilkan jutaan ton material sisa (tailing) yang rentan longsor. Pengerukan tanah dan bukit untuk pembangunan infrastruktur atau perumahan, terutama di lereng-lereng curam, melemahkan struktur geologis tanah. Ketika air meresap ke dalam tanah yang sudah gembur dan kehilangan daya topang, tragedi longsor hanyalah tinggal menunggu waktu. Dan Ketiga, Aliran Sungai Diurug/Disempitkan. Sungai, yang secara alamiah berfungsi sebagai saluran air, kini diperlakukan sebagai lahan kosong yang bisa diurug atau dipersempit untuk permukiman, pusat bisnis, atau jalan. Pembangunan yang melanggar sempadan sungai memaksa air keluar dari jalur alaminya. Normalisasi sungai yang keliru, pengerukan sedimen tanpa pengelolaan hilir yang tepat, dan pembuangan sampah sembarangan semakin memperparah kedangkalan sungai. Akibatnya, ketika debit air meningkat, sungai tidak memiliki kapasitas yang cukup untuk menampungnya, dan air pun memberontak, tumpah ke permukiman.
Bencana Buatan Manusia
Penting bagi kita untuk mengubah narasi. Apa yang kita sebut “bencana alam” seringkali adalah “bencana ekologis buatan manusia”. Hujan deras adalah peristiwa alam yang normal, tetapi banjir bandang dan longsor yang destruktif adalah konsekuensi langsung dari kegagalan kita dalam menjaga keseimbangan alam.
Pemerintah dan penegak hukum harus bertindak tegas. Tidak ada lagi toleransi bagi korporasi atau individu yang merusak hutan, mengeruk bumi tanpa reklamasi yang bertanggung jawab, atau mengokupasi badan sungai demi kepentingan sesaat. Penegakan hukum yang tumpul, diiringi praktik korupsi, hanya akan menjadi pupuk bagi benih-benih bencana berikutnya.
Kita semua memiliki peran untuk mengantisipasi dan mengatasi masalah banjir dan tanah longsor ini. Pemerintah harus segera Mengevaluasi dan Menghentikan izin-izin pertambangan dan perkebunan yang terbukti merusak daerah aliran sungai (DAS) dan kawasan konservasi, Melakukan Penegakan Hukum yang keras terhadap pelaku illegal logging dan pertambangan illegal, dan Merestorasi Ekosistem melalui program reboisasi masif di hulu yang melibatkan masyarakat lokal, dan normalisasi sungai yang mengedepankan solusi berbasis alam.
Sementara itu, masyarakat harus menyadari bahwa tindakan kecil seperti membuang sampah ke sungai adalah kontribusi langsung terhadap bencana. Kita harus berhenti menipu diri sendiri.
Hutan Dibabat
Hutan memiliki peran ekologis vital sebagai penyeimbang alami. Ketika hutan dibabat habis, fungsi-fungsi ekologis ini hilang, menyebabkan bencana banjir dan longsor. Secara alami, hutan berfungsi mencegah banjir. Akar-akar pohon berfungsi seperti spons raksasa yang menyerap dan menyimpan air hujan. Tajuk pohon memperlambat laju jatuhnya air hujan ke tanah. Lantai hutan yang kaya serasah (lapisan organik) memiliki porositas tinggi, memungkinkan air meresap perlahan ke dalam tanah (infiltrasi) dan mengisi cadangan air tanah (akuifer). Air kemudian dilepaskan secara bertahap ke sungai, menjaga debit air tetap stabil.
Hutan juga berfungsi mencegah longsor. Akar pohon saling menjalin dan mencengkeram lapisan tanah di lereng bukit. Jaringan akar ini bertindak sebagai penopang alami yang kuat. Pohon mengambil air dari tanah melalui transpirasi, mengurangi kadar air dalam tanah dan menjaga stabilitas lereng, sebab tanah yang jenuh air menjadi berat dan rentan bergerak.
Ketika hutan dibabat (deforestasi) untuk pertambangan, perkebunan, atau pembangunan akan memicu banjir dan longsor. Air hujan langsung menghantam tanah tanpa hambatan, menyebabkan erosi permukaan yang masif. Tanah yang padat tanpa serasah memiliki daya serap rendah. Sebagian besar air tidak meresap, melainkan mengalir deras sebagai limpasan permukaan dengan volume besar dan kecepatan tinggi. Hal ini menyebabkan banjir bandang di daerah hilir dalam waktu singkat. Erosi membawa material tanah (sedimen) dalam jumlah besar ke sungai, menyebabkan pendangkalan (sedimentasi). Kapasitas tampung sungai berkurang drastis, sehingga mudah meluap. Jaringan akar yang menjadi pengikat tanah hilang. Struktur tanah menjadi lepas dan tidak stabil. Tanah yang terbuka lebih cepat jenuh air. Air hujan mengisi pori-pori tanah, meningkatkan berat dan tekanan air di dalamnya. Karena tidak ada lagi akar yang menahan, tanah di lereng yang curam akan dengan mudah runtuh, menyebabkan tanah longsor.
