Kalimantan Post - Aspirasi Nusantara
Baca Koran
Space Iklan
Space Iklan
Iklan Utama
Opini

Banjir Dulu dan Sekarang

×

Banjir Dulu dan Sekarang

Sebarkan artikel ini
Ahmad Barjie B
Ahmad Barjie B

Oleh : Ahmad Barjie B
Pemerhati Lingkungan

Hujan memang fenomena alami di negeri beriklim tripis atau subtropis seperti di Nusantara. Begitu pula banjir yang diakibatkan oleh hujan. Namun ada perbedaan mendasar antara banjir dulu dan kini.

Kalimantan Post

Dulu, banjir merupakan hal yang tidak begitu ditakuti. Berapa lebat dan lama pun hujan, orang tidak pernah takut. Sebab begitu terjadi banjir, air cuma lewat sebentar, tidak mengendap, airnya jernih, tidak terlalu deras. Karena itu ketika banjir datang, banyak orang memanfaatkannya untuk mencari ikan, bahkan memanjur ikan, malamuk, dan sebagainya sangat ramai, sebab ikan suka banyak yang mendekati darat yang airnya surut, untuk bertelur, mencari makan, sebab di situ banyak makanan yang jatuh dari pepohonan, semak, ulat, cacing, serangga dan sebagainya.

Banjir dulu juga menyisakan tanah yang subur, sebab lumut dan lumpur atas yang dikikis oleh air akan mendatangkan kesuburan. Begitu banjir usai, maka di situ akan subur untuk tanaman sayuran dan sebagainya. Padi yang tersapu banjir pun cepat tumbuh dan bangkit lagi. Karena itu banyak anak-anak bermain, sebab airnya bersih, tanpa ada kekhawatiran. Hewan-hewan hutan, ular dan sebagainya pun tidak masuk rumah atau perkampungan, karena habitatnya masih aman.

Berbeda dengan banjir di masa sekarang. Air bah datang mengamuk, bergumpal-gumpal, menghantam dan menerjang dengan kekuatan tinggi, seakan marah dengan orang dan lingkungan sekelilingnya. Airnya keruh bercampur lumpur, bercampur kayu dan bahan bangunan bekas yang ikut hanyut. Banjir tersebut tidak membawa manfaat, kecuali hanya mudarat bagi manusia, ternak, tanaman dan lingkungan. Kawasan yang dilaluinya menjadi rusak, banyak rumah, bangunan, jalan, jembatan rusak, putus, ternak mati, bahkan manusia sering juga ikut jadi korban. Tidak sekali dua banjir membawa korban manusia, belum lagi harta benda yang tidak ternilai.

Baca Juga :  Beratnya Tantangan Ekonomi, Pemerintah Cenderung “Acuh Kada Bagaduh”

Karena itu banjir sekarang merupakan hal yang ditakuti. Siang atau malam kita diliputi kekhawatiran kalau-kalau banjir datang, kalau-kalau rumah kita terendam, kalau-kalau jalanan calap dan sebagainya. Kalaupun rumah dan lingkungan kita aman, kita juga mengkhawatirkan anak, cucu, atau keluarga yang tinggal di daerah yang tidak aman dari banjir tersebut.

Mengapa terjadi perbedaan banjir tersebut. Tentu karena penyebabnya juga berbeda. Dulu banjir karena musim hujan, atau paling-paling banjir karena hujan bertemu dengan naiknya air laut (rob) bagi daerah pesisir yang dekat dengan laut. Sekarang, banjir disebabkan kerusakan alam, oleh penebangan, penambangan dan alih fungsi hutan dan lahan. Hutan kita telah rusak dan mengalami krisis yang parah. Karena rumah air telah banyak yang musnah, maka mau tak mau hukum alam berlaku, air akan mengamuk, mengantam apa saja dengan segala risikonya.

Mengantisipasi dan mengatasi banjir dan risikonya, tentu tidak sekadar menyiapsiagakan alat, sarana dan tenaga untuk menyelamatkan korban. Ini hanya usaha di sektor hilir atau mengurangi akibatnya. Yang sangat dipentingkan sekarang adalah mengatasi sektor hulunya, yaitu menyelamatkan hutan yang masih tersisa. Seharusnya ada moratorium penebangan dan penambangan dan alih fungsi hutan, yang berujung pada deforestasi. Negara dan daerah harus kreatif mencari pemasukan dari usaha-usaha ekonomi produktif yang ramah lingkungan. Hutan-hutan yang tersisa biarlah sebagai hutan lindung, tempat habitat fauna dan flora yag mestinya dilindungi, dan terutama sebagai penyangga air, yang jika dirawat dengan baik justru akan menjadi destinasi wisata alam yang bernilai tinggi.

Tidak ada sejarahnya negara dan daerah bisa makmur sejahtera secara adil dengan merusak alam. Yang terjadi adalah bala bencana, yang justru merasakannya adalah rakyat kecil yang tidak menikmati hasil dari rusaknya hutan itu. Hujan tidak boleh disalahkan, sebab itu sudah hukum alam, kalau musimnya ya hujan. Selama usaha-usaha antisipasi itu tidak dilakukan maka banjir selalu menjadi langganan dengan bahaya yang terus meningkat dan memakan banyak korban.

Iklan
Iklan