Langkah antisipasi dan penanggulangan harus dilakukan secara komprehensif, melibatkan aspek pencegahan (hulu) dan mitigasi (hilir). Upaya pencegahan berfokus pada pemulihan fungsi hutan di Daerah Aliran Sungai (DAS) bagian hulu dan tengah yaitu dengan menindak dengan tegas pelaku illegal logging dan pertambangan ilegal. Mengaudit dan Evaluasi izin-izin usaha di kawasan rawan bencana dan DAS. Menanam kembali pohon, terutama spesies lokal yang kuat mengikat tanah, di kawasan hutan yang telah gundul. Membuat terasering, dam penahan, atau check dam di lahan miring untuk memperlambat aliran permukaan dan meningkatkan resapan air. Melarang keras pembangunan dan aktivitas eksploitasi di kawasan konservasi, sempadan sungai, dan lereng yang kemiringannya melebihi batas aman.
Bumi Dikeruk
Aktivitas pengerukan bumi, terutama melalui penambangan terbuka (surface mining) dan pengerukan bukit untuk pembangunan, mengubah topografi dan struktur tanah secara drastis, yang secara langsung berkontribusi pada bencana banjir. Aktivitas pengerukan dan pertambangan memicu banjir dan longsor. Penggalian dan pengerukan menghilangkan lapisan tanah penutup alami dan vegetasi, mengubah kontur lahan. Area bekas kerukan atau lahan timbunan cenderung menjadi permukaan kedap air atau memiliki daya serap yang sangat rendah. Ketika hujan turun, air tidak meresap ke dalam tanah (infiltrasi) melainkan langsung mengalir di permukaan sebagai limpasan permukaan (surface runoff) dengan volume dan kecepatan yang sangat tinggi. Limpasan ini dengan cepat membanjiri daerah dataran rendah di sekitarnya.
Aktivitas penambangan, seperti batu bara atau emas, menghasilkan jutaan ton material sisa atau tanah penutup yang seringkali dibuang ke area dekat sungai atau di lereng bukit. Erosi dari area buangan ini membawa lumpur dan sedimen dalam jumlah masif ke sungai, menyebabkan pendangkalan dan penyempitan alur sungai. Kapasitas sungai untuk menampung air hujan berkurang drastis, sehingga mudah meluap dan memicu banjir. Tambang terbuka meninggalkan lubang-lubang besar yang berfungsi sebagai kolam penampung. Jika lubang-lubang ini tidak dikelola atau direklamasi dengan baik, dinding lubang bisa longsor atau tanggul penahan airnya jebol. Jebolnya tanggul kolam penampung atau lubang tambang dapat melepaskan volume air dan lumpur yang sangat besar secara tiba-tiba, yang dikenal sebagai banjir bandang lumpur atau mud flood, memporak-porandakan wilayah hilir.
Upaya penanggulangan harus fokus pada pengelolaan lingkungan yang bertanggung jawab, khususnya dalam konteks perizinan dan reklamasi pertambangan. Upaya anitisipasi bisa dilakukan oleh pemerintah untuk Melarang kegiatan pengerukan atau pertambangan di kawasan lindung, hulu sungai, dan lereng curam yang berfungsi sebagai zona resapan air. Melakukan audit menyeluruh terhadap Izin Usaha Pertambangan (IUP) dan Izin Lingkungan, dan mencabut izin yang terbukti melanggar atau tidak melaksanakan kewajiban reklamasi.
Di area bekas kerukan atau buangan tanah, wajib dibangun terasering, dam penahan, atau kolam pengendap (settling pond) untuk menampung lumpur sebelum air dialirkan ke sungai. Menggunakan teknik geotekstil, penanaman tanaman penutup tanah (vetiver), atau konstruksi sipil untuk memperkuat lereng buangan agar tidak terjadi erosi dan longsor.
Peningkatan pengawasan oleh pemerintah daerah dan pusat terhadap kegiatan pertambangan, memastikan semua material overburden dikelola sesuai standar lingkungan. Memberikan sanksi denda dan pidana yang berat kepada perusahaan yang tidak melakukan reklamasi sesuai rencana, atau yang membuang tailing langsung ke sungai.
Setelah pengerukan selesai, lubang-lubang bekas tambang wajib ditimbun atau direhabilitasi sesuai peruntukan yang disetujui (misalnya, menjadi kawasan perairan yang aman atau ditimbun dan dihutankan kembali). Mengupayakan pengembalian lapisan tanah atas agar kemampuan penyerapan air di area bekas tambambangan bisa pulih secara bertahap. Pengerukan Sungai (Normalisasi): Membersihkan sungai dari sedimen yang berasal dari area kerukan/tambang untuk mengembalikan kapasitas tampung sungai. Membangun kolam penampungan air buatan di daerah hilir untuk menampung limpasan air berlebihan sebelum dilepaskan ke sungai.
Aliran Sungai Diurug
Mengurug atau menyempitkan aliran sungai adalah tindakan yang secara langsung menghilangkan fungsi utama sungai sebagai saluran air. Tindakan ini merupakan pelanggaran serius terhadap tata ruang air dan menjadi kontributor utama bencana banjir perkotaan dan permukiman.
Mengurug, menyempitkan, atau mengalihfungsikan badan dan sempadan sungai menyebabkan banjir. Sungai dirancang secara alami untuk mengalirkan volume air maksimum yang diperkirakan akan terjadi (debit banjir rencana). Ketika badan sungai atau salurannya disempitkan, baik karena pembangunan tembok, permukiman, jembatan, atau reklamasi, kapasitas alirannya berkurang drastis. Saat terjadi hujan deras dan debit air meningkat, sungai tidak mampu menampung volume air tersebut. Air terpaksa meluap melewati batas alirannya, menyebabkan banjir luapan (banjir kiriman) yang menerjang kawasan di sekitarnya. Di beberapa titik yang sangat sempit, air dipaksa mengalir lebih cepat Walaupun kecepatan aliran meningkat, penyempitan ini seringkali menciptakan titik-titik sumbatan atau pusaran yang mempercepat erosi dasar sungai dan menggerus tebing. Aktivitas pengurukan dan okupasi seringkali dibarengi dengan perubahan perilaku masyarakat, termasuk membuang sampah ke badan air yang dianggap “tidak terpakai” atau tertutup. Sampah dan puing-puing ini menumpuk di bawah jembatan atau gorong-gorong hasil pengurukan. Penumpukan sampah dan sedimentasi mengurangi kedalaman dan luas penampang sungai/saluran secara permanen, yang pada akhirnya memperburuk kondisi banjir.
Solusi untuk masalah ini berfokus pada restorasi fungsi alami sungai dan penegakan tata ruang air yang tegas. Pemerintah harus secara ketat menegakkan aturan mengenai sempadan sungai (batas wilayah daratan di tepi sungai yang ditetapkan sebagai kawasan perlindungan sungai). Melarang total pengurukan, pendirian bangunan, atau aktivitas yang dapat menyempitkan atau mengganggu aliran sungai di dalam area sempadan. Menerapkan sistem drainase berkelanjutan yang tidak hanya membuang air, tetapi juga mengupayakan resapan (infiltrasi) air ke dalam tanah, mengurangi beban aliran ke sungai. Menyediakan peta zonasi risiko banjir yang akurat dan menjadikannya dasar utama dalam pemberian izin pembangunan. Meningkatkan kesadaran masyarakat tentang bahaya mengurug sungai dan membuang sampah ke badan air.
Melakukan tindakan tegas untuk membongkar bangunan, tembok, atau infrastruktur yang melanggar sempadan dan badan sungai. Melakukan pengerukan berkala untuk menghilangkan endapan lumpur, pasir, dan sampah yang telah mengurangi kedalaman sungai. Mengembalikan bentuk dan lebar sungai menjadi lebih alami dan ideal untuk menampung debit air, yang mungkin termasuk pelebaran kembali. Membangun kolam penampungan air sementara di daerah dataran rendah untuk menampung air luapan dan melepaskannya secara perlahan setelah puncak banjir berlalu. Mengembangkan tangki atau sumur resapan raksasa di perkotaan padat untuk menampung air hujan dan meningkatkan daya serap.
Selama hutan dibabat, bumi dikeruk, dan aliran sungai diurug, selama itu pula kita akan terus menyambut musim hujan dengan ketakutan, menunggu giliran menjadi korban dari bencana yang kita ciptakan sendiri. Keselamatan ekologis adalah keselamatan kita. Saatnya memilih, keuntungan sesaat atau keberlanjutan hidup?